Selasa 09 Jun 2020 00:40 WIB

Pakar Epidemiologi: PSBB Skala Komunitas Lebih Substansial

Meski diterapkan dalam skala komunitas, protokol kesehatan harus tetap berjalan.

Warga melintas di depan pintu masuk Kampung Pucang Sewu yang melakukan karantina wilayah, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (5/4/2020). Karantina wilayah tersebut dilakukan oleh warga di kampung itu guna mencegah penyebaran Virus Corona (COVID-19)
Foto: ANTARA/Zabur Karuru
Warga melintas di depan pintu masuk Kampung Pucang Sewu yang melakukan karantina wilayah, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (5/4/2020). Karantina wilayah tersebut dilakukan oleh warga di kampung itu guna mencegah penyebaran Virus Corona (COVID-19)

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA  -- Pakar Epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Profesor Pandu Riono menilai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) skala komunitas jauh lebih substansial dari pada PSBB skala kabupaten/kota. Sebab, jika dibandingkan, penerapan skala kota dampaknya lebih besar.

"PSBB berskala komunitas itu akan lebih substansi karena yang menjaga dan mengawasi semuanya adalah anggota komunitas. Sehingga pemerintah daerah/kota itu hanya memberikan bantuan yang diperlukan kepada kebutuhan spesifik tertentu," kata Prof. Pandu saat video conference bersama Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini di Balai Kota Surabaya, Senin (8/6).

Menurutnya Surabaya Raya tidak seharusnya diterapkan dalam skala kota atau kabupaten. Namun, lebih tepat jika diterapkan dalam skala lebih kecil seperti berbasis komunitas, lingkup kampung, atau rukun warga (RW).

Sebab, lanjut dia, penerapan PSBB skala kota/kabupaten dampak yang ditimbulkan juga begitu besar. Salah satunya aspek ekonomi dan sosial di masyarakat.

Namun demikian, Prof. Pandu menyatakan ketika PSSB ini diterapkan dalam skala komunitas, maka protokol-protokol kesehatan harus tetap berjalan. Di antaranya tidak bepergian jika tidak ada keperluan, kemudian keluar rumah harus menggunakan masker, serta rajin mencuci tangan.

"Supaya kita membuat virus itu tidak pergi dari satu orang ke orang lain. Jadi kewajibannya adalah semua masyarakat wajib menggunakan masker bila keluar. Itu vaksin yang kita punya," katanya.

Ahli Epidemiologi yang menjadi rujukan nasional ini menjelaskan, ketika di suatu wilayah ditemukan warga yang terpapar Covid-19, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah melakukan identifikasi atau penelusuran. Mulai dari jumlah warga yang terpapar hingga ada berapa rumah tangga yang terinfeksi.

Dari hasil itu, lanjut dia, bisa diambil kesimpulan melalui pendekatan-pendekatan yang harus dilakukan kemudian. Seperti apakah perlu dilakukan karantina skala rumah atau lingkup kampung.

"Jadi pendekatannya karantina rumah, atau karantina kampung. Jadi tidak perlu sampai karantina kota. Karena karantina kota itu dampaknya besar untuk seluruh anggota dan penurunan virus corona ini kan sebetulnya klaster per klaster," ujar Prof Pandu.

Anggota Tim Gugus Tugas Nasional sebagai pakar modelling ini mengakui bahwa sebenarnya identifikasi-identifikasi tersebut telah diterapkan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini di Kota Pahlawan.

Bahkan, lanjut dia, hal ini telah berjalan di Surabaya melalui Satgas Covid-19 Wani Jogo Suroboyo di tingkat kampung atau RW. "Nah klaster-klaster itu sebetulnya kan Ibu Risma sudah identifikasi, bagus menggunakan konsep kampung, konsep RW. Itu jauh lebih substansi dan jauh lebih bertahan lama," katanya.

Sementara itu, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menyampaikan sebelumnya pihaknya telah mengusulkan kepada Gubernur Jawa Timur agar PSBB di Surabaya tidak diperpanjang supaya ekonomi masyarakat dapat berjalan.

Namun, lanjut dia, ketika PSBB skala kota ini dihentikan, maka jangan sampai nanti angka penularan itu bertambah.

"Jangan sampai karena itu kemudian kita naik lagi. Artinya kita harus sangat-sangat disiplin, menjaga jaga jarak (physical distancing) dan menjaga kebersihan," kata dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement