Rabu 10 Jun 2020 22:06 WIB

Filipina menanti Duterte Sikapi RUU Antiterorisme

Rodrigo Duterte bisa menandatangani atau memveto RUU Antiterorisme yang kontroversial

Rep: Anadolu Agency/ Red: Christiyaningsih
Rodrigo Duterte bisa menandatangani atau memveto RUU Antiterorisme yang kontroversial. Ilustrasi.
Foto: AP Photo/Ahn Young-joon
Rodrigo Duterte bisa menandatangani atau memveto RUU Antiterorisme yang kontroversial. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA - Filipina tengah menanti respons Presiden Rodrigo Duterte untuk menandatangani atau memveto RUU Antiterorisme yang kontroversial.

Juru bicara kepresidenan Harry Roque Jr. mengatakan Kongres telah mengirimkan salinan naskah RUU Antiterorimse itu kemarin. Duterte memiliki waktu 30 hari untuk memutuskan apakah menyetujui atau memveto secara keseluruhan atau sebagian.

Baca Juga

Jika tidak ada tindak lanjut dari presiden hingga periode yang ditentukan itu, Konstitusi Filipina akan secara otomatis mengesahkan naskah itu menjadi undang-undang. Pada saat yang sama, pengesahan UU itu akan secara efektif mencabut Human Security Act 2007.

Rentan disalahgunakan

Naskah itu memungkinkan periode penahanan lebih lama, hingga 24 hari, untuk tersangka teroris tanpa mengajukan tuntutan.

Sekaligus memberikan periode lebih lama, hingga enam bulan, untuk melakukan operasi pengawasan, penyadapan dan pencatatan komunikasi pribadi, akses basis data, pemeriksaan catatan bank, pembekuan aset orang dan organisasi yang diduga membiayai atau memiliki koneksi dengan terorisme, berdasarkan persetujuan pengadilan.

Sejumlah institusi akademik di Filipina mendesak Presiden Duterte untuk memveto RUU antiteror tersebut. Komite eksekutif Universitas Filipina (UP) Diliman mengatakan muatan hukum dalam RUU tersebut bertentangan dengan demokrasi dan konstitusi.

Begitu pula dengan persaudaraan Jesuit dan Lasallian, yang menaungi sekolah Ateneo dan La Salle di seantero Filipina. Mereka mengeluarkan pernyataan bersama yang menyerukan Duterte untuk mendengarkan protes publik terkait RUU tersebut.

Universitas Santo Tomas mengatakan bahwa RUU tersebut berbahaya, karena secara bertahap akan melemakan pelaksanaan kebebasan sipil. RUU itu, lanjut lembaga tersebut, menebarkan ketakutan dan perpecahan, ketika negara tengah berjuang melawan pandemi Covid-19.

Lebih lanjut komite eksekutif UP Diliman mengatakan bahwa usulan veto tidak akan menjegal langkah pemerintah untuk memberantas terorisme, namun sebaliknya, pengesahaan UU antiteror itu akan mengabaikan HAM yang dilindungi secara konstitusional.

“Aturan itu terlalu meremehkan kebebasan berekspresi karena definisi luas kejahatan dapat mencakup bentuk-bentuk perbedaan pendapat yang sah,” kata lembaga itu, kutip the Philippine Star.

Sekelompok pengacara probono meminta Mahkamah Agung untuk menghentikan implementasi RUU Antiteror. Ketua Kelompok Bantuan Hukum Probono (FLAG) Chel Diokno mengatakan Mahkamah Agung perlu meninjau apakah aturan ini legal atau melanggar konstitusi.

“Memang benar bahwa terorisme adalah wabah tidak hanya di negara kita tetapi di seluruh dunia. Tapi kami sudah punya undang-undang, Human Security Act,” kata dia.

Sekretaris Departemen Kehakiman (DOJ) Menardo Guevarra mengatakan aturan pelaksanaan (IRR) [aturan turunan] UU tersebut yang akan melindungi dari penyalahgunaan.

“Jika ATB [RUU antiteror] diberlakukan menjadi undang-undang, DOJ akan berusaha untuk mendefinisikan dengan lebih jelas dalam IRR, bagaimana parameter-parameter hukum akan diimplementasikan dan ditegakkan, untuk menghindari penyalahgunaan,” kata Guevarra.

 

https://www.aa.com.tr/id/regional/filipina-menanti-duterte-sikapi-ruu-antiterorisme-/1871751

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement