Jumat 12 Jun 2020 02:46 WIB

Tim Advokasi Novel Nilai Tuntutan 1 Tahun Terdakwa Memalukan

Dua terdakwa kasus penyerang Novel Baswedan dituntut 1 tahun penjara.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Andri Saubani
Personel Kepolisian Polda Metro Jaya berjaga di depan ruang sidang saat sidang tuntutan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan dengan terdakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette disiarkan secara
Foto: ANTARA/NOVA WAHYUDI
Personel Kepolisian Polda Metro Jaya berjaga di depan ruang sidang saat sidang tuntutan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan dengan terdakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette disiarkan secara

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Advokasi Novel Baswedan mengaku tak puas dengan tuntutan 1 tahun penjara, terhadap dua orang terdakwa yang melakukan penyiraman air keras. Menurut mereka, persidangan hari ini merupakan sandiwara yang memperolok hukum.

Anggota Tim Advokasi Novel Baswedan, Kurnia Ramadhana menilai tuntutan itu tidak sangat rendah. Tetapi, juga memalukan dan tidak berpihak pada korban kejahatan, yang notabenenya merupakan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Baca Juga

"Alih-alih dapat mengungkapkan fakta sebenarnya, justru penuntutan tidak bisa lepas dari kepentingan elite mafia korupsi dan kekerasan," ujar Kurnia lewat pesan singkat kepada Republika, Kamis (11/6).

Sejak awal, Tim Advokasi Novel Baswedan mengungkapkan banyaknya kejanggalan dalam persidangan ini. Pertama, dakwaan jaksa seakan berupaya untuk menampikkan fakta kejadian yang sebenarnya.

Sebab, jaksa hanya mendakwa terdakwa dengan Pasal 351 dan Pasal 355 KUHP terkait dengan penganiayaan. Padahal, kejadian yang menimpa Novel dapat berpotensi untuk menimbulkan akibat buruk, yakni meninggal dunia.

"Sehingga, jaksa harus mendakwa dengan menggunakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana," ujar Kurnia.

Kedua, saksi-saksi yang dianggap penting tidak dihadirkan jaksa di persidangan. Dalam pantauan Tim Advokasi Novel Baswedan, setidaknya terdapat tiga orang saksi yang semestinya dapat dihadirkan untuk menjelaskan duduk perkara sebenarnya.

Tiga saksi itu, kata Kurnia, juga diketahui sudah pernah diperiksa oleh penyidik Polri, Komnas HAM, serta Tim Pencari Fakta bentukan Kepolisian. Namun, jaksa seakan hanya menganggap kesaksian mereka tidak memiliki nilai penting dalam perkara ini.

"Padahal esensi hukum pidana itu adalah untuk menggali kebenaran materiil, sehingga langkah jaksa justru terlihat ingin menutupi fakta kejadian sebenarnya," ujar Kurnia.

Terakhir, peran penuntut umum terlihat seperti pembela para terdakwa. Hal ini disimpulkannya, ketika melihat tuntutan yang diberikan kepada dua terdakwa.

Tak hanya itu, saat persidangan dengan agenda pemeriksaan Novel, jaksa seakan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan penyidik KPK tersebut. Semestinya, jaksa sebagai representasi negara dan korban dapat melihat kejadian ini lebih utuh.

"Bukan justru mebuat perkara ini semakin keruh dan bisa berdampak sangat bahaya bagi petugas-petugas yang berupaya mengungkap korupsi ke depan," ujar Kurnia.

Tim Advokasi Novel Baswedan menilai, persidangan kasus ini menunjukkan hukum digunakan bukan untuk keadilan. Tetapi digunakan untuk melindungi pelaku, dengan memberi hukuman ala kadarnya.

"Menutup keterlibatan aktor intelektual, mengabaikan fakta perencanaan pembunuhan yang sistematis, dan memberi bantuan hukum dari Polri kepada pelaku," ujar Kurnia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement