Advertisement

Setahun Kematian Mursi, Bangkit dan Runtuhnya Ikhwan Mesir

Selasa 16 Jun 2020 05:15 WIB

Rep: Lintar Satria/ Red: Teguh Firmansyah

Mantan Presiden Mesir, Muhammad Mursi

Foto: Youtube
Abdul Fattah al-Sisi mengkudeta Muhammad Mursi di tengah ketegangan politik.

REPUBLIKA.CO.ID, Tepat hampir setahun lalu, presiden Mesir pertama yang dipilih melalui jalur demokratis Muhammad Mursi meninggal. Mursi meninggal bukan di rumah atau bersama keluarganya, melainkan saat di persidangan pada 17 Juni 2019. 

Ia tiba-tiba terjatuh di pengadilan. Meski sempat dibawa ke rumah sakit, namun nyawanya tak dapat tertolong. Kini gerakan Ikhwanul Muslimin yang mendukung Mursi masih dinyatakan terlarang. Sementara pendukung Ikhwan tak sedikit yang masih berada di balik jeruji besi.

Baca Juga

 

Seperti diketahui kejatuhan Husni Mubarak saat revolusi Arab Spring di Mesir pada 2011 mengejutkan banyak pihak. Rezim otoriter Mubarak yang hingga kini dianggap memiliki tatanan kediktatoran paling kuat runtuh oleh tekanan pengunjuk rasa dan lemahnya ikatan sosial elite epolitik. Militer berpaling dari rezim di detik-detik paling krusial. 

The Supreme Council of the Armed Forces (SCAF), lembaga militer tertinggi Mesir yang dibentuk untuk mengoordinasikan strategi di masa perang, memutuskan untuk menggelar pemilihan umum. Hasilnya seperti yang telah diketahui sayap politik Ikhwanul Muslimin yakni Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) dan sekutu mereka Democratic Alliance meraih banyak suara di parlemen. 

Beberapa bulan kemudian kandidat presiden FJP, Muhammad Mursi terpilih sebagai presiden Mesir.  Mursl dilantik pada 30 Juni 2012. Tapi, usia Mursi di pemerintahan tak berlangsung lama. Ia digulingkan oleh militer setelah gerakan oposisi menggelar demonstrasi besar-besaran memintanya mundur.

Pakar politik Arab Universitas Laval, Prancis, Jean-François Létourneau menulis Ikhwanul Muslim yang didirikan pada 1920-an memiliki sejarah panjang aktivisme politik di Mesir. Dalam artikel Explaining the Muslim Brotherhood’s Rise and Fall in Egypt di Jurnal Mediterranean Politics, Létourneau mengatakan organisasi itu telah melebarkan sayap ke berbagai negara lain.

"Gerakan ini menarik minat sejumlah cendekiawan, terutama sejak tahun 1980-an, ketika muncul apa yang disebut kebangkitan Islam di negara-negara mayoritas Muslim yang disertai meningkatnya pengaruh gerakan Islam pada budaya dan marginalisasi semu, di beberapa negara yang sama, gerakan ini mendorong demokrasi sekuler," tulis Létourneau.

Selama kekuasaan Mubarak, Ikhwanul Muslimin dikenal sebagai oposisi pemerintah terbesar. Ketika Mubarak jatuh Ikhwanul Muslimin tampil sebagai wajah baru. Pada Maret 2012 FJP menunjuk aktivis Khairat el-Shater sebagai calon presiden.

Tapi Mahkamah Agung menganulir pencalonannya dengan alasan Shater baru keluar penjara pada bulan Maret 2011. Sementara calon presiden setidaknya harus keluar dari penjara enam tahun sebelum pemilihan presiden yang dijadwalkan 14 April 2012. 

Setelah El-Shater didiskualifikasi, Muhammad Mursi yang sebelumnya hanya calon cadangan maju sebagai kandidat presiden. Sarjana teknik lulusan Amerika itu didukung tokoh agama terkenal Safwat Hegazi.

Mursi menang pada putaran pertama mengalahkan Ahmed Shafik, Hamdeen Sabahi, Abdel Moneim Aboul Fotouh dan Amir Moussa. Pada putaran kedua Mursi mengalahkan Shafik dengan dengan perbandingan suara 51,7 persen dan 48,3 persen.

Kemenangan Mursi sempat mematahkan tradisi kekuasaan militer di Mesir sejak negara itu menggulingkan monarki 60 tahun sebelumnya. Kemenangan ini juga kemenangan pertama Ikhwanul Muslimin di dunia Arab setelah 84 tahun bergerak di akar rumput.

REPUBLIKA.CO.ID, Tepat hampir setahun lalu, presiden Mesir pertama yang dipilih melalui jalur demokratis Muhammad Mursi meninggal. Mursi meninggal bukan di rumah atau bersama keluarganya, melainkan saat di persidangan pada 17 Juni 2019. 

Ia tiba-tiba terjatuh di pengadilan. Meski sempat dibawa ke rumah sakit, namun nyawanya tak dapat tertolong. Kini gerakan Ikhwanul Muslimin yang mendukung Mursi masih dinyatakan terlarang. Sementara pendukung Ikhwan tak sedikit yang masih berada di balik jeruji besi.

Baca Juga

 

Seperti diketahui kejatuhan Husni Mubarak saat revolusi Arab Spring di Mesir pada 2011 mengejutkan banyak pihak. Rezim otoriter Mubarak yang hingga kini dianggap memiliki tatanan kediktatoran paling kuat runtuh oleh tekanan pengunjuk rasa dan lemahnya ikatan sosial elite epolitik. Militer berpaling dari rezim di detik-detik paling krusial. 

The Supreme Council of the Armed Forces (SCAF), lembaga militer tertinggi Mesir yang dibentuk untuk mengoordinasikan strategi di masa perang, memutuskan untuk menggelar pemilihan umum. Hasilnya seperti yang telah diketahui sayap politik Ikhwanul Muslimin yakni Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) dan sekutu mereka Democratic Alliance meraih banyak suara di parlemen. 

Beberapa bulan kemudian kandidat presiden FJP, Muhammad Mursi terpilih sebagai presiden Mesir.  Mursl dilantik pada 30 Juni 2012. Tapi, usia Mursi di pemerintahan tak berlangsung lama. Ia digulingkan oleh militer setelah gerakan oposisi menggelar demonstrasi besar-besaran memintanya mundur.

Pakar politik Arab Universitas Laval, Prancis, Jean-François Létourneau menulis Ikhwanul Muslim yang didirikan pada 1920-an memiliki sejarah panjang aktivisme politik di Mesir. Dalam artikel Explaining the Muslim Brotherhood’s Rise and Fall in Egypt di Jurnal Mediterranean Politics, Létourneau mengatakan organisasi itu telah melebarkan sayap ke berbagai negara lain.

"Gerakan ini menarik minat sejumlah cendekiawan, terutama sejak tahun 1980-an, ketika muncul apa yang disebut kebangkitan Islam di negara-negara mayoritas Muslim yang disertai meningkatnya pengaruh gerakan Islam pada budaya dan marginalisasi semu, di beberapa negara yang sama, gerakan ini mendorong demokrasi sekuler," tulis Létourneau.

Selama kekuasaan Mubarak, Ikhwanul Muslimin dikenal sebagai oposisi pemerintah terbesar. Ketika Mubarak jatuh Ikhwanul Muslimin tampil sebagai wajah baru. Pada Maret 2012 FJP menunjuk aktivis Khairat el-Shater sebagai calon presiden.

Tapi Mahkamah Agung menganulir pencalonannya dengan alasan Shater baru keluar penjara pada bulan Maret 2011. Sementara calon presiden setidaknya harus keluar dari penjara enam tahun sebelum pemilihan presiden yang dijadwalkan 14 April 2012. 

Setelah El-Shater didiskualifikasi, Muhammad Mursi yang sebelumnya hanya calon cadangan maju sebagai kandidat presiden. Sarjana teknik lulusan Amerika itu didukung tokoh agama terkenal Safwat Hegazi.

Mursi menang pada putaran pertama mengalahkan Ahmed Shafik, Hamdeen Sabahi, Abdel Moneim Aboul Fotouh dan Amir Moussa. Pada putaran kedua Mursi mengalahkan Shafik dengan dengan perbandingan suara 51,7 persen dan 48,3 persen.

Kemenangan Mursi sempat mematahkan tradisi kekuasaan militer di Mesir sejak negara itu menggulingkan monarki 60 tahun sebelumnya. Kemenangan ini juga kemenangan pertama Ikhwanul Muslimin di dunia Arab setelah 84 tahun bergerak di akar rumput.

  • Komentar 0

Dapatkan Update Berita Republika

BERITA LAINNYA