Rabu 10 Jun 2020 19:11 WIB

Di Balik Lonjakan Kasus Positif Covid-19

Indonesia tak sanggup lawan Covid-19 bila hanya andalkan tenaga medis.

Pedagang mengenakan masker dan pelindung wajah melayani pembeli di kawasan Jalan Kapten Tata Natanegara, Kota Bandung, Rabu (10/6). Sejumlah pedagang di kawasan tersebut menerapkan protokol kesehatan jelang new normal atau adaptasi kebiasaan baru (AKB), sekaligus sebagai upaya pencegahan virus Corona (Covid-19)
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Pedagang mengenakan masker dan pelindung wajah melayani pembeli di kawasan Jalan Kapten Tata Natanegara, Kota Bandung, Rabu (10/6). Sejumlah pedagang di kawasan tersebut menerapkan protokol kesehatan jelang new normal atau adaptasi kebiasaan baru (AKB), sekaligus sebagai upaya pencegahan virus Corona (Covid-19)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Fauziah Mursid, Rr Laeny Sulistyawati, Antara

Tambahan kasus Covid-19 yang dilaporkan, Rabu (10/6), oleh Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto kembali menyentuh angka 1.000 pasien positif, Lebih tepatnya ada tambahan 1.241 kasus positif Covid-19 di Tanah Air.

Baca Juga

Sehari sebelumnya tambahan kasus tercatat sebanyak 1.043 orang. Achmad Yurianto menjelaskan, kenaikan penambahan kasus baru terjadi karena tracing atau pelacakan semakin agresif dilakukan. Pelacakan dilakukan terhadap semua pihak yang sempat melakukan kontak langsung dengan pasien positif Covid-19.

"Penambahan kasus positif ini disebabkan karena tracing yang agresif dilakukan. Sehingga bisa kita lihat sebagian besar penambahan kasus ini adalah spesimen yang dikirim oleh puskesmas atau dinas kesehatan, tidak didominasi oleh spesimen rumah sakit," jelas Yurianto dalam keterangan pers, Rabu (10/6).

Yuri menyampaikan, pelacakan yang agresif diharapkan akan semakin banyak mengungkap kasus positif yang sebelumnya tersembunyi. Dengan begitu, pasien positif yang baru ditemukan ini diharapkan segara melakukan isolasi mandiri di rumahnya agar tidak menjadi sumber penularan yang baru.

Pelacakan yang agresif juga dibarengi dengan pemeriksaan spesimen Covid-19 yang semakin banyak. Dalam satu hari terakhir, jumlah spesimen yang diperiksa sebanyak 17.757 unit, dengan rincian 16.923 adalah pemeriksaan PCR dan 834 pemeriksaan tes cepat molekular.

Ada lima provinsi yang mencatatkan penambahan kasus positif tertinggi. Pertama adalah Jawa Timur dengan penambahan kasus baru sebanyak 273 orang. Kemudian disusul Sulawesi Selatan dengan 189 kasus baru, DKI Jakarta dengan 157 kasus baru, Jawa Tengah dengan 139 kasus baru, dan Kalimantan Selatan dengan 127 kasus baru.

Sedangkan 15 provinsi hari ini melaporkan penambahan positif Covid-19 di bawah 10 kasus. 15 provinsi itu di antaranya Aceh, Bangka Belitung, Bengkulu, DIY, Jambi, Kalimantan Utara, Kepulauan Riau, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Lampung, Riau, Papua Barat, Sulawesi Barat, NTT, Gorontalo.

"15 provinsi naik di bawah 10, enam provinsi tidak laporkan adanya kenaikan," ujar Yurianto.

Yurianto menerangkan, meski ada penambahan, sejumlah provinsi juga melaporkan kasus sembuh, seperti Sumatera Barat yang penambahan kasusnya 14 positif namun angka kesembuhan 28 pasien, lalu Gorontalo enam kasus dan tujuh sembuh.

Ia mengatakan, dengan banyaknya provinsi yang sudah mulai berkurang melaporkan penambahan kasus tentu menggembirakan. "Ini yang kemudian menjadi kabar gembira bahwa daerah lain sudah mulai bisa kita kendalikan dengan baik," kata Yurianto.

Namun demikian, ia tidak memungkiri bahwa perkembangan data secara keseluruhan masih menunjukan angka peningkatan. Namun, jika dilihat sebaran per provinsi, sebagian provinsi sudah stabil.

"Beberapa meningkat karena tracing dilakukan lebih agresif. Ini sejalan dengan perintah Presiden agar dilakukan tracing secara agresif," ujarnya.

Selain itu, tercatat pula penambahan pasien sembuh sebanyak 715 orang dalam satu hari terakhir, sehingga jumlah pasien Covid-19 yang dinyatakan sembuh sebanyak 12.129 orang. Pasien yang meninggal dunia juga bertambah 36 orang dalam satu hari ini, sehingga total ada 1.959 pasien Covid-19 yang meninggal dunia.

Jumlah pemeriksaan spesimen yang makin banyak berpotensi menghasilkan semakin tingginya kasus positif. Pekan lalu pemerintah menargetkan bisa mencapai 30 ribu tes Polymerase Chain Recation atau PCR dalam satu hari.

Dalam satu hari terakhir, jumlah spesimen yang diperiksa sebanyak 17.757 unit. Rinciannya 16.923 adalah pemeriksaan PCR dan 834 pemeriksaan tes cepat molekular.

Belum ada kepastian kapan target 30 ribu tes PCR bisa terjadi di Indonesia. Rencana itu sebelumnya diutarakan Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy akan dicapai bertahap dengan 20 ribu uji spesimen PCR per hari lebih dulu.

"Targetnya yang paling maksimal atau yang betul-betul bisa memenuhi standar WHO ya 30 ribu, karena perhitungan rasio jumlah penduduk dan yang dites itu sekitar 30 ribu," ungkap Muhadjir, beberapa waktu lalu.

Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Nasional Percepatan Penanganan Covid-19, Prof. drh. Wiku Adisasmito, M.Sc., Ph.D menegaskan, hingga saat ini memang masih belum ditemukan vaksin untuk menangkal virus Covid-19. Dalam kondisi seperti ini maka persebaran wabah virus Covid-19 diperkirakan masih akan terus berlangsung.

Faktanya hingga saat ini angka pasien yang menjadi korban baik yang terpapar maupun meninggal masih terus bertambah. Kendati sebaliknya angka pasien yang berhasil disembuhkan juga terus bertambah.

"Hal ini menandakan bahwa penyakit akibat Covid-19 ini bukan tidak bisa disembuhkan. Namun, tetap saja kewaspadaan kita tetap harus dijaga agar jangan sampai tertular. Caranya tentu dengan mengikuti protokol kesehatan yang telah ditetapkan, antara lain harus menggunakan masker, rajin mencuci tangan, menjaga jarak atau menghindari kerumunan, olahraga dan istirahat yang cukup, serta makanan yang bernutrisi," papar Prof Wiku lagi.

Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo menambahkan perjuangan Indonesia melawan Covid-19 bila hanya mengandalkan tenaga kesehatan maka kekuatannya terbatas. Indonesia masih kekurangan dokter spesialis paru-paru. Padahal, Covid-19 cenderung menyerang area pernapasan hingga paru-paru.

"Dokter (spesialis) paru-paru yang ada di negara kita kurang dari 2 ribu orang, artinya satu dokter paru harus melayani lebih dari 130 ribu warga negara kita. Sehingga kami menitikberatkan pada upaya pencegahan," katanya saat pemaparan di hadapan presiden Joko Widodo di kantornya, di akun youtube saluran Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Rabu (10/6).

Ia menambahkan, yang menjadi ujung tombak upaya ini adalah rantai komando, mulai dari pemerintah pusat hingga aparat rukun tetangga (RT)/ rukun warga (RW) untuk melakukan perubahan perilaku. Jika usaha-usaha ini bisa dilakukan, dia melanjutkan, maka upaya pencegahan menjadi langkah yang terbaik.

Kalaupun memang ada yang terinfeksi virus ini, ia meminta hanya untuk yang menunjukkan gejala sakit berat yang dirawat di rumah sakit. Instruksi ini diakuinya sesuai dengan pernyataan mengutip pernyataan Menteri Kesehatan beberapa waltu lalu.

"Targetnya masyarakat yang sehat harus tetap kita pertahankan selalu sehat, yang kurang sehat menjadi sehat, kemudian yang sakit sebagaimana Presiden perintahkan bahwa harus bisa kami obati sampai sembuh," ujarnya.

Kelompok rentan memang perlu menjadi perhatian dalam adaptasi normal baru. "Mereka biasanya tidak masuk dalam ekonomi mainstream dan mereka tergantung pada sektor informal dan mereka menjadi anggota dari masyarakat yang secara kolektif kalau terjadi krisis merasakan dampaknya lebih berat dan awal dari yang lainnya," kata Dr. Puji Pujiono, MSW dari Sekretariat Jaringan antar-Jaringan OSM/LSM (S=JAJAR) dalam diskusi tentang normal baru yang diadakan oleh AJI Indonesia.

Kelompok rentan, kata pakar manajemen bencana dari Pujiono Centre itu, seperti orang dari kelompok disabilitas, lansia, yang berbeda orientasi seksualnya, pengungsi bencana alam dan masyarakat dari suku yang tinggal di pedalaman.

Selain itu, masyarakat prasejahtera yang tinggal di dalam lingkungan kumuh itu juga merupakan bagian dari kelompok rentan. Menurut dia, banyak dari mereka yang tidak mampu menjalankan seluruh protokol kesehatan yang diimbau oleh pemerintah, seperti menjaga jarak, karena kondisi tempat tinggal tidak memungkinkan.

Selain itu, masyarakat dari kelompok rentan tersebut biasanya memiliki akses tidak memadai ke layanan sosial, adanya keterbatasan kemampuan untuk beradaptasi dan terbatas atau bahkan tidak mempunyai akses ke teknologi.

"Karena keterbatasan dan keterpinggiran itu mereka juga mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan new normal (normal baru) yang disebutkan pemerintah," kata dia.

Untuk melindungi mereka dalam adaptasi normal baru, kelompok rentan itu perlu digandeng agar ikut serta dalam perencanaan, pemberlakuan dan evaluasi berbagai langkah yang diambil pemerintah baik pusat maupun daerah sampai ke tingkat desa. Selain itu, perlu diperluas akses terhadap proses dan layanan publik untuk anggota kelompok tersebut, kata Puji.

photo
Protokol Kesehatan - (Republika/Kurnia Fakhrini)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement