Sabtu 13 Jun 2020 23:34 WIB

New Normal, New Rumit

Indonesia memasuki fase new normal di tengah pro kontra ketidaksiapan

Trimanah, Dosen Unisula Semarang
Foto: Istimewa
Trimanah, Dosen Unisula Semarang

REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Trimanah*

Sejak pengujung tahun 2019 hingga sekarang, dunia dikagetkan oleh mewabahnya virus corona yang awalnya dianggap tidak berbahaya.

Namun, ternyata hanya dalam hitungan bulan virus ini menjangkiti hampir seluruh isi planet bumi dan menyebabkan ribuan kematian di banyak Negara. Virus ini membawa penyakit baru yang sebelumnya tidak pernah ada: COVID-19. 

Corona adalah kelompok virus yang sama, yang menyebabkan penyakit MERS dan SARS yang cukup menghebohkan beberapa tahun yang lalu.

Mungkin pada awalnya tidak banyak orang yang percaya bahwa dampak penyebarannya  akan sedahsyat ini mempengaruhi kesehatan dan tatanan kehidupan manusia di bumi. 

Orang baru sadar dan percaya bahwa virus ini berbahaya ketika sudah memakan ribuan korban di Wuhan dan kota-kota lain di China dan dunia.   

Pemerintah Indonesia pun pada awalnya tampak tidak percaya bahwa virus ini akan menjangkiti Negara tropis seperti Indonesia. Ketika virus ini memporakporandakan tatanan kehidupan masyarakat di Wuhan, bahkan ketika virus ini sudah sampai ke Negara-negara Eropa, pemerintah masih saja belum melakukan tindakan apa-apa. 

Corona  jenis ini dianggap virus biasa saja dan tidak berbahaya sehingga Indonesia tidak perlu overreactive terhadapnya. Persepsi yang seperti itu tentunya salah. 

Kesalahan persepsi ini telah mengakibatkan bangsa dan Negara ini menghadapi bahaya tingkat tinggi yang rumit di kemudian hari. 

Kesalahan persepsi dapat terjadi ketika kita menolak informasi baru, atau informasi itu berlawanan dengan apa yang sudah kita pikirkan sebelumnya mengenai sesuatu. Persepsi kita mengenai sesuatu akan berpengaruh pada bagaimana kita berkomunikasi dan bertindak.

Kesalahan persepsi pemerintah ini terjadi karena beberapa hal, di antaranya karena efek “halo”, yaitu kesalahan persepsi pada kesan pertama. 

Meski Covid-19 sudah sedemikian menginfeksi warga Wuhan bahkan sampai ke Eropa, tapi kita masih santai-santai aja. “Ah…itu tidak akan sampai ke Negara kita” atau “corona itu hanya virus penyebab flu biasa, nggak berbahaya, nanti bisa sembuh sendiri”. 

Ini mirip seperti ketika kita melihat orang dari tampilannya yang tidak meyakinkan, kemudian kita mempersepsinya sebagai orang yang bodoh atau miskin. Padahal sebaliknya. 

Kesalahan persepsi juga bisa terjadi karena stereotip. Kita sering mengeneralisasi sesuatu berdasarkan sedikit informasi dan berasumsi sama dengan orang-orang yang ada di sekitar kita. 

Ketika informasi mengenai suatu hal yang kita terima sedikit, dan orang-orang di sekitar kita berasumsi bahwa sesuatu hal itu baik atau buruk, maka kita akan mengikuti asumsi itu. 

Sama halnya ketika Bapak Terawan yang juga Menteri Kesehatan menyatakan bahwa covid-19 adalah penyakit flu biasa, dan Menteri Perhubungan mengatakan bahwa covid tidak akan masuk ke Indonesia karena kita sering makan nasi kucing. 

Bahkan, di tengah badai Covid yang melanda dunia, Menteri Perhubungan justru membuka promo tiket besar-besaran untuk menarik kedatangan wisatawan asing. 

Penyataan-pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa kedua menteri ini sudah berasumsi bahwa covid tidak berbahaya, dan orang-orang di sekitarnya juga bisa memiliki asumsi yang sama.

Kesalahan atribusi adalah penyebab lain dari kesalahan persepsi. Kita sering keliru memahami kenapa sesuatu itu bisa terjadi. Atribusi adalah proses di mana seseorang menafsirkan beberapa kejadian dan bagaimana hal ini berkaitan dengan pemikiran dan perilaku mereka. 

Dalam sebuah teori, atribusi dianggap sebagai sebuah kerangka kerja untuk memahami bagaimana seseorang menafsirkan perilaku mereka sendiri dan perilaku pihak lain. 

Virus corona adalah makhluk tak kasat mata yang juga memiliki perilaku yang bisa diamati dan dipelajari. Ketika kita enggan mengamati dan mempelajari lebih jauh mengenai virus ini, maka kesalahan atribusi terjadi. 

Padahal atribusi adalah intinya persepsi manusia mengenai sesuatu. Ketika atribusi salah, maka persepsi juga akan salah. Dan persepsi adalah intinya komunikasi. 

Persepsi mempengaruhi komunikasi dan tindakan

Berangakat dari persepsi yang salah itulah yang membuat pemerintah terlihat tidak serius menangani pandemik ini. Pemerintah tentunya tidak mau mengakui. 

Tetapi publik luas bisa menangkap ketidakseriusan ini, yang tercermin dalam  komunikasi publik pemerintah yang tidak terkelola dengan baik. 

Sejak awal masa pandemik tidak ada narasi tunggal yang dibangun untuk menggugah dan menumbuhkan kesadaran public akan bahaya pandemik. Tidak ada collaborative leadership dari para pejabat dan pemangku kebijakan. 

Mereka justru seperti berlomba mengeluarkan statemen sendiri-sendiri, yang seringkali saling bertentangan satu sama lain. Bahkan ketika covid-19 betul-betul menjangkiti masyarakat Indonesia, dan jumlahnya makin hari makin bertambah, kegagapan komunikasi masih saja terjadi. 

Tindakan dan perilaku para pemangku kebijakan dan pejabat ini adalah akumulasi dari tindakan dan perilaku organisasi. Sebab perilaku organisasi, dalam hal ini pemerintah, pada hakekatnya mendasarkan pada perilaku yang dikembangkan dengan pusat perhatiannya adalah tingkah laku manusia dalam organisasi pemerintah itu sendiri. 

Menurut Fred Luthans, perilaku organisasi merupakan pemahaman, prediksi, dan manajemen perilaku manusia di dalam organisasi. 

Kesalahan persepsi sejak awal mengenai covid-19 tidak hanya mempengaruhi komunikasi dan perilaku individu-individu dan kelompok dalam organisasi, tetapi juga pada akhirnya mempengaruhi kebijakan organisasi secara keseluruhan. 

Sebab kebijakan organisasi adalah produk pemikiran orang-orang yang ada didalam organisasi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dituangkan secara tertulis dan bersifat mengikat. Pertimbangan-pertimbangan itu sangat ditentukan oleh persepsi yang mereka miliki. 

Kebijakan pemerintah dalam penganan covid-19 sejak awal tampak tambal sulam. Hal ini memperlihatkan bahwa pemerintah tidak yakin dengan kebijakan yang diambil. 

Untuk menentukan apakah perlu memberlakukan lockdown (karantina wilayah) seperti di Wuhan dan kota-kota lain yang sudah lebih dulu terpapar covid-19, Indonesia memerlukan waktu lebih dari satu bulan.

Itupun setelah melalui perdebatan yang panjang antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dalam hal ini DKI Jakarta.

PSBB resmi diberlakukan di Jakarta tiga puluh delapan hari sejak kasus pertama diumumkan oleh Presiden pada 2 Maret 2020, tepatnya pada 10 April 2020 - setelah  menjangkiti lebih dari 3.500 penduduk Indonesia, dan lebih dari 300-nya meninggal. 

Presiden mengeluarkan imbauan bagi masyarakat untuk melakukan social distancing, setelah lebih dari dua minggu mengumumkan kasus pertama. 

 

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement