Kamis 11 Jun 2020 11:52 WIB

Pandemi Membekali Kita Menuju Kontestasi 2024

Kecerdasan memilih informasi di masa pandemi menjadi ajang belajar di 2024

Redaktur Republika, Mas Alamil Huda
Foto: republika
Redaktur Republika, Mas Alamil Huda

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Mas Alamil Huda*

Pertanyaan tentang konsumsi informasi masyarakat terkait Covid-19 mengendap dalam benak saya selama beberapa bulan terakhir. Bagi saya ini barang penting. Karena jawabannya bisa memotret banyak hal. Tapi yang kita tahu umumnya ‘hanya’ penetapan tersangka sebagai produsen maupun penyebar hoaks.

Informasi hoaks terkait korona selama ini memang ada. Banyak bahkan. Tapi ada persoalan yang menurut saya lebih fundamental. Kendati begitu juga tidak berarti penangkapan terhadap mereka yang culas dengan menyebar informasi palsu nan menyesatkan itu tak penting. Itu amat penting dan kita perlu mengapresiasi polisi.

Ada hal substantif lain bagi saya yang perlu dibedah lebih dalam. Pola masyarakat mencari informasi menjadi entry point, setidaknya pintu pertama. Bagaimana mereka mencarinya, ke mana mereka mencari referensi, sumber mana yang paling dipercaya masyarakat, adalah di antara pertanyaan-pertanyaan penting untuk diketahui jawabannya. Kali ini, objeknya tentang kesehatan.

Penelitian dari MarkPlus yang dirilis pekan lalu mengungkap jawaban dari sebagian pertanyaan-pertanyaan itu. Hasil survei yang mereka lakukan menunjukan adanya perubahan kebiasaan masyarakat dalam mengkonsumsi konten dan platform media sebelum dan selama pandemi Covid-19.

Founder and Chairman MarkPlus, Hermawan Kartajaya, mengatakan, masyarakat ternyata akan mencari klarifikasi dan kebenaran berita terkait Covid-19 melalui media konvensional. Karena jika belum terkonfirmasi oleh media konvensional, orang belum percaya dengan informasi yang berseliweran.

Ada dua poin penting yang perlu kita garis bawahi dari pernyataan tersebut. Pertama, media konvensional menjadi rujukan utama. Masyarakat bisa saja mendapat informasi dari media sosial melalui berbagai platform. Tapi mereka baru bisa meyakini kebenarannya jika sudah menemukan informasi serupa di media konvensional. Tentu dengan proses panjang yang dilakoni media itu.

Artinya, secara tidak langsung masyarakat enggan mempercayai dengan mudah sebuah informasi dari media sosial maupun platform digital lainnya yang tidak jelas pertanggungjawabannya. Artikel tak bertuan hingga broadcast dengan narasi menakuti dan memprovokasi, kini tak mudah lagi diterima.

Kedua, dalam penelitian MarkPlus, televisi menjadi primadona di kala pandemi. Bisa jadi memang banyak faktor yang mempengaruhi. Waktu keluarga di rumah yang semakin banyak, kejenuhan yang terakumulasi sehingga masyarakat mencari konten-konten audio visual yang memicu sugesti postif.

Alasan mengapa berita di media televisi, koran dan media konvensional lain bisa menjadi rujukan bagi masyarakat, salah satunya karena kredibilitas. Menurut Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kemenkominfo, Ahmad Ramli, informasi dari media konvensional pasti tidak hoaks. Seperti televisi yang siaran-siarannya diawasi komisi penyiaran.

Tetapi sekali lagi, saya perlu mengulang bahwa ini penelitiannya spesifik berita terkait Covid-19. Informasi tentang suatu penyakit, tentang kesehatan, tentang perlawanan sekaligus ketakutan atau kekhawatiran bersama terhadap virus yang tak kasat mata.

Lantas, bisakah pola perilaku dalam mengonsumsi informasi terkait Covid-19 ini bisa dilakukan untuk aspek lain? Politik misalnya. Ini yang masih menjadi pertanyaan.

Salah satu yang menarik dari penelitian MarkPlus ini adalah rentang usia responden, yakni 25-45 tahun. Kita tahu, mereka lah yang paling bising di media sosial selama Pilpres 2019 lalu. Meski ‘korban’ hoaks atau mereka yang gemar membagikan informasi hoaks, dalam penelitian lain, disebutkan persentasenya lebih banyak berusia lanjut.

Kita tahu, informasi hoaks paling banyak tersebar melalui media sosial. Di sisi lain, pengguna media sosial di Indonesia sangat banyak, dan aktif. Akun Facebook di Indonesia masuk dalam empat besar di dunia urusan jumlah. Belum lagi di platform WhatsApp. Hampir setiap orang di Indonesia memiliki akun WA.

Pasti bukan hanya saya yang membaca atau mendengar informasi soal adanya ‘peperangan’ di antara anggota keluarga karena berbeda pilihan politik. Ada pula yang terpaksa keluar dari grup WA keluarga ketika ada yang mulai menyebar hoaks/terkait pilpres tahun lalu. Itu semua fakta. Sumber masalahnya, hoaks.

Persoalannya, dalam era serba digital saat ini, algoritma akan mengarahkan kita pada apa yang kita sering kunjungi. Jika situs-situs ‘spesialis’ provokasi dengan berbagai hoaks-nya kita sering buka tautannya, kita akan terus diarahkan algoritma pada hoaks-hoaks dan provokasi-provokasi lainnya.

Akibatnya, kita tak mendapat asupan informasi yang cukup dari pihak lain yang bisa jadi lebih benar dari sekadar asumsi kita. Keberimbangan informasi jadi pincang. Bak menggunakan kaca mata kuda, kita terus dicekoki kepalsuan. Dan hoaks akan terus lestari jika literasi digital kita rendah macam itu.

Jika kita bisa lebih bijak dalam mencari dan mengonsumsi informasi terkait pandemi, saya meyakini kita juga bisa mengimplementasikan di bidang lain. Barangkali, salah satu yang bisa kita petik saat ini adalah perlunya kita memastikan informasi yang kita terima berasal dari sumber yang kredibel.

Kemudian ada pertanyaan, media-media arus utama juga terkooptasi oleh kepentingan politik tertentu pada pilpres 2019 lalu. Solusinya sebenarnya sederhana, cari pembanding di media arus utama lainnya. Karena kita akan sulit untuk menyatakan 'salah' dalam konteks berita. Dan memang tidak ada hoaks di dalamnya. Itu hanya soal framing. Dengan ketekunan menggali informasi sebuah peristiwa yang sama dari media arus utama yang berbeda, kita bisa menilai dan menentukan siapa yang layak kita percaya.

Kita sudah tak boleh lagi mengizinkan siapapun untuk terus mengadu dan membelah kita semua. 2024 tak boleh lagi mengulang 2019. Kita harus memastikan diri kita tidak menjadi objek hasutan yang akarnya sebenarnya hanya soal keserakahan.

Ini harus istiqomah kita lakukan. Literasi digital harus kita kuatkan. Bukan saja sekarang, tapi sebagai pijakan untuk langkah panjang ke depan. Sepanjang Indonesia membentangkan segala kekayaan yang dimilikinya, untuk tempat kita tinggal dan menjemput rezeki yang disiapkan Tuhan.

*) Penulis adalah jurnalis Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement