Rabu 10 Jun 2020 18:58 WIB

Bobot USBN SD di PPDB SMA/SMK Diminta Dikurangi 

Disdikpora DIY mengaku tidak melakukan sosialisasi secara langsung kepada wali murid.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Fernan Rahadi
Sejumlah pelajar saat melaksanakan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) SD (ilustrasi)
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah pelajar saat melaksanakan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) SD (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Bobot Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) SD/MI dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMA/SMK 2020 di DIY diminta dikurangi. Wali murid yang juga membuat petisi di Change.org, Deddy Heriyanto mengatakan, bobot USBN SD/MI ini dikurangi hingga 20 persen dari total bobot formulasi perhitungan nilai gabungan PPDB SMA/SMK. 

Bobot perhitungan nilai dalam PPDB SMA/SMK di DIY ini sebelumnya diambil dari rata-rata nilai rapor sebesar 80 persen, rata-rata nilai UN sekolah dalam empat tahun terakhir sebesar 10 persen, dan nilai akreditasi sekolah sebesar 10 persen. 

Namun, dengan adanya perubahan juknis pada 2020, formulasi tersebut diubah. Formulasi diubah menjadi, rata-rata nilai rapor ditambah dengan nilai UN SD dengan total bobot sebesar 80 persen, nilai rata-rata UN sekolah dalam empat tahun terakhir sebesar 10 persen, dan nilai akreditasi sekolah sebesar 10 persen. 

Menurut Deddy, nilai rapor seharusnya diapresiasi lebih tinggi daripada USBN SD dalam PPDB SMA/SMK 2020 ini. Sebab, formulasi baru tersebut kurang mencerminkan apresiasi terhadap proses belajar peserta didik yang sudah dilakukan selama di SMP. 

"Kalau dipaksa UN (USBN-Red) SD tetap masuk, bobotnya 20 persen saja, akreditasi 10 persen, rata-rata UN SMP 10 persen, dan nilai rapor 60 persen. Rumus itu mencerminkan penghargaan yang kurang pantas  terhadap kerja keras selama di SMP," kata Deddy kepada Republika, Rabu (10/6). 

Ia bersama Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta (AMPPY) pun melakukan audiensi dengan Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY, Rabu (10/6) siang. Dalam audiensi tersebut,  ia menyampaikan masukan-masukan dan kelemahan dari sistem yang sekarang diterapkan.  

Ia mengatakan, formulasi tersebut merupakan diskriminasi terhadap peserta didik yang nilainya jelek saat SD. Sementara, proses yang dilakukan peserta didik saat SD dan SMP belum tentu sama. "Ini sangat merugikan, mendiskriminasi anak-anak yang dulu UN (USBN-Red) SD-nya jelek. Artinya, meskipun ia berjuang keras di SMP, tapi hanya dihargai sedikit," ujar Deddy. 

Setelah menyampaikan masukan dan kekurangan dari formulasi yang ada saat ini,  Deddy menyebut Disdikpora DIY sepakat  dengan hal tersebut. Namun, kebijakan yang ada saat ini sudah disetujui oleh Gubernur DIY dan sudah menjadi produk hukum.  

"Kalau mau mengubah ini (formulasi yang sudah ada), dari Disdikporanya mengatakan sudah terlanjur karena sudah ada peraturan gubernurnya. Kalau mau mengubah, harus mengajukan draf lagi dan itu butuh waktu," ujar Deddy. Untuk itu, pihaknya pun akan melakukan audiensi dengan pihak terkait lainnya. Seperti dengan Gubernur DIY, Ombudsman RI, dan DPRD DIY. 

Sebelumnya, Disdikpora DIY membuat kebijakan kontroversial saat menyatakan PPDB SMA/SMK tahun ini tidak hanya mempertimbangkan nilai rapor SMP, namun juga mempertimbangkan USBN SD. Perihal tersebut juga tidak disosialisasikan kepada orang tua murid sejak awal.

Seorang wali murid Kelas XI SMP Negeri 3 Bantul, Deassy Marlia Destiani, mengatakan tidak rasional jika nilai USBN SD yang sudah dikerjakan tiga tahun lalu menjadi salah satu komponen nilai yang dimasukkan untuk daftar SMA. Karena setiap anak pasti tumbuh dan berkembang kemampuan intelektual, emosional, dan spiritualnya.  

"Lagipula juknis awal sudah disosialisasikan sejak bulan Maret (2020). Mengapa setelah keluar nilai rapor anak baru juknisnya diubah tanpa ada sosialiasasi dan hanya diputuskan sepihak?" ujarnya.

Disdikpora DIY menyatakan pihaknya telah melakukan sosialisasi terkait juknis PPDB SMA/SMK 2020 di DIY.  Namun, seperti diungkapkan Kepala Bidang Perencanaan dan Pengembangan Mutu Pendidikan Disdikpora DIY, Didik Wardaya, pihaknya memang tidak melakukan sosialisasi secara langsung kepada orang tua murid.

Sebab, kata dia, mengumpulkan banyak orang di tengah pandemi ini sangat berisiko terjadinya penularan Covid-19. Sehingga, sosialisasi hanya dilakukan kepada kepala sekolah, baik SMA/SMK, hingga kepala sekolah SMP yang ada di DIY. 

"Dengan kepala sekolah sudah dilakukan Jumat (5/6) lalu, dari kepala sekolah ini diharapkan untuk diteruskan kepada orang tua dan murid, juga kepada asosiasi dan LSM. Melalui media sosial dan banner, termasuk radio, kita juga sudah lakukan sosialisasi," kata Didik usai menggelar pertemuan dengan AMPPY.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement