Rabu 17 Jun 2020 15:22 WIB

Masa Terberat dengan Proyeksi Pertumbuhan Minus 3,1 Persen

Sri Mulyani menyebut ekonomi RI berada pada titik terberat pada kuartal II 2020.

Deretan gedung bertingkat di Jakarta, Senin (1/6). Perekonomian Indonesia berada pada masa terberat pada kuartal II 2020 dengan prediksi pertumbuhan minus 3,1 persen. (ilustrasi)
Foto: ANTARA/NOVA WAHYUDI
Deretan gedung bertingkat di Jakarta, Senin (1/6). Perekonomian Indonesia berada pada masa terberat pada kuartal II 2020 dengan prediksi pertumbuhan minus 3,1 persen. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Adinda Pryanka, Antara

Pandemi Covid-19 benar-benar menghantam perekonomian Indonesia. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan, perekonomian Indonesia akan mengalami titik terberat pada kuartal II seiring dengan berbagai lembaga survei yang turut memperkirakan berada di level antara 0,3 persen hingga terkontraksi 6 persen.

Baca Juga

Sri Mulyani pun memprediksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi hingga 3,1 persen pada kuartal II tahun ini akibat dari kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai daerah. Sri Mulyani menyatakan pemberlakukan PSBB di berbagai daerah terutama di DKI Jakarta, Bodetabek, Jawa Timur, dan Jawa Barat yang berkontribusi besar dalam perekonomian nasional.

“Ini pasti mempengaruhi kinerja ekonomi pada kuartal II yang kita perkirakan di negatif teritori yaitu minus 3,1 persen,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa secara daring di Jakarta, Selasa (17/6).

Mei menjadi bulan terberat. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, penerimaan bruto pajak pada seluruh sektor utama mengalami kontraksi pada bulan lalu. Sri Mulyani menjelaskan, kontraksi yang terjadi pada bulan lalu memburuk dibandingkan April maupun periode kuartal pertama.

Dampaknya, penerimaan pajak juga harus tertekan dengan pertumbuhan negatif 32,07 persen secara bruto. Kondisi ekonomi dan pemberian insentif fiskal menjadi penyebabnya.

"Dinamika per bulan sudah menunjukkan, mengkonfirmasi, Mei adalah bulan di mana pukulan terberat dialami seluruh sektor,” tuturnya.

Pertambangan menjadi sektor yang menghadapi pertumbuhan negatif paling dalam dari sisi penerimaan pajak bulan lalu. Kontraksinya mencapai minus 42,95 persen dibandingkan tahun lalu.

Pemburukan kinerja sektor pertambangan disebabkan permintaan global yang menurun akibat penurunan daya beli di banyak negara. Dampaknya, harga komoditas menurun hingga menekan penerimaan pajak.

Industri pengolahan yang menjadi penyumbang terbesar terhadap penerimaan pajak turut mengalami kontraksi. Pada bulan lalu, pertumbuhannya negatif 32,82 persen. Padahal, pada kuartal pertama dan April, penerimaan pajak sektor ini masih tumbuh masing-masing 3,71 persen dan 0,47 persen.

Situasi serupa juga terjadi pada perdagangan yang kontraksi 36,87 persen pada bulan lalu. Sebelumnya, pada kuartal pertama, penerimaan pajak sektor tersebut sempat tumbuh 1,29 persen yang kemudian mengalami tekanan hingga tumbuh negatif 12,46 persen pada April.

Jasa keuangan dan asuransi yang pada April masih mengalami pertumbuhan positif hingga double digit tidak luput dari tekanan. Data menunjukkan, penerimaan pajak sektor ini kontraksi 30,02 persen pada Mei.

Perlambatan kredit, peningkatan Non Performing Loan (NPL) serta pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang lebih besar dari pertumbuhan kredit menurunkan profitabilitas sektor jasa keuangan dan asuransi.

"Ini menggambarkan, betapa pelemahan ekonomi sudah across the board, seluruh sektor terkena dampak Covid," ucap mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut.

Adapun untuk prakiraan ekonomi Indonesia pada 2020, menurut Sri Mulyani, akan sangat ditentukan oleh kinerja ekonomi pada kuartal III dan IV. Oleh sebab itu, Sri Mulyani memastikan pemerintah akan terus memantau berbagai perkembangan mulai dari sisi ekspor, impor, konsumsi masyarakat, hingga sentimen global dalam rangka menjaga ekonomi agar tetap tumbuh.

“Ini sedang kita coba untuk tangani dan mitigasi melalui policy bagaimana mengelola risiko yang downside sudah sangat dalam agar tidak menjadi memburuk atau bisa tertahan di zona positif,” tegasnya.

Sri Mulyani berharap upaya pemerintah dapat mulai memulihkan perekonomian pada kuartal III dan menghasilkan angka positif pada kuartal IV. Sehingga, target pertumbuhan ekonomi tahun ini tetap tercapai.

“Kita masih menggunakan minus 0,4 persen sampai 2,3 persen. Meski poin estimasi kita semakin mendekati level nol persen sampai 1 persen,” ujarnya.

Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet memprediksi, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2020 masih bisa tumbuh positif di sekitar 0,1 hingga 0,5 persen. Hanya saja, dibutuhkan perjalanan penuh hambatan untuk mencapai angka tersebut.

Yusuf menyebutkan, ekonomi pada kuartal kedua hampir dapat dipastikan mengalami kontraksi. Kebijakan social distancing sejak Maret dan PSBB yang mulai diberlakukan di banyak provinsi pada April menyebabkan kegiatan ekonomi terhambat.

Sementara itu, pertumbuhan positif pada kuartal ketiga cenderung sulit tercapai, meski terjadi relaksasi PSBB. "Setidaknya jika dilihat dari beragam indikator sekarang, tumbuh di level positif relatif susah," kata Yusuf ketika dihubungi Republika, Selasa (16/6).

Dengan merelakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada tahun ini, Yusuf berharap, pemerintah tetap fokus menjalankan pemulihan ekonomi. Khususnya perbaikan daya beli masyarakat yang tertekan akibat pembatasan kegiatan sosial dan ekonomi.

Secara tidak langsung, pemulihan daya beli masyarakat akan berdampak terhadap permintaan barang. "Jika meningkat, maka dunia usaha pun bisa ikut pulih," tutur Yusuf.

Saat ini, pemerintah telah memberikan jaring pengaman sosial dengan memberikan bantuan dalam berbagai bentuk. Misalnya ke kelompok pendapatan menengah dengan besaran biaya Rp 300 ribu perbulan. Tapi, Yusuf menilai, angka itu masih jauh dari cukup untuk menjaga daya beli masyarakat.

Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman menuturkan, pemerintah harus melakukan evaluasi kebijakan stimulus fiskal yang sudah digelontorkan selama ini. Khususnya implementasi di tingkat daerah maupun sektoral.

Rizal menilai, evaluasi dibutuhkan mengingat efektivitasnya masih jauh dari yang diharapkan. Berbagai program insentif fiskal nyatanya masih tidak mendongkrak pertumbuhan ekonomi, baik melalui dorongan produksi maupun konsumsi. Salah satunya karena distribusi yang tidak tepat sasaran.

Melihat kondisi dan dinamika saat ini, Rizal menyebutkan, kebijakan PSBB yang diberlakukan masih belum efektif dalam mengantisipasi serta mendorong perbaikan ekonomi. Kontraksi pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua sulit dihindari.

“Termasuk juga kuartal ketiga dan keempat, tidak bisa diharapkan,” ujarnya.

Rizal mengatakan, tentu ada harapan ekonomi membaik pada kuartal ketiga dan keempat, bahkan dengan arah positif dengan besaran angka di atas nol. Tapi, perlu manajemen kebijakan dan alokasi anggaran yang memadai.

Selain itu, Rizal menekankan, dibutuhkan dorongan efektivitasnya agar mengakselerasi alokasi anggaran fiskal supaya tepat sasaran dan waktu. "Tanpa ada barrier yang bersifat administratif, sehingga tidak butuh time lag yang lama dalam implementasinya,"katanya.

photo
Program pemulihan ekonomi nasional - (Tim Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement