Selasa 09 Jun 2020 06:13 WIB

Saat Hubungan Hangat Turki-Rusia Diuji Konflik Libya

Turki Rusia memiliki hubungan seperti benci tapi rindu menyangkut Libya, Suriah

Rep: Arabnews/ Red: Elba Damhuri
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bersama Presiden Rusia Vladimir Putin.
Foto: Kremlin Pool Photo via AP
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bersama Presiden Rusia Vladimir Putin.

REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Yasar Yakis*

Hubungan Turki dan Rusia umumnya dianggap sebagai sebuah permainan zero-sum dalam hal hubungannya dengan Amerika Serikat (AS). Ketika Ankara mengambil langkah positif dengan salah satu dari mereka, ia pergi ke arah yang berlawanan dengan yang lain. 

Sekarang situasinya menjadi lebih rumit karena Turki memiliki aspek positif dan negatif dalam hubungannya dengan Moskow dan Washington.

AS telah meningkatkan pasokan senjata dan amunisi kepada pasukan Demokrat Suriah, yang tulang punggungnya terdiri dari para pejuang Kurdi. Turki selalu sensitif terhadap tindakan apa pun yang mempromosikan identitas Kurdi di Suriah. Namun Koordinator AS di Suriah James Jeffrey mendukung dan memuji apa yang dilakukan Turki di Idlib.

Ambivalensi yang sama berlaku untuk hubungan Turki dengan Rusia. Di Suriah, kerja sama berubah menjadi hubungan yang tegang dari waktu ke waktu. Sekarang, Turki dan Rusia dihadapkan pada dilema serupa di Libya.

Dukungan Turki untuk Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) Libya yang berbasis di Tripoli telah secara dramatis mengubah jalannya permainan. 

Ankara ingin pasukan Jenderal Khalifa Haftar benar-benar dikalahkan, tetapi sikapnya berbeda dari Rusia, yang merupakan pemain penting di Libya. 

Terlepas dari dukungan yang telah diberikan kepada pasukan Haftar melalui tentara bayaran Grup Wagner, keberhasilan pemerintah Tripoli diperoleh sebagai hasil dari dukungan Turki. Rusia pun bertanya tentang dukungannya pada Haftar yang mungkin bisa menempatkannya dalam posisi yang sulit.

Perdana Menteri Libya Fayez Al-Sarraj pekan lalu mengunjungi Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Tiga hal dalam agenda tersebut adalah: Eksplorasi energi di Mediterania Timur, hilangnya kekuatan Haftar, dan proses gencatan senjata dan perdamaian Libya. 

Hal ini menunjukkan bahwa Turki dan Libya sedang mempersiapkan diri untuk hubungan yang langgeng.

Daripada mengambil risiko berada di pihak yang kalah, Rusia mungkin lebih suka bekerja sama dengan Turki.

Aspek lain dari kerja sama Turki-Libya yang tidak disuarakan dengan keras adalah solidaritas Ikhwanul Muslimin. Di masa lalu, Turki mendukung Partai Keadilan dan Pembangunan Libya --sebuah nama yang terinspirasi oleh Partai Keadilan dan Pembangunan Turki (AKP)-- yang memiliki hubungan dekat dengan Ikhwanul Muslimin Mesir. 

Ini mungkin merupakan faktor penting dalam penentangan Mesir dan negara-negara Arab lainnya terhadap keterlibatan Turki di Libya. Rusia juga menentang Ikhwanul Muslimin yang menjadi terkenal karena orang-orang Chechen yang menganut ideologi yang sama. Jadi kerja sama Turki-Rusia di Libya harus melalui ladang ranjau.

Wakil Perdana Menteri GNA Ahmed Maiteeq pekan lalu membuat pernyataan yang membuat Turki sangat senang. Dia mengatakan kemitraan strategis dengan Ankara akan berlanjut selama rekonstruksi Libya. 

Jadi, Turki ingin kerja sama yang langgeng dengan Tripoli dan berusaha memulihkan kerugian 19 miliar dolar AS yang diderita perusahaan konstruksi Turki. Mereka harus meninggalkan proyek-proyek yang belum selesai sebagai akibat dari krisis Libya.

Di front militer, ketika pasukan Haftar menarik diri dari distrik-distrik di sekitar Tripoli, mereka menanam bom dan memasang jebakan. Ini dirasakan oleh pasukan GNA sebagai tanda bahwa mereka tidak berencana untuk kembali. Rusia harus melakukan pengamatan serupa.

Setelah keluhan Turki tentang kehadiran tentara bayaran Rusia di pasukan Haftar, Moskow menarik mereka, tetapi malah mengirim armada pesawat tempur MiG-29. 

Penilaian bervariasi pada motif langkah ini. Rusia mungkin ingin menjaga keseimbangan antara GNA dan Haftar dan tidak ingin menjadi pecundang. 

Mungkin juga Rusia ingin berada di posisi yang lebih kuat dalam pembicaraan damai, sehingga pengiriman pesawat diperlukan. Daripada mengambil risiko berada di pihak yang kalah, Rusia mungkin lebih memilih untuk bekerja sama dengan Turki sehingga dapat menjadi arbitrator dan menuai keuntungan terkait.

Dalam pertemuan yang diadakan di Moskow antara Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov dan timpalannya dari Libya Mohammed Siala pekan lalu, terlihat Moskow mungkin, pada kenyataannya, mengalihkan dukungannya dari Haftar ke Aguila Saleh, anggota Dewan Perwakilan yang berbasis di Tobruk. 

Ini bisa membantu upayanya mencapai kompromi di papan catur Libya yang rumit. Ini juga dapat memecahkan masalah penolakan kuat Turki untuk membuat kesepakatan dengan Haftar.

Taruhan penting bagi Turki adalah penerapan zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang disepakati dengan Libya. Ankara membutuhkan pemerintahan yang akan mengendalikan pantai-pantai timur Libya karena, agar kesepakatan itu masuk akal, EEZ Turki dan Libya harus berdampingan. 

Jika Libya dibagi menjadi dua bagian dan kendali atas pesisir timurnya jatuh ke tangan pemerintah yang tidak bersahabat dengan Turki, maka pemerintah tersebut mungkin menolak mengimplementasikan perjanjian ZEE. 

Ini tidak dapat diamankan tanpa dukungan negara seperti Rusia, yang memiliki pengaruh di kedua sisi. Jadi kerja sama Turki-Rusia dapat diuji.

*Yasar Yakis adalah mantan menteri luar negeri Turki dan anggota pendiri Partai AKP yang berkuasa. Artikel ini dimuat di Arabnews.

Link: https://www.arabnews.com/node/1686146

sumber : Arabnews
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement