Selasa 16 Jun 2020 18:41 WIB

LPSK: 14 ABK Long Xing 629 Diperlakuan tak Sesuai 

Seluruh ABK korban langsung mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK. 

Rep: Haura Hafizhah/ Red: Agus Yulianto
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu (kiri).
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu (kiri).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengatakan, telah melakukan perlindungan kepada 14 Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia yang mengalami perbudakan modern di Kapal Long Xing 629 berbendera Tiongkok. Pihaknya mendapatkan keterangan dari para ABK kalau mereka mendapatkan perlakuan yang tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan oleh pihak agen penyalur mereka.

Seluruh korban, kata kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi, langsung mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK setelah Bareskrim menetapkan tiga orang agen pengirim ABK sebagai tersangka TPPO. Pihaknya, langsung mengabulkan dan melindungi 14 ABK tersebut dengan layanan program Pemenuhan Hak Prosedural berupa pendampingan pada saat memberikan keterangan dalam setiap proses peradilan pidana serta fasilitasi penilaian restitusi atau ganti rugi dari pelaku. 

"Sejak awal LPSK menduga kasus ini terkait perdagangan orang,” kata dia saat konferensi pers secara daring melalui akun Instagram yang bertajuk “Perlindungan ABK Indonesia Korban Perdagangan Orang”, pada Selasa (16/6).

Sampai saat ini, pihaknya membangun komunikasi dengan Bareskrim Polri, Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri (Kemenlu). Dia mengaku, terlibat dalam proses penjemputan para ABK ini di bandara Soekarno-Hatta serta melakukan pendalaman informasi kepada 14 korban ABK tersebut di tempat penampungan milik Kementerian Sosial (Kemensos) di Jakarta. 

Dari para korban diperoleh keterangan mereka awalnya dijanjikan sebagai ABK kapal penangkapan ikan di Korea Selatan, mendapatkan gaji dan bonus sesuai perjanjian kerja dan dipekerjakan secara legal. Namun, nyatanya gaji dan bonus yang mereka terima tidak sesuai, mendapatkan perlakuan buruk dalam bekerja, kerja overtime, fasilitas medis yang buruk dan konsumsi makanan dan minuman yang tidak layak. "Perlakuan yang mereka dapat berbeda dengan ABK lainnya di kapal tersebut," ujarnya.

Edwin menambahkan, 14 ABK ini di antaranya berasal dari Bekasi (Jawa Barat), Brebes (Jawa Tengah), Tegal (Jawa Tengah) Bintan dan Natuna (Kepulauan Riau), Minahasa (Sulawesi Utara), Barru (Sulawesi Selatan), Halmahera (Maluku Utara) dan Masohi (Maluku Tengah).

Dari jumlah itu, kata dia, 12 di antaranya lulusan SMA atau sederajat, satu lulusan SMP dan satu lulusan SD. Usia mereka berkisar 20 sampai 22 tahun, tiga lainnya masing-masing berusia 28, 30 dan 35 tahun. Mereka rata-rata dijanjikan gaji sebesar 300 US Dollar perbulan dan hanya 2 ABK yang dijanjikan gaji lebih tinggi yaitu sebesar 400 dan 450 US Dollar perbulan. 

“14 ABK ini sebelumnya adalah satu rombongan dari 22 ABK WNI yang bersama-sama menjadi ABK Kapal Long Xing 629 pada awalnya. Namun, dua ABK dipindahkan ke kapal Long Xing 630 dan satu ABK meninggal di Kapal Long Xing 629. Setelah itu, 19 ABK meminta untuk dipulangkan, kemudian dipindahkan ke  Kapal Longxing 802 yang menuju ke Samoa,” kata dia.

Namun, di perjalanan itu satu ABK meninggal, lalu 16 ABK dipindahkan ke Kapal Tian Yu 82 yang menuju Busan sedangkan dua ABK tetap melanjutkan perjalan menuju Samoa. Dalam perjalanan menuju ke Busan satu ABK meninggal dunia karena sakit. Akhirnya, 15 ABK sampai di Busan dan menjalani karantina kesehatan dalam karantina, lalu satu ABK meninggal karena sakit.

Menurutnya, kasus ABK Kapal Longxing 629 ini menambah daftar korban TPPO yang mendapatkan perlindungan LPSK. "Dalam rentang waktu Januari sampai 8 Juni 2020. Sebanyak 45 orang terlindung LPSK korban TPPO yang berprofesi sebagai pekerja hiburan, buruh migran dan pekerja seks komersial, 28 orang diantaranya berprofesi sebagai ABK,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement