Kamis 18 Jun 2020 01:40 WIB

George Floyd, Warisan Kolonialisme, dan Sikap Islam

Kematian George Floyd menandakan rasisme yang masih kuat di Amerika Serikat.

Kematian George Floyd menandakan rasisme yang masih kuat di Amerika Serikat. Ilustrasi unjuk rasa kematian George Floyd.
Foto: AP / Peter Dejong
Kematian George Floyd menandakan rasisme yang masih kuat di Amerika Serikat. Ilustrasi unjuk rasa kematian George Floyd.

REPUBLIKA.CO.ID, *Oleh Prof Muhammad Adlin Sila 

Kematian George Floyd, seorang warga keturunan Afrika-Amerika, akibat tindakan berlebihan polisi kulit putih Minneapolis, Amerika Serikat, Derek Chauvin, menuai protes tidak hanya di kalangan warga Amerika Serikat tapi juga warga dunia.

Baca Juga

Baik warga kulit hitam maupun kulit putih, pendukung Donald Trump maupun tidak, semuanya bersatu dalam satu front untuk menunjukkan solidaritas mereka atas kematian George Floyd. 

Warga Amerika Serikat sepakat bahwa tindakan polisi terhadap George Floyd dilandasi pada kebencian atas dasar warna kulit. Oleh karena itu, aksi protes yang disusul dengan unjuk rasa warga Amerika Serikat dimotivasi tujuan yang sama yaitu agar kasus serupa yang menimpa warga kulit hitam lainnya tidak berulang. Saat tulisan ini dibuat, unjuk rasa yang berujung penjarahan di beberapa kota di Amerika Serikat masih berlangsung.   

Lalu apa pelajaran (lessons learned) yang kita dapat petik dari kasus ini? Pertama, kita harus memahami sejarah untuk memahami konteks kekininan masyarakat Amerika Serikat (historicizing the present). Artinya, kasus yang menimpa George Floyd ini memiliki sejarahnya sendiri di Amerika Serikat. 

Kedua, mengapa di era modern ini masih ada kasus diskriminasi terhadap orang lain berdasarkan warna kulit? Dan, ketiga, masalah di Amerika Serikat adalah masalah dunia. Semoga kasus di Amerika Serikat ini memberikan pelajaran bagi Indonesia agar mampu merancang sebuah kebijakan yang berorientasi pada penghargaan kepada kemanusiaan.   

Jika menapaktilas sejarah berdirinya bangsa Amerika, maka kita akan mengingat sejarah perang sipil antar negara bagian Selatan yang melanggengkan perbudakan, umumnya terhadap warga kulit hitam, dengan negara bagian utara yang ingin menghapusnya.

Ketika Abraham Linclon menjadi presiden 1860, negara bagian Selatan yang dipimpin oleh Jefferson Davis memerdekakan diri. Perang antara negara bagian pun berlangsung beberapa tahun dari 1861 hingga 1865. Akhirnya, negara bagian utara memenangkan perang sipil ini. Perbudakan berakhir di seluruh Amerika. Era ini disebut dengan era rekonstruksi.   

Meski demikian, rekonstruksi sosial untuk mengatasi hubungan yang timpang antara warga kulit putih dengan kulit hitam belum selesai. Akibatnya, tokoh-tokoh kulit hitam hadir untuk memperjuangkan keadilan. Tapi tanpa kekerasan. Martin Luther King Junior salahsatunya. Martin dikenal sebagai pendeta yang memimpin gerakan sipil hingga 1968.

Pidatonya yang terkenal: “I Have a Dream” disampaikan pada saat melakukan aksi di Washington pada 1963. Penembakan yang berujung kematiannya tahun 1968 memicu kerusuhan di berbagai kota di Amerika Serikat. Kematian Martin tidak sia-sia.

Hak-hak sipil warga kulit hitam terwujud. Sejak saat itu, warga kulit hitam memiliki hak memilih dan dipilih. Kita tahu, Barrack Obama menjadi presiden kulit hitam pertama Amerika pada 2009. Meski demikian, persoalan diskriminasi terhadap warga kulit hitam tetap terjadi. Kasus George Floyd adalah contohnya 

Kita tidak memungkiri adanya perbedaan wana kulit, warna mata, warna rambut dan atribut fisik lainnya. Itu sunnatullah. Namun itu diciptakan agar manusia mengetahui tanda-tanda kekuasaan-Nya (QS. Ar-Rum: 22).

Sebuah Hadith mengatakan bahwa Allah hanya menilai hati dan amal kamu, dan bukan pada rupa dan harta kalian (HR. Muslim). Dari itu, kita memerlukan rejuvenasi spirit Ketuhanan demi penghargaan terhadap kemanusiaan. Dalam Pancasila juga ditekankan bahwa setelah Ketuhanan, maka munculnya Kemanusiaan yang beradab. Jadi hanya yang ber Tuhanlah yang menghargai kemanusiaan.

Beberapa unsur masyarakat di Indonesia ingin mengaitkan kasus di Amerika dengan kebijakan pemerintah pusat yang dianggap rasis terhadap orang Papua. Pusat sering dikaitkan dengan kekuasaan ras Melayu yang berbeda dengan ras Papua.

Pembedaan ini sejatinya adalah warisan kolonial. Ketika Alfred Russel Wallace (1823-1913) menulis The Malay Archipelago (1869), Indonesia dibaginya menjadi wilayah Barat yang dihuni ras Melayu dengan wilayah Timur yang dihuni ras Papua.

Padahal, studi mutakhir (Lihat National Geographic Indonesia, 26 November 2015) menemukan bahwa persilangan antar ras di Indonesia baik di Barat maupun di Timur telah terjadi selama ribuan tahun. 

Sebagai masyarakat beragama, kita bersepakat bahwa Tuhan hanya menciptakan satu jenis manusia, dari rahim yang sama, maka selayaknyalah kita menghargai satu sama lain tanpa membedakan warna kulit, bahasa dan sistem kultural yang dimiliki. Itulah nilai-nilai Ketuhanan yang harus kita segarkan terus demi penghargaan terhadap kemanusiaan.

*Peneliti ahli utama (PAU) dan Ketua Umum Asosiasi Peneliti Agama Indonesia (APAI).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement