Selasa 09 Jun 2020 14:43 WIB

Turki Kembali Tangkap 191 Tentara Terkait Fethullah Gulen

Operasi penangkapan terkait Fethullah Gulen di Turki menarget orang di 22 provinsi.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nur Aini
Fethullah Gulen yang dituduh Turki mengatur kudeta pemerintahan Erdogan.
Foto: AP PHOTO
Fethullah Gulen yang dituduh Turki mengatur kudeta pemerintahan Erdogan.

REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Otoritas Turki telah memerintahkan penahanan 191 personel militer atas dugaan hubungan dengan Fethullah Gulen, Selasa (9/6). Jaringan itu dituduh mengatur kudeta pemerintahan Presiden Tayyip Erdogan dan berhasil digagalkan pada Juli 2016.

Pihak berwenang telah melakukan penumpasan terus-menerus terhadap dugaan pengikut ulama Muslim yang berbasis di Amerika Serikat itu. Gulen membantah terlibat. Dia hidup dalam pengasingan di Pennsylvania sejak 1999.

Baca Juga

Laporan kantor berita Turki Anadolu Agency menyatakan, operasi polisi dikoordinasikan dari kota Izmir barat dan menargetkan orang di 22 provinsi. Polisi telah menahan 145 tersangka.

Para tersangka sebagian besar bertugas aktif. Mereka diyakini telah berkomunikasi dengan pengikut Gulen lainnya melalui telepon umum dan telah menerima keuntungan dalam penerimaan ke sekolah militer.

Dalam operasi terpisah, sumber keamanan, menyatakan, polisi menahan 16 personel militer di kota tenggara Diyarbakir pada akhir pekan. Pada Selasa, pengadilan setempat memenjarakan enam dari mereka sambil menunggu persidangan dan membebaskan 10 lainnya.

Sekutu Turki dari negara-negara Barat mengkritik skala tindakan keras dalam pencarian pengikut Gulen. Sementara Ankara membela langkah-langkah itu sebagai tanggapan yang perlu terhadap ancaman keamanan.

Erdogan telah bertahun-tahun menuduh pendukung Gulen mendirikan negara paralel dengan menyusup ke kepolisian, peradilan, militer, dan institusi negara lainnya. Sejak upaya kudeta, sekitar 80.000 orang telah ditahan dalam persidangan dan sekitar 150.000 pegawai negeri sipil, personel militer, dan lainnya dipecat atau ditangguhkan. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement