Rabu 17 Jun 2020 17:57 WIB

Masalah Komunikasi PLN, Konsumsi Listrik, dan Meteran Usang

Anggota Komisi VII DPR hari ini mencecar Dirut PLN soal lonjakan tagihan listrik.

Warga memeriksa meteran listrik di kompleks rumah susun (Rusun) Petamburan, Jakarta, Ahad (7/6). Sebagian pelanggan PLN mengeluhkan lonjakan tagihan listrik selama PSBB. (ilustrasi)
Foto: ANTARA /RENO ESNIR
Warga memeriksa meteran listrik di kompleks rumah susun (Rusun) Petamburan, Jakarta, Ahad (7/6). Sebagian pelanggan PLN mengeluhkan lonjakan tagihan listrik selama PSBB. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Intan Pratiwi

Komisi VII DPR pada hari ini menggelar rapat dengan Direktur Utama (Dirut) PT Perusahan Listrik Negara (PLN). Dalam agenda tersebut, sejumlah anggota dewan mencecar PLN terkait lonjakan tagihan listrik yang diterima pelanggan pada awal Juni lalu.

Baca Juga

"Kejadian ini telah merugikan masyarakat setidaknya dari segi psikologis ekonomis," kata anggota komisi VII Fraksi PKB Ratna Juwita Sari, dalam rapat yang ditayangkan secara daring, Rabu (17/6).

Ratna menilai, persoalan lonjakan tagihan listrik masyarakat adalah persoalan yang serius. Bahkan diberitakan sampai ada warga bunuh diri lantaran tidak mampu membayar tagihan listrik tersebut.

 

"Masyarakat hari ini sebagai penanggung satu-satunya beban yang disampaikan oleh PLN," ujarnya.

Sementara itu, anggota komisi VII Fraksi PKS Mulyanto mengaku kecewa dengan kinerja PLN. Dirinya menilai, cara PLN menyikapi lonjakan tarif listrik dengan tidak profesional.

"Tidak jauh-jauh hari diberitahu masyarakat lalu sehingga masyarakat enggak kaget," ungkap wakil ketua fraksi PKS tersebut.

Hal senada juga disampaikan Fraksi Partai Demokrat. Anggota Komisi VII Fraksi Partai Demokrat Sartono mengatakan, sebelum masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) seharusnya PLN menyampaikan kepada masyarakat terkait hal tersebut.

"Woro-woro lah bahwa ini permasalahan Covid-19 ini sangat berdampak pada kinerja PLN khususnya pada pencatatan, misalnya bahwa kemungkinan terjadi kenaikan karena pencatat tidak bisa langsung mencatat jumlah meteran itu, ini kan terkaget, kita semua kaget tentang hal tersebut," tegasnya.

Anggota Komisi VII DPR Fraksi Partai Gerindra Moreno Soeprapto

meminta PLN mengevaluasi sistem konvensional pencatatan meteran listrik pelanggan.

"Menurut saya apakah ada evaluasi ke depannya khususnya, dengan sistem konvensional yang manual ini, mungkin strategi ke depan PLN mempunyai sistem yang lebih menarik dan sistem yang lebih canggih di sistem IT," kata Moreno.

Iya menyarankan agar ke depan PLN memikirkan sebuah sistem yang lebih praktis, sehingga petugas pencatatan listrik tidak perlu datang ke rumah-rumah untuk mencatat. Selain itu, dirinya meminta agar PLN memperbaiki komunikasi masyarakat.

Hal senada juga disampaikan anggota Komisi VII DPR Fraksi Golkar Rudy Mas'ud. Ia menilai, sosialisasi yang dilakukan PLN ke masyarakat masih sangat kurang.

"Ini menunjukkan tata tertib dan keterbukaan di PLN masih sangat kurang," ujar Rudy.

Direktur Utama PLN, Zulkifli Zaini menyatakan, kasus meledaknya tagihan listrik masyarakat selama pandemi Covid-19 sebenarnya telah diprediksi akan menimbulkan gejolak. Oleh karena itu PLN meminta maaf kepada pelanggan.

"Dalam kesempatan ini apabila pelayanan kami kurang ke pelanggan, saya dengan segala kerendahan hati atas nama seluruh karyawan, kami mohon maaf. Jadi dari sisi lonjakan tagihan, ada kekurangan komunikasi kami dengan segala kerendahan hati kami minta maaf," ujar Zulkifli di hadapan Komisi VII DPR, Rabu (17/6).

Zulkifli menjelaskan, adanya ledakan tagihan listrik tak ayal memang karena secara data PLN, ada kenaikan konsumsi masyarakat selama masa PSBB. Hanya saja memang, selama pandemi Covid-19, PLN menerapkan kebijakan untuk tidak melakukan pencatatan dan membebankan tagihan listrik yang berlebih tersebut ke bulan setelahnya.

Namun, Zul mengatakan kebijakan ini bukan hanya kebijakan dari PLN, tetapi juga sudah didiskusikan dengan pemerintah dan merupakan mandat pemerintah. Namun, Zul mengakui adanya kegaduhan terkait  lonjakan tagihan listrik pelanggan karena adanya kekurangan dalam pola komunikasi dan sosialisasi PLN.

"Jadi dari sisi lonjakan tagihan, ada kekurangan komunikasi kami. Tapi kami sesuai mandat, keandalan kami, kami jaga sebaik-baiknya. Dengan segala kerendahan hati kami minta maaf," ujar Zul.

Penyebab lain lonjakan tagihan listrik pelanggan, kata Zul, juga disebabkan oleh banyaknya meteran listrik pelanggan yang sudah usang. Hal ini membuat pencatatan listrik masyarakat menjadi tidak sesuai dengan konsumsi real.

Zul mengatakan ada 14,3 juta meteran pelanggan yang sudah usang. Jika ingin pencatatan listrik kembali sesuai konsumsi real, maka meteran perlu dilakukan tera ulang. Sayangnya, Zul mengeluhkan laboratorium untuk melakukan tera ulang terbatas.

"Tantangan terbesar yakni keterbatasan laboratorium tera ulang yang dimiliki Kemendag untuk menjangkau pelanggan yang meterannya harus di-tera ulang," ujar Zulkifli.

Padahal, meteran yang memang usianya sudah 15 tahun ke atas perlu dilakukan tera ulang karena sudah tidak andal. Untuk itu, ia menjelaskan pada pekan ini perusahaan akan memproses tera ulang sebanyak 7,7 juta meteran listrik.

Sayangnya, untuk yang 8,7 juta meteran lagi, Zul masih belum tau kapan akan dilakukan tera ulang. Ia menjelaskan untuk solusi tersebut PLN berencana untuk mengganti meteran pelanggan.

Zul memaparkan, meski ada kenaikan konsumsi rumah tangga hingga membuat tagihan listrik masyarakat membengkak, hal tersebut sebenarnya tak membuat kondisi keuangan PLN baik-baik saja. Kenaikan konsumsi rumah tangga tidak meng-cover penurunan listrik secara nasional.

"Pendapatan bulanan kami yang semula Rp 25 triliun menjadi Rp 22 triliun," ujar Zul.

Zul pun meminta masyarakat mengerti kondisi perusahaan PLN. Pada kuartal pertama tahun ini, PLN mencatatkan kerugian hingga Rp 38,8 triliun. Kerugian ini ditengarai karena adanya pelemahan kurs rupiah.

"Perlu kami sampaikan akhir Maret 2020 terjadi pelemahan nilai tukar terhadap mata uang asing akibat sentimen negatif dan lain-lain," ujar Zulkifli.

Zul menjelaskan saat awal tahun nilai tukar rupiah sebesar Rp 16.367 per dolar AS. Maka berdasarkan pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK) 10, Zulkifli mengatakan perusahaan berkewajiban mencatat selisih kurs.

"Itu adalah rugi accounting akibat selisih kurs," katanya.

Meski merugi, Zul mengatakan secara pendapatan perusahaan memang mencatatkan hasil positif. Pada kuartal pertama ini, perusahaan membukukan pendapatan sebesar Rp 72,7 triliun dibandingkan sebelumnya yang hanya Rp 68,91 triliun.

"Jadi sampai akhir Maret itu kinerja keuangan masih menunjukkan positif kecuali akibat kurs yang melemah," katanya.

photo
Menghemat penggunaan listrik rumah. - (Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement