Selasa 16 Jun 2020 16:07 WIB

Rasisme Itu Primitif

Kasus George Floyd adalah pemantik perlawanan atas perlakuan yang tidak selayaknya.

Ady Amar
Foto: dok. Pribadi
Ady Amar

REPUBLIKA.CO.ID, Rasisme mengklaim bahwa isi pikiran seseorang itu diwariskan. Sebuah keyakinan tentang nilai dan karakter seseorang, itu ditetapkan sebelum dia lahir. Pandangan khas manusia gua di zaman pra sejarah tentang doktrin akan ide-ide bawaan (genetik).

Doktrin sesat ini tentu ditolak oleh filsafat dan sains, yang menyatakan pandangan itu tak ubahnya pandangan akan hutan yang merupakan "kandang" bermacam-macam ternak tentang kolektivisme. Itu cocok untuk mentalitas yang membedakan jenis binatang dengan binatang lainnya, tapi tidak antara binatang dan manusia.

Rasisme menegasikan dua aspek kehidupan paling fundamental bagi manusia, akal budi dan moralitas. Lalu menggantinya dengan takdir turunan, dan itu adalah genetika.

Seolah itu menegakkan aturan melekat yang tidak dapat "diusik" oleh faktor empiris sekalipun. Inilah bentuk kolektivisme paling primitif, sesat dan barbar yang coba dipertahankan hingga kini.

Rasisme modern berusaha membuktikan klaim keunggulan ras tertentu, biasa disebut inferioritas ras, dengan historisasi dari kelompoknya. Digambarkan dengan kemampuan otak superior itu hanya ada pada ras-ras tertentu, tapi tidak pada ras lainnya. Hitler di ntaranya yang menganggap ras Aria bangsa Jerman adalah ras unggul dibanding dengan ras lainnya.

Klaim unggul dari ras lainnya, memunculkan gap antara "ras unggul" dan "ras tidak unggul". Muncullah perlakuan semaunya atas nama ras unggul.

Klaim keunggulan ras tertentu meski tidak dapat dibuktikan, terus saja hidup dan subur dengan bentuknya yang lain. Era perbudakan dihapus, tapi pembunuhan mental atas ras tertentu sebagai "budak selamanya" masih tetap berlangsung, dilestarikan turun-temurun.

Inilah ketidakadilan yang dipertontonkan sejak zaman pra sejarah hingga abad ini. Dan kasus George Floyd adalah pemantik perlawanan atas perlakuan yang tidak selayaknya, itu bukan baru dimulai, tapi eskalasi kemarahan yang dibangun sekian lama atas nama penindasan manusia paling hina.

Bentuk protes kemarahan yang dimunculkan sampai pada tingkat aksi vandalisme yang tidak saja dimulai dari Minneapolis, AS, ke kota-kota besar lainnya di sana, tapi juga menyeruak ke Eropa. Perlawanan atas hegemoni kekuasaan yang memperkosa psikologi massa, tidak saja kulit berwarna --Afro Amerika-- tapi perlawanan dari sebagian ras kulit putih sendiri yang sadar selama ini termarjinalkan oleh pikiran sesat, yang hinggap sebagai perilaku sehari-hari tanpa disadarinya.

Saatnya kini perlakuan kesewenang-wenangan, yang dibangun atas ketidakadilan dan eksploitasi manusia atas manusia diakhiri. Ilusi bahwa ras tertentu lebih unggul itu harus dikubur selamanya.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement