Selasa 09 Jun 2020 15:05 WIB

Islam dalam Catatan Sejarah Barat Dituduh Penjajah?

Catatan sejarawan Barat menuding Islam sebagai penjajah.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Nashih Nashrullah
Catatan sejarawan Barat menuding Islam sebagai penjajah. Ilustrasi - Pasukan Ottoman, Turki.
Foto: Hurriyet
Catatan sejarawan Barat menuding Islam sebagai penjajah. Ilustrasi - Pasukan Ottoman, Turki.

REPUBLIKA.CO.ID, IRAN— Sebuah media internasional pertama di Iran, Tehran Times, menampilkan tulisan yang menyoroti fakta bahwa penulisan ulang sejarah adalah seluruhnya taktik Islam seperti halnya perbuatan kelompok sayap kiri. 

Dalam laporan yang dipublikasi pada Hari Quds, 21 Mei lalu, Tehran Times mengangkat dua tema tentang 'Dunia bebas Zionisme dalam strategi agenda Hari Quds Internasional.' 

Baca Juga

Media yang telah berkiprah sejak 1979 ini menerbitkan dua tulisan dari sudut pandang (angle) berbeda, yang sama-sama ditulis  Mohammad Hossein Niknam. Dalam tulisan pertamanya, Niknam menerangkan tentang kemajuan Islam dan sambutan kedatangannya yang diterima dari seluruh dunia.

Sedangkan di tulisannya yang lain, Niknam menampilkan argumen dan fakta yang membuktikan posisi negara Barat sebagai pencipta kejahatan kolonialisme.  

 

Dari kedua tulisannya, Niknam membawa pemikiran bahwa kolonialisme negara Barat merasakan konfrontasi pahit atas peradaban Islam. Melihat kemunculan Islam dan penyebarannya yang masif ke seluruh wilayah dunia. Ditambah peradabannya yang banyak diterima baik, serta perkembangan pesat di bidang budaya, ilmiah, militer, dan ekonomi yang madani.   

"Barat, yang tampaknya beragama Kristen tetapi kenyataannya materialistis dan mencari untung telah menemukan peradaban baru sebagai penghambat proyek kolonialnya," tulis Niknam yang dikutip di PJ Media, Selasa (9/6).

Namun melihat realita yang terjadi, Niknam menganggap Islamlah yang tengah menjajah, tidak menguasai secara permanen, sebagian besar wilayah Kristen pra-Islam, yang kini merupakan negara Barat.

Penjajahan ini diklaim telah dilakukan selama lebih dari satu milenium, dimana penyiksaan dan perbudakan massal terekam dalam catatan rentetan kejadian (kronik), baik Muslim maupun non-Muslim. 

Dalam tulisannya, Niknam juga melampirkan beberapa fakta yang dapat menjadi pertimbangan sebelum mengamini pernyataan tentang sambutan manis yang selalu terbentuk saat Islam datang. 

"Setelah merekam banyak kekejaman mengerikan yang dilakukan selama invasi Muslim ke Mesir Kristen yang dimulai sekitar 640, John dari Nikyu, seorang saksi mata, mengatakan, 'Tetapi sekarang mari kita tidak mengatakan apa-apa lagi, karena tidak mungkin untuk menggambarkan kengerian yang dilakukan umat Islam,'" tulis Niknam.  

Setelah menjelaskan bagaimana gubernur Muslim Musa bin Nusair yang menyerbu Spanyol dan menghancurkan kota-kota indah di sana dan menghanguskannya dengan api, menggantung para tetua dan tokoh adat ke salib, dan membantai remaja dan bayi dengan pedang.

Niknam juga melampirkan rentetan tulisan dalam Kronik Latin 754, ditulis sekitar satu abad setelahnya, yang mengungkapkan kengerian itu dengan kefrustasian yang tidak dapat terelakkan.

"Bahkan jika setiap anggota tubuh diubah menjadi lidah, itu akan melampaui sifat manusia untuk mengekspresikan kehancuran Spanyol dan banyak kejahatan besar," tulisnya.  

Setelah menceritakan banyak contoh terorisme Islam Armenia, yang dilakukan tangan orang-orang Turki yang dimulai sekitar 1040, Niknam mengutip perkataan Matius Edessa yang mengungkapkan kematian para bangsawan dan pendeta, yang terjadi tiga abad setelahnya. Bangkai mereka, sambung Edessa, dibiarkan begitu saja hingga menjadi makanan para binatang pemakan bangkai.

"Wanita dikirim dan anak mereka dijadikan budak Persia, itulah kemalangan Armenia. Jadi, dengarkanlah cerita tragis ini," ujar Matius Edessa.

Dalam tulisannya Niknam membuat pembaca mempertimbangkan klaim Iran bahwa kedatangan dan penyebaran Islam, kebanyakan disambut baik, di antaranya Mesir dan Spanyol, yang selama ini diklaim memberikan penyambutan terbaik.  

Adapun Yerusalem, yang menjadi topik utama Tehran Times, merupakan kutipan pemikiran dari Sophronius, Tetua Yerusalem yang menyaksikan langsung  penaklukan Islam sejak 634 hingga 637.

Patriark kelahiran Damaskus yang juga pastur Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Katolik ini, menyebut Muslim sebagai Saracen pendendam yang membenci Tuhan dan melakukan penyerangan membabi buta. 

photo
Salah satu penguasa Ottoman (ilustrasi). - (Sondakika.com)

“Saracen yang pendendam dan pembenci Tuhan menyerbu tempat-tempat yang tidak diperkenankan dikunjungi. Mereka menjarah kota, menghancurkan ladang, membakar desa, membakar gereja-gereja suci, dan menjungkirbalikkan biara-biara suci,” kutip Niknam dalam tulisannya.  

Meski begitu penggambaran Tehran Times tentang posisi negara Barat sebagai penyebab disfungsionalitas dunia Islam kontemporer, dianggap keliru. Karena pada kenyataannya, kekuatan Eropa menjajah dunia Muslim hanya sekitar satu abad, yang jauh jika dibandingkan dengan satu milenium penjajahan yang dialami Eropa sebelumnya.  

Selain itu, pemerintah Eropa di dunia Muslim memiliki sebuah kebiasaan altruistik, kepercayaan koloni kulit putih untuk mengambil keuntungan dari rakyat kulit hitam mereka, atau juga disebut White Man’s Burden. Kebiasaan itu dilakukan dengan membantu umat Islam melepaskan diri dari mentalitas kesukuan mereka, dan membuat mereka secara eksklusif mendapatkan keuntungan dari 'yang lain', orang kafir.

"Jadi, sementara jihad diklaim sebagai sumber kehancuran, koloni Eropa dianggap berjasa menghapuskan perbudakan dan memperkenalkan para Muslim mereka sebagai simbol modernitas, demokrasi dan kebebasan beragama," tulis Raymond Ibrahim yang dikutip di PJ Media.

Meski diklaim sebagai keadilan tertinggi dan penghilangan fanatisme agama, Ibrahim menganggap bahwa keberadaan Islam di bawah pengaruh Barat membuat Islam melemah, mulai dari kemiskinan, kekacauan, dan terorisme.

"Faktanya, di bawah pengaruh budaya Barat, dunia Muslim berkembang dan maju tidak seperti sebelumnya dan menyebabkan dunia Muslim turun kembali ke kemiskinan, kekacauan, dan terorisme," tulisnya.

"Namun pada akhirnya, tidak satu pun dari fakta-fakta yang didokumentasikan dengan baik ini berpengaruh bagi para pemimpin Islam Iran. Untuk menghadirkan Israel dan sekutu Baratnya sebagai akar penyebab masalah dunia, mereka (Iran) tidak punya pilihan selain menulis ulang sejarah, seperti yang dilakukan kaum kiri di Barat secara rutin, dan dengan cara yang dianut para pengemis," tutupnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement