Sabtu 13 Jun 2020 04:33 WIB
Islam

Islam Dalam Kehidupan Keagamaan dan Kepercayaan Menak Sunda

Kisah Islam di dalam benak para Menak Sunda

Sebuah keluarga Menak Sunda
Foto: gahetna.nl
Sebuah keluarga Menak Sunda

REPUBLIKA.CO.ID -- Beginilah sebuah tinjauan sisi kebatinan elit sunda (Menak Sunda) dalam kajian yang ditulis pada sejarawan Unpad, DR Nina H Lubis. Dalam disertasi yang ditulis untuk menyelesaikan studi doktor sejarahnya di Universitas Gajah Mada yang berjudul 'Kehidupan Menak Priangan 1800-1942' Nina H Lubis berbicara banyak mengenai sisi batin elit Sunda dalam penghayatannya terhadap agama Islam. Hasil penelitan itu begini:

Bila melihat banyaknya anak-anak ménak yang masuk pesantren pada usia remaja pada abad ke-19, diharapkan bahwa mereka menjadi pemeluk Islam yang taat. Akan tetapi, bila dilihat dalam uraian-uraian terdahulu yang berkaitan dengan agama, masih perlu dijelaskan sejauh mana religiusitas mereka.

Seperti telah dikemukakan, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan bupati sebagai kepala agama Islam di kabupatennya. Di balik pengangkatan ini tersirat maksud pemerintah agar bupati juga mengawasi perkembangan agama ini, terutama setelah terjadinya berbagai kerusuhan pada abad ke-19 yang dimotori para kiai dari pesantren-pesantren yang tersebar di pedesaan.

Tentu saja hal ini bisa dianggap sebagai beban bagi para bupati. Mereka menghadapi dilema karena bila mereka memperlihatkan diri sebagai muslim yang taat, penguasa yang sholeh, akan me- ngundang kecurigaan pemerintah, tetapi bila mengurangi kete- kunannya beribadah, bisa menjauhkan mereka dengan rakyat. Karena ingin menyenangkan penguasa asing, para pejabat priyayi bersikap hati-hati agar tidak terlihat fanatik. Hal ini meng- akibatkan mereka kehilangan sambungan dengan dunia Islam. Dalam situasi yang dilematis begitu, beberapa bupati masih sempat melaksanakan ibadah haji. Sepanjang abad ke-19 tercatat beberapa orang ménak bawahan dan kerabat bupati yang juga melaksanakan rukun Islam yang kelima itu.

Sebagai kepala agama Islam di kabupaten, para bupati harus inenyelenggarakan acara-acara ritual maupun seremonial pada hari-hari besar Islam. Pada waktu Idul Fitri para bupati biasanya memakai jubah Arab (baju gamis) yang dimaksudkan untuk lebih menonjolkan keislamannya. Penampilan hidup bergaya islami secara fisik belum tentu diimbangi sikap batin islami. Misalnya: dalam perkawinan, seperti telah diungkapkan, sering terjadi kesewenang wenangan dalam menceraikan istri. Perseliran tanpa pernikahan, palagi jumlahnya puluhan bahkan ratusan, jelas bertentangan dengan syariah Islam.

Adanya penghulu yang juga merangkap menjadi rentenir, jelas tidak islami. Seperti telah dikemukakan, seseorang itu diangkat menjadi penghulu, sebenar- nya bukan karena pertimbangan pengetahuan di bidang agama semata-mata atau kesalehannya, tetapi faktor keturunan pun menjadi pertimbangan. Misalnya saja, Hoofdpenghulu Limba- ngan, Haji Muhamad Musa, ayahnya seorang penghulu, kemudi- an salah seorang putranya juga menjadi penghulu. Haji Muhamad Rusdi diangkat menjadi Hoofd-penghulu di Kutaraja mengganti-kan Haji Hasan Mustapa karena ia adalah keturunan para penghulu terkemuka yang termasuk kelas ménak juga.(

Faktor keturunan ini penting karena para penghulu sebagai ulama birokrat diharapkan akan memiliki loyalitas yang tinggi kepada peme- rintah sebagaimana para ménak birokrat umumnya. Bupati yang terlalu menonjolkan kesalehannya, terlepas dari apapun motivasi- nya, bisa dicurigai dan menimbulkan konflik. R.A.A. Wiranata- kusumah, satu-satunya bupati di Priangan yang digelari Dalem Haji, merupakan satu contoh kasus. Seperti telah diuraikan, bahwa dua orang Asisten Residen Bandung, memberikan penilaian negatif dalam conduitestaat bupati tersebut dan juga dalam memorie van overgave yang mereka tulis. Pada acara Idul Fitri di depan tamu-tamu Eropa, Bupati Bandung yang memakai jubah Arab itu membiarkan kakinya dicium oleh istri, kaum-kerabat, dan bawahannya. Verschuir menyebut R.A.A. Wiranatakusumah seperti sedang bermain operet.

Sebenarnya, acara semacam itu sudah menjadi tradisi setiap tahun. Kemungkinan sikap antipati dari para asisten-residen ini pula yang menyebabkan koran Soerapati dibiarkan dengan bebas mencaci-maki Bupati R.A.A. Wiranatakusumah tanpa mengindahkan etika sama sekali. Menurut pengamatan putrinya, yang menyertai Bupati Bandung ini dalam kunjungan-kunjungan ke pedesaan, ayahnya tampak begitu populer karena ia mau berbicara dan mendengarkan rakyatnya. Popularitasnya di mata rakyat, bisa saja dipandang membahayakan pemerintah, apalagi ia pernah bersimpati kepada Sarekat Islam. Ia juga menuliskan perjalanannya ke Mekah dan menulis buku mengenai Islam.

Bupati ini pernah mempromosikan pembuatan mesjid agung yang indah karena mesjid yang ada dianggap sudah tidak memadai. Hal yang terakhir ini tidak sempat terlaksana karena tidak diizinkan oleh Asisten Residen Hillen dengan alasan pembiayaannya direncanakan akan dibebankan kepada rakyat. Bagaimanapun semua ini menampilkan diri bupati sebagai pemimpin pribumi yang taat beragama meskipun di satu nisi ia seperti juga para leluhurnya, memiliki istri berganti-ganti. Jadi, dalam hal yang satu ini, adat mengalahkan agama. Hal ini sekaligus merefleksikan bahwa pemahaman dan penghayatan agama Islam pada saat itu belum maksimal.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement