Senin 15 Jun 2020 16:41 WIB

Menlu Libya: Investigasi Kuburan Massal di Tarhuna

Sebelas kuburan massal ditemukan di Tarhuna, wilayah yang sebelumnya dikuasai Haftar.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Tentara Libya merayakan kemenangan setelah merebut kota Tarhuna dari milisi pemberontak Khalifa Haftar di barat Libya pada 5 Juni 2020. ( Hazem Turkia - Anadolu Agency )
Foto: Anadolu Agency
Tentara Libya merayakan kemenangan setelah merebut kota Tarhuna dari milisi pemberontak Khalifa Haftar di barat Libya pada 5 Juni 2020. ( Hazem Turkia - Anadolu Agency )

REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Menteri Luar Negeri Libya Mohamed Siala mendesak Dewan Keamanan PBB membawa kasus penemuan kuburan massal di negaranya ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Dia telah mengirim surat resmi terkait hal tersebut pada Ahad (14/6).

Menurut pernyataan tertulis yang diterbitkan di akun Facebook Kementerian Luar Negeri Libya, Siala mengatakan negaranya telah menemukan 11 kuburan massal di Tarhuna, sebuah wilayah yang sebelumnya dikuasai pasukan Libyan National Army (LNA) pimpinan Khalifa Haftar. Dia menyebut beberapa orang, termasuk wanita dan anak-anak, telah dikubur hidup-hidup.

Siala meminta ICC memulai langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelidiki kejahatan pasukan Haftar. “Dewan Keamanan PBB kali ini harus mengambil sikap tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan milisi Haftar dan dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan,” ujarnya, seperti dikutip laman Anadolu Agency.

Sebelumnya Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan terkejut dengan penemuan kuburan massal di wilayah Tarhuna. Dia menyerukan agar dilakukan penyelidikan transparan terkait hal tersebut.

Guterres meminta Government National Accord (GNA), yakni pemerintahan Libya yang diakui PBB, mengamankan kuburan massal dan mengidentifikasi para korban. Ia pun meminta agar penyebab kematian ditetapkan dan jenazah para korban dikembalikan kepada saudara terdekat.

“Sekretaris Jenderal (PBB) sekali lagi mengingatkan semua pihak pada konflik di Libya tentang kewajiban mereka di bawah hukum humaniter internasional dan hukum hak asasi manusia (HAM) internasional,” kata juru bicara Guterres, Stephane Dujarric, dikutip laman the Guardian, Sabtu (13/6).

Pekan lalu menteri dalam negeri di GNA Fathi Bashagha mengatakan otoritas berwenang telah telah mendokumentasikan bukti dugaan kejahatan perang di Tarhuna. Laporan awal menunjukkan puluhan korban yang ditemukan di kuburan massal telah dikubur hidup-hidup. Bashagha pun mengungkapkan bahwa tim investigasi telah menemukan sebuah peti kemas di Tarhuna yang penuh dengan mayat hangus.

Kelompok milisi yang bersekutu dengan GNA telah berhasil merebut kembali Tarhuna yang terletak sekitar 65 kilometer di tenggara ibu kota Tripoli. Itu menjadi serangkaian keberhasilan GNA dalam memukul mundur LNA. Sebelumnya pemerintah mengatakan telah memperoleh kembali kendali atas semua titik masuk dan keluar Tripoli, termasuk bandara.

Libya telah dilanda krisis sejak 2011, yakni ketika pemberontakan yang didukung NATO melengserkan mantan presiden Muammar Qadafi. Dia telah memimpin negara tersebut lebih dari empat dekade. Qadafi pun tewas setelah digulingkan.Sejak saat itu, kekuasaan politik Libya terpecah dua. Basis pertama memusatkan diri di Libya timur dengan pemimpinnya Khalifa Haftar. Sementara basis yang didukung PBB berada di Tripoli.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement