Kamis 11 Jun 2020 14:32 WIB

Teologi Manusia Modern: Menuju Ekuilibrium

Kebangkrutan spiritual manusia modern hanya dapat diobati dengan sistem teologi

Prof Eka Putra Wirman
Foto: Dokumentasi Pribadi
Prof Eka Putra Wirman

Prof Eka Putra Wirman (Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang)

Urgensi Teologi

Secara terminologis, Encyclopedia Americana menyebutkan bahwa teologi merupakan "the study or science which treats of God, His nature and atributes, and His relations with man and universe" (Aghababa, 2011). Teologi mengupas persoalan-persoalan eskatologis pada dimensi transenden dan profane. Oleh karenanya pembahasan tentang peran Tuhan menjadi sesuatu yang paling utama dan esensial

Agama berdiri di atas keyakinan eksisnya Tuhan dalam kehidupan nyata manusia. Keyakinan itu dimanifestasikan dan diimplementasikan dalam bentuk ritual, pemujaan, doa, persembahan, dan pembacaan kitab suci dan lain sebagainya. Sikap ini membuat manusia terhindar dari dahaga batin yang tidak berujung, kekeringan spritual, kegelisahan, kehilangan harapan dan cita-cita pasca kehidupan. 

Agama mengajarkan orang bagaimana berhubungan dengan Tuhan yang pada gilirannya menciptakan komunikasi, hubungan, kedekatan, kehangatan, harapan, kesetiaan, pengabdian, pengorbanan, dan cinta. Tanpa hubungan seperti ini, Tuhan tidak lain adalah nama kosong tanpa realitas dan efek dalam kehidupan manusia.

photo
Umat Islam berdoa usai melaksanakan shalat Jumat di Masjid Al Amjad, Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten, Jumat (5/6/2020). - (Antara/Fauzan)

Modernisme dan Rasionalisme

Munculnya masyarakat modern tak dapat dilepaskan dari gerakan renaissance sebagai titik balik kemenangan rasionalisme atas hegemoni gereja di Eropa Abad Pertengahan. Provokasi yang dilancarkan oleh Descartes melalui cogito ergo sum berhasil membongkar kejumudan dan stagnasi berpikir. Di dalam buku Discourse on Methods, Descartes menyatakan bahwa segala sesuatu dapat diragukan kecuali rasio dan segala sesuatu yang dihasilkannya. Paradigma pemikiran dan keilmuanpun bergeser dari teosentrisme menjadi antroposentrisme.

Berpijak pada progresivitas rasionalisme, empirisme mendapatkan momentum untuk melesat lebih cepat. Dialektika antara keduanya memberi jalan bagi lahirnya modernisasi di segala bidang. Para ilmuan berlomba untuk melakukan berbagai eksperimentasi yang melahirkan temuan-temuan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Penemuan-penemuan itu secara berangsur mengubah orientasi dan pandangan manusia modern.

Dimulai dari penghujung abad ke-20 hingga sekarang, eksplorasi teknologi berbasis internet benar-benar telah merubuhkan tembok dan sekat keberjarakan manusia antara satu sama lain. Manusia dapat mengakses dunia hanya dengan bekal satu perangkat teknologi di tangan mereka.  

Di bidang sains terapan, para ilmuan melahirkan inovasi-inovasi yang mencengangkan. Munculnya rekayasa genetika, bioteknologi, dan berbagai temuan lainnya membuat manusia merasa telah mencapai puncak kemajuan ilmu. Ditemukannya artificial intelligence (kecerdasan buatan) dalam wujud robot, membuat hidup manusia menjadi kian mekanistis.

Dengan pemutakhiran tiada henti, manusia bahkan merasa jenuh tinggal di bumi dan bersegera mengekspansi planet lain untuk menciptakan kehidupan baru. Di sisi lain, studi-studi sosial juga menunjukkan kecenderungan yang sama yang sepenuhnya mengacu pada eksplorasi nalar. 

photo
Warga mengakses layanan film daring melalui gawai di Jakarta, Sabtu (16/5/2020). Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan melakukan pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen bagi produk digital impor dalam bentuk barang tidak berwujud maupun jasa (streaming music, streaming film, aplikasi, games digital dan jasa daring dari luar negeri) oleh konsumen di dalam negeri mulai 1 Juli 2020 - (Antara/Nova Wahyudi)a

Nestapa Manusia Modern

Modernisme yang hanya mengandalkan nalar dalam menata kehidupan ternyata menghadirkan masalah bagi manusia modern. Pada dimensi individu, mereka kering dari spiritualitas dan iman, sehingga mengalami kehampaan mental dan problem-problem psikis lainnya. Manusia modern mengalami split personality dan bahkan teralienasi dari kesadarannya sendiri. Sementara pada dimensi komunitas, superioritas akal dan sumber daya yang menumpuk hanya pada klaster-klaster tertentu menimbulkan ketidakadilan global. Interaksi komunal berubah menjadi dominasi dan hegemoni pihak-pihak superior terhadap pihak-pihak lain yang inferior; yang kaya dan kuat menghisap sumber daya yang lemah; yang miskin diperbudak untuk kepentingan yang kaya. 0,7% orang dewasa dunia menguasai lebih dari 50% aset kekayaan global. Sementara itu 3,5 milyar penduduk miskin bumi hanya menguasai 2,7% kekayaan global. Sebuah ketimpangan yang menganga di depan mata yang dihasilkan oleh modernisme.

Lanskap kronologis singkat tersebut merefleksikan bahwa paradigma berpikir yang mendasari hidup manusia akan senantiasa gagal menciptakan ekuilibrium selagi tidak ditopang oleh spiritualitas dan transendensi. Peralihan secara frontal sebagaimana dilakukan oleh posmodernisme ternyata juga bukanlah cara yang tepat untuk meminimalisir egosentrisme dan individualisme yang mengakar kuat dalam tradisi manusia modern. Penyakit manusia modern tersebut idealnya diatasi dengan internalisasi nilai-nilai spiritual dan transendental tanpa melakukan destruksi atas kemajuan-kemajuan yang telah dicapai.   

Rasionalisme Islam

Derivasi dari rasionalisme filosofis yang menjadi dasar kemajuan modernisme ikut memberikan sumbangsih menguatnya sistem teologi rasionalisme dalam Islam. Sebagian pemerhati teologi berkeyakinan bahwa ketertinggalan umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan disebabkan berkembang dan mengakarnya paham teologi fatalisme, berupa kepasrahan kepada Tuhan tanpa upaya perubahan. Fatalisme lahir ketika nalar dikebiri sehingga mengakibatkan firman Tuhan tidak terpahami secara komprehensif.

Sebagai upaya keluar dari pengapnya sikap fatalistik dalam pemikiran dan keyakinan, ditawarkanlah teologi rasionalisme. Sebuah sistem teologi yang memposisikan nalar atau rasio pada posisi yang melebihi kapasitasnya. Nalar dalam teologi rasionalisme menggeser fungsi transenden wahyu. Pada tataran akhir, nalar berperan menentukan arah pemikiran dan keimanan manusia.  

Deisme sebagai urat punggung teologi rasionalisme mengajak manusia untuk mengimani keberadaan Tuhan sebagai Zat Yang Maha Pencipta, namun seketika itu juga meminggirkan-Nya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam ajaran Deisme, Tuhan ibarat pembuat jam yang mahir, Dia tidak punya urusan lagi dengan jam ciptaannya karena benda itu sudah dibekali dengan sistem yang sempurna. 

Nalar Deisme telah melucuti Tuhan dari fungsi-Nya sebagai Rabb; pengatur, pemelihara dan pengayom alam semesta termasuk manusia. Bagi teologi rasionalisme, Tuhan tidak akan sampai kepada predikat Maha Adil jika tidak segera meninggalkan manusia dan alam semesta beredar sesuai kehendak masing-masing. Tuhan yang “sembunyi-sembunyi” mengabulkan doa hamba-Nya akan terperangkap pada perilaku tidak adil, berpihak dan inkonsisten menurut kaum Deis. Agar konsep keadilan Tuhan ini sempurna, maka ke-Maha Mutlakan Tuhan harus dipreteli dan dibagi-bagikan kepada makhluknya terutama manusia. Bagi pengikut teologi rasionalisme bersifat Maha Mutlak akan memposisikan Tuhan sebagai Zat yang zalim dan menerabas prinsip-prinsip relasi manusia dengan Tuhan. Sebuah diskripsi antropomorfis terhadap Tuhan yang hanya bisa diucapkan oleh pengikut teologi rasionalisme. Inilah konsep tauhid teologi rasionalisme.

Alih-alih menjawab ketertinggalan umat Islam, teologi rasionalisme ternyata menciptakan disparitas antara manusia dan Tuhan yang absentee. Rasionalisme melumpuhkan sisi spiritualitas manusia yang telah mengikat janji setia dengan Tuhan sebagai Rabb yang melayani, melindungi, dan menganugerahi kebaikan kepadanya: 

 

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِ(QS. Al A’raaf, 7 : 172)


Kebangkrutan spiritual manusia modern hanya dapat diobati dengan sistem teologi yang mengakomodir nalar dan memberikan ruang spiritualitas yang dalam dan hangat kepada manusia. Teologi yang memberi keyakinan tentang ke-Maha Kuasaan, ke-Maha Hadiran, dan ke-Maha Tak Berhinggaan Tuhan (The Ultimed Supreme Being).  

 

Sistem teologi yang dapat menghilangkan dahaga spiritual manusia modern adalah teologi proporsionalitas Ahlussunnah wal jamaah yang mampu menciptakan ekuilibrium kehidupan. Suatu sistem keimanan yang mengakomodir nalar, rasio atau akal untuk memahami kitab suci yang tertulis dan kitab kehidupan yang terhampar di depan mata: 

 

العقل من أشد أعوانه (الإسلام) والنقل من أقوى أركانه

Akal adalah penopang agama, sedangkan wahyu adalah dasar utama 

 

Seorang tokoh muslim kawakan Muhammad Abduh menyampaikan testimoni teologisnya yang ditulis dalam buku Hasyiah ‘ala Syarh al-Dawwani lil ‘aqaid al-‘Adhudhiyyah karya Sulaiman Dunya tentang keterbatasan akal dalam 4+1 persoalan:

Pertama: kewajiban mengetahui Tuhan diperintahkan oleh syara’ bukan oleh akal.

 

 

أقول: أي النظر لتحصيل معرفة الله تعالى قد ثبت وجوبه بالشرع

Saya katakan: bahwa usaha untuk mengenal Allah telah ditetapkan oleh syariat (wahyu)

 

 

Kedua: kewajiban berterima kasih kepada Tuhan diperintahkan oleh syara’ bukan oleh akal.

 

 

بل لو علم صانعه وخالقه وأنه الرازق لم يجب عليه شكره إلا بإيجاب منه وإيذان بأنه يطلب منه ذلك

Bahkan kalaupun dia (manusia) tahu penciptanya dan Dia telah memberinya rizki, tetap tidak ada kewajiban baginya untuk berterima kasih dan bersyukur, kecuali ada perintah dan Dia memang mengatakan bahwa Dia menginginkan itu. 

 

 Ketiga: Kewajiban mengetahui perbuatan baik dan buruk diperintahkan oleh syara' bukan oleh akal.

 

بل لا حسن ولا قبيح لفعل ما، إلا  من حيث ما أمر الشارع أو نهى. 

Tetapi tidak demikian, suatu perbuatan disebut baik atau buruk bukan karena kebaikan dan keburukan ada pada perbuatan itu, melainkan karena Allah menyuruh atau melarangnya.

 

Keempat: kewajiban melaksanakan perilaku baik dan meninggalkan perilaku buruk diperintahkan oleh syara' bukan oleh akal. 

 

وللشارع أن يحسن ويوجب الرضا بإيجادها، ويقبح الرضا والإتصاف بها

Allah menentukan suatu perbuatan baik dan mewajibkan ridha terhadap perbuatan itu dan berhak pula memberi predikat buruk dan tidak ridha kepada pelakunya.

 

 

Kelima: Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan manusia.

 

 

 

وإن كان يريد أنه يجب عليه أن يراعي مصالح على حسب ما نحن نفهمه وندركه فذالك ضرب من الجهالة، كأنه يريد أن يضرب لله قانونا لا يجوز لله تجاوزه على حسب عقله السحيف

Adapun kalau mereka mengatakan bahwa merupakan kewajiban bagi Allah untuk menjaga kemaslahatan (manusia) sebagaimana pemahaman kita tentang (kewajiban seperti) itu, maka pemikiran seperti itu adalah sebuah kebodohan. Seakan-akan mereka ingin membuatkan konsensus dan regulasi untuk Allah yang tidak boleh dilanggar sesuai dengan pemikiran (akal) mereka yang rendah.

يقول: وما هو الأصلح للعبد، فليس بواجب على الله تعالى، وإلا لما خلق الكافر الفقير المعذب في الدنيا والآخرة

(Abduh) berkata: Apa yang merupakan maslahat bagi manusia, tidaklah wajib bagi Allah memenuhinya. Kalau tidak demikian maka tidak akan pernah ada (diciptakan) orang kafir miskin yang hidup teraniaya di dunia maupun akhirat.

 

  1. Penutup

Jatuh dan bangun dalam mencari kebenaran adalah ciri khas dari manusia. Begitu pula dalam menemukan pemahaman yang tepat tentang relasi Tuhan dengan makhlukNya yang merupakan domain dari kajian teologi. Ada masa ketika spritualitas mendominasi dan menghegemoni dalam bentuk dogma agama, sehingga muncul pemberontakan nalar atas iman. Kemudian muncul pula masanya kerinduan kembali kepada spritualitas dalam porsi yang proporsional antara iman dan nalar.

Teologi pembebasan ataupun teologi rasionalisme tidak mampu menjadi obat bagi kegalauan manusia modern karena menyisakan ruang kosong yang mestinya diperuntukkan untuk Tuhan-Yang-Hadir-Membersamai dan bukan Tuhan-Yang-Absen-Mengisolasi. Manusia modern membutuhkan kesejatiannya dengan memposisikan rasio sebagai media penguat iman dan spritualitas. Manusia modern hanya kompatibel dengan teologi proporsionalisme Ahlussunnah yang mengapresiasi nalar dan iman secara proporsional.

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ

 

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement