Ahad 14 Jun 2020 18:52 WIB

Lima Kejanggalan Tuntutan Ringan Penyerang Novel Baswedan

Pukat UGM menemukan lima kejanggalan tuntutan ringan untuk penyerang Novel Baswedan.

Rep: Rizkyan Adiyudha, Antara/ Red: Andri Saubani
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM) mengungkapkan sejumlah kejanggalan terkait tuntutan hukum pelaku penyiraman terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan. Tuntutan ringan terhadap terdakwa dinilai dapat berdampak buruk pada upaya pemberantasan korupsi.

Peneliti Pukat UGM Agung Nugroho mengatakan, kejanggalan pertama adalah pernyataan jaksa yang mengatakan, bahwa tidak ada niat pelaku untuk melukai Novel. Kedua personel polisi aktif itu mengaku hanya ingin menyiram air keras ke badan Novel tetapi malah mengenai wajah.

Baca Juga

"Pernyataan JPU yang mengatakan bahwa tidak terpenuhinya unsur rencana terlebih dahulu merupakan pemahaman hukum pidana yang keliru," kata Agung Nugroho saat dikonfirmasi di Jakarta, Ahad (14/6).

Agung menjelaskan, ada tiga unsur melakukan kejahatan berencana. Di antaranya memutuskan kehendak dalam suasana tenang, tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak dan pelaksanaan kehendak dalam keadaan tenang.

"Terdakwa telah memenuhi tiga unsur di atas, terbukti dengan adanya pengintaian dan air keras yang telah dipersiapkan oleh terdakwa sebelum melakukan penyiraman," katanya.

Kejanggalan kedua berkenaan dengan pasal yang dikenakan terhadap para pelaku. Agung mengatakan, pasal yang dikenakan terhadap kedua terdakwa adalah 353 ayat (2) KUHP.

Dia mengatakan, padahal tindak pidana yang dilakukan kedua pelaku tergolong penganiayaan berat. Menurutnya, JPU seharusnya mengarahkan tindakan terdakwa pada Pasal penganiayaan berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 355 ayat (1) KUHP.

Kejanggalan lainnya adalah JPU justru lebih mempertimbangkan keterangan terdakwa. Agung mengatakan, jaksa seharusnya bertugas membuktikan kebenaran materiil dan keadilan. Tegasnya, bukan justru memilih untuk lebih mempertimbangkan keterangan terdakwa sebagai bukti.

Dia mengungkapkan, terdakwa dalam memberikan keterangannya tidak disumpah sehingga memiliki hak ingkar. Lanjutnya, jaksa juga mengabaikan adanya barang bukti semisal air keras, rekaman CCTV dan saksi kunci yang pernah diperiksa oleh tim pencari fakta maupun Komnas HAM.

Kejanggalan keempat berkaitan dengan tuntutan yang tidak logis hingga mencederai keadilan. Agung mengatakan, jaksa sebenarnya memiliki opsi menuntut maksimal tujuh tahun penjara dalam pasal yang termuat dalam dakwaan subsidair.

"Namun alih-alih mengambil pilihan itu, jaksa justru menuntut hukuman hanya satu tahun penjara," katanya.

Kejanggalan terakhir adalah tidak diungkapnya aktor intelektual dan motif kasus tersebut. Agung menjelaskan, alasan tindakan menyiram Novel karena rasa tidak suka merupakan motif yang tidak kuat.

Dia menjelaskan, dugaan adanya aktor intelektual di belakang kasus ini muncul mengingat rekam jejak Novel sebagai penyidik KPK yang menangani kasus-kasus besar. Lanjutnya, berdasarkan temuan tim pencari fakta setidaknya terdapat enam kasus yang dinilai berpotensi menimbulkan balas dendam terhadap Novel.

"Meskipun demikian, hal tersebut tidak berhasil diungkapkan dalam proses persidangan," katanya.

Agung mengatakan, harapan terakhir untuk memperoleh keadilan dalam kasus ini sepenuhnya terletak pada palu majelis hakim. Menurutnya, tuntutan jaksa yang dibalut dengan berbagai kejanggalan di atas tidak tepat dijadikan satu-satunya rujukan dalam menjatuhkan putusan.

Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar bahwa tuntutan JPU yang hanya satu tahun sangat ironis. Dia mengatakan, tuntutan itu tidak menggambarkan nuansa keprihatinan terhadap penghinaan profesi penegak hukum.

Dia mengatakan, peristiwa serupa padahal tidak mustahil suatu saat menimpa seorang JPU. Lanjuntya, putusan itu juga tidak memperlihatkan perlawanan terhadap tindakan yang melemahkan pemberantasan korupsi.

Dia menilai, secara motif (mens rea) merupakan keanehan yang sangat jelas terhadap orang yang tidak pernah berhubungan dan tidak punya perselisihan apa pun melakukan penyiraman air keras. Menurunya, kemungkinan yang paling logis adalah para terdakwa merupakan orang suruhan.

"Sehingga harus dicari atau dilacak siapa dalang atau siapa aktor intelektual dari perbuatan pidana ini," katanya.

Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette, dua terdakwa penyerang penyidik KPK, Novel Baswedan dituntut 1 tahun penjara. Dalam sidang pembacaan nota tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (11/6), jaksa dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara menilai keduanya terbukti melakukan penganiayaan terencana yang mengakibatkan luka-luka berat.

Menurut jaksa, kedua terdakwa tidak memenuhi unsur-unsur dakwaan primer soal penganiayaan berat dari Pasal 355 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Terdakwa dinilai jaksa hanya akan memberikan pelajaran kepada Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman air keras ke Novel Baswedan.

"Tapi di luar dugaan ternyata mengenai mata Novel Baswedan yang menyebabkan mata kanan tidak berfungsi dan mata kiri hanya berfungsi 50 persen saja artinya cacat permanen sehingga unsur dakwaan primer tidak terpenuhi," kata anggota jaksa penutut umum (JPU) Kejari Jakarta Utara Ahmad Fatoni, Kamis.

Dalam surat tuntutan disebutkan kedua terdakwa yaitu Ronny Bugis bersama-sama dengan Rahmat Kadi Mahulette tidak suka atau membenci Novel Baswedan. Keduanya menganggap Novel telah mengkhianati dan melawan institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

"Seperti kacang lupa pada kulitnya, karena Novel ditugaskan di KPK padahal dibesarkan di institusi Polri, sok hebat, terkenal dan kebal hukum sehingga menimbulkan niat terdakwa untuk memberikan pelajaran kepada Novel dengan cara membuat Novel luka berat," ungkap jaksa.

JPU Kejari Jakarta Utara juga menyatakan ada sejumlah hal yang meringankan dalam perbuatan kedua terdakwa. Yaitu, belum pernah dihukum, mengakui perbuatan, bersikap kooperatif, dan mengabdi sebagai anggota Polri selama 10 tahun.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement