Selasa 16 Jun 2020 16:07 WIB

Rasisme Itu Primitif

Kasus George Floyd adalah pemantik perlawanan atas perlakuan yang tidak selayaknya.

Ady Amar
Foto:

"Kita harus mulai dari mana semuanya itu berasal," teriak aktivis Chelsea Higgs-Wise, kepada para demonstran Black Lives Matter (Rabu, 10/6/2020). Lalu, lanjutnya bersemangat, "Kita mulai dari orang-orang yang pertama kali berdiri di tanah ini."

Maka sasaran diarahkan pada patung Christopher Columbus. Patung penjelajah asal Italia jadi sasaran kemarahan demonstran anti-rasisme. Columbus dianggap sebagai simbol perbudakan yang memunculkan sentimen ras.

Columbus (1492) dikenal sebagai penemu benua Amerika, meski belakangan terkoreksi oleh temuan sejarah mutakhir dan menganulirnya. Namun Columbus dianggap sebagai pionir praktik kolonialisme atas penduduk asli benua Amerika.

Karenanya, patungnya setinggi delapan kaki jadi sasaran kemarahan. Patung itu dicoret-coret, dan salah satu coretan yang menonjol di antara lainnya adalah "Columbus Mewakili Genosida". Tidak cukup sampai di situ, patung itu diikat dengan tali dan lalu ditarik seribuan demonstran, dan blumm... robohlah patung itu. Lalu diseret beramai-ramai dan dilemparkan ke danau di kawasan Virginia.

Peristiwa merobohkan patung-patung simbol kolonialisme ini tidak saja di Amerika, tapi menyeruak ke belahan Eropa lainnya.

Di Inggris, para demonstran merobohkan patung pedagang budak abad ke-17, Edward Colston. Patung Colston itu dikintirkan ke sungai Avon, Bristol.

Di Belgia pun, para  demonstran marah, dan sasaran diarahkan pada patung Raja Leopold II. Patung itu dirobohkan, karena dianggap sebagai simbol kolonialisme di negara-negara Afrika Tengah. Dan itu berlanjut di tempat-tempat lainnya.

George Floyd Martir yang Menggerakkan

George Floyd, ras Afro-Amerika, ini bukan siapa-siapa. Sebelum peristiwa pembunuhan itu terjadi. Tidak banyak yang mengenalnya. Dia orang biasa saja, bahkan terbilang miskin.

Tapi setelah peristiwa 4 polisi kulit putih membunuhnya, maka namanya mengisi ruang publik begitu luas, menaruh simpati atasnya. Seluruh elemen masyarakat bergerak dan marah bersama atas perlakuan tidak manusiawi. Itulah pemantik koreksi atas kesewenang-wenangan, khususnya pada ras Afro-Amerika.

Eskalasinya menjadi meluas: dari perlawanan atas institusi kepolisian, yang melakukan tindakan biadab. Tidak berhenti di situ, tapi meluas sampai penjarahan toko-toko besar yang dilambangkan dengan kaya-miskin. Dan itu bernama kesenjangan sosial.

Meski tensi ketegangan, khususnya di Amerika itu mulai mereda, tapi setidaknya ini awal dari "ledakan" sosial yang lebih dahsyat lagi bisa saja terjadi, jika regulasi dan kebijakan tidak diubah dengan lebih "memfasilitasi" kelompok marjinal lebih baik lagi. Bukan dimanja, tapi diperlakukan sama dan selayaknya.

Konflik sosial atas nama ras tampaknya tetap akan mewarnai perjalanan sebuah bangsa, dan dampaknya akan melintas ke semua belahan dunia, cepat atau lambat. Dan itu bersumber pada ketidakadilan dan persamaan hak.

Kisah George Floyd akan terus dikenang sebagai martir, meski tidak diharapkannya, tapi mampu menggerakkan kesadaran baru bahwa rasisme menjadi musuh bersama. Dan itu harus diakhiri.

-- Tulisan ini setidaknya diilhami oleh Esai dari Ayn Rand, "Racism", yang termuat dalam The Virtue of Selfishness, A New Consept of Egoism, yang begitu menarik.

PENGIRIM/ PENULIS: Ady Amar, penikmat buku, dan pemerhati sosial, tinggal di Surabaya.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement