Jumat 12 Jun 2020 06:56 WIB

New Normal di Saat Abnormal

Benarkah new normal menjadi keputusan tepat saat ini?

Pengendara melintasi mural new normal di Jalan T.B Simatupang, Jakarta, Sabtu (6/6)
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pengendara melintasi mural new normal di Jalan T.B Simatupang, Jakarta, Sabtu (6/6)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Eriga Agustiningsasi, S.KM, Penyuluh Kesehatan

New normal life (tatanan kehidupan baru) rupanya menjadi momen yang sangat ditunggu-tunggu sebagian orang. Tatanan kehidupan baru dengan kebiasaan baru berupa pemberlakuan protokol kesehatan ini menjadi kabar menggembirakan terutama pada pelaku usaha ekonomi yang selama ini sangat terdampak akibat pandemi Covid-19 ini. Namun, benarkah new normal menjadi keputusan tepat saat angka orang terkonfirmasi positif corona terus menaik bahkan sangat tajam?

New normal life bukanlah ide murni dari Indonesia. Mengapa? Karena ide ini telah dicetuskan WHO, organisasi kesehatan dunia di bawah naungan PBB. Namun bukan berarti semua negara bisa menerapkan ini. Beberapa persyaratan harus dipenuhi jika suatu negara ingin memberlakukan new normal life.

Salah satunya ialah kurva angka kasus baru cenderung turun. Artinya pandemi virus yang berasal dari Wuhan, Cina ini sudah mampu dikendalikan. Namun jika new normal life diberlakukan pada saat kondisi sedang abnormal, artinya kasus masih terus melaju naik, maka apa yang akan terjadi?

Kabar pemberlakuan new normal life di beberapa wilayah Indonesia ini disambut baik para pelaku usaha, baik skala kecil, menengah hingga atas. Mal pusat perbelanjaan pun antusias menyambutnya. Dengan penyediaan protokol kesehatan yang diklaim lengkap, mereka siap menjalani aktivitas ekonomi seperti biasa. Tanpa khawatir tertular corona. Begitu pula dengan tempat wisata.

Hal serupa dirasakan masyarakat secara luas. Wajar, karena selama pandemi Covid-19, mereka tidak mampu mencari pundi-pundi uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, meskipun bantuan sudah mereka dapatkan.

Rasanya corona hanya virus biasa, dan harus bisa beradaptasi dengannya. Bahkan hal ini juga disampaikan oleh penguasa negeri ini. Hiduplah berdampingan dengan corona. Adaptasi dengan corona, berdamai dengan corona, dan bersahabatlah dengan corona. Kemudian yang menjadi pertanyaan ialah, mampukah kita melakukannya?

Saat new normal life menjadi kabar gembira bagi pelaku usaha, namun tidak demikian dengan para tenaga kesehatan (nakes). Khususnya yang menangani pasien Covid-19 yang semakin hari semakin bertambah. Rekan-rekan nakes pun tidak sedikit yang gugur dalam tugas mulianya.

Sebagai garda terdepan dalam penanganan Covid-19, new normal ini akan membuat ketar ketir para nakes dalam waktu dekat maupun lambat. Mengapa demikian? Karena akan semakin banyak orang beraktivitas seperti biasa, semakin banyak yang berinteraksi, dan risiko penularan virus ini bisa dikatakan semakin besar meskipun protokol kesehatan akan diterapkan. 

Namun siapakah yang berani menjamin semua akan patuh pada protokol kesehatan yang ada? Mengingat kepatuhan masyarakat masih menjadi PR bagi negeri ini. Jika demikian adanya, efektifkah jika new normal life diterapkan di kondisi yang masih abnormal ini?

Memang kita dihadapkan dengan dua pilihan yang sangat sulit. Penerapan PSBB yang tentunya akan berdampak bagi kegiatan ekonomi atau pemberlakuan new normal life yang sangat beresiko terhadap kesehatan dan keselamatan masyarakat.

Namun benarkah tidak ada titik terang dalam menuntaskan pandemi ini? Tentu solusi itu pasti ada. Apalagi sebagai seorang Muslim, sangat dilarang untuk berputus asa dari rahmat Allah SWT.

Berbicara solusi Islam, sering kita mendengar kisah Umar bin Khattab menuntaskan pandemi wabah di masanya. Pemisahan antara wilayah terdampak wabah dengan yang masih zona hijau menjadi langkah awal yang diambil. Dengan resiko menjamin segala kebutuhan yang diperlukan di wilayah terdampak.

Dan tentunya dengan dorongan keimanan warganya, mereka berbondong-bondong untuk membantu memenuhinya. Memang kondisi pada saat itu sangat tercukupi. Maka warga terdampak tak perlu khawatir memikirkan biaya hidup selama karantina.

Pengaturan pemasukan negara dengan sumber daya alam melimpah yang dimiliki Indonesia cukup kiranya untuk membiayai kebutuhan masyarakat saat pandemi bahkan setelahnya. Namun memang sayangnya masih belum bisa dilakukan secara maksimal di negeri ini. Asing masih mendominasi dan memiliki pengaruh yang sangat kuat di negeri dengan sebutan zamrud khatulistiwa ini. Sehingga wajar jika secara ekonomi masyarakat harus berusaha sendiri untuk memenuhinya.

Sulit rasanya menyerupai tatanan kehidupan masa pandemi seperti era Umar bin Khattab. Namun demikian bukan berarti tidak bisa. Yang butuh dilakukan ialah mengembalikan kembali kondisinya seperti sediakala di saat syariat menjadi hal yang utama, mendasari setiap perbuatan bahkan keputusan masalah negeri. Hidup akan normal kembali.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement