Senin 08 Jun 2020 17:11 WIB

Indonesia Butuh Kerukunan Sejati dan Kebersaman Hakiki

Kerukunan sejati dibutuhkan Indonesia.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
Indonesia Butuh Kerukunan Sejati dan Kebersaman Hakiki. Foto: Toleransi (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Indonesia Butuh Kerukunan Sejati dan Kebersaman Hakiki. Foto: Toleransi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Untuk membangun kerukunan, kemajemukan dan kebersamaan diperlukan kerukunan sejati serta kebersamaan hakiki. Hal ini disampaikan Ketua Kehormatan Presidium Inter Religious Center (IRC) Indonesia, Prof Din Syamsuddin saat percakapan virtual para tokoh lintas agama tentang 'Tata Hidup Baru (The New Normal Life): Perspektif Agama-Agama' yang diselenggarakan IRC Indonesia pada Senin (8/6).

Prof Din mengatakan, dalam rangka membangun kerukunan sejati serta kebersamaan hakiki, maka berbagai bentuk ketidakadilan dan kesenjangan harus diatasi bersama-sama. Bentuk-bentuk kerusakan lainnya terutama hal-hal yang bisa mengganggu kerukunan juga harus diatasi bersama-sama.

Baca Juga

Ia mengingatkan kembali tentang musyawarah besar untuk kerukunan bangsa yang diselenggarakan bersama agama-agama pada Februari 2018. Musyawarah itu telah melahirkan tujuh kesepakatan yang luar biasa.

"Pertama, pandangan dan sikap pemuka agama tentang NKRI yang berdasarkan Pancasila, semuanya memberikan pernyataan positif, menyatakan Pancasila adalah kristalisasi dari nilai agama kita masing-masing," kata Prof Din di akhir percakapan virtual para tokoh lintas agama, Senin (8/6).

 

Kedua, pandangan dan sikap umat beragama terhadap Bhineka Tunggal Ika, kesimpulannya positif. Semuanya harus mengakui realitas kemajemukan itu harus siap untuk hidup berdampingan secara damai. Semuanya harus membangun tidak hanya membangun kerukunan pasif tapi juga kerukunan aktif dalam bentuk kerja sama.

Ketiga, pandangan dan sikap umat beragama tentang pemerintah yang sah hasil pemilu demokratis berdasarkan konstitusi. Semua sepakat dan setuju harus mendukung pemerintah dalam kebijakan-kebijakannya. Prof Din menjelaskan, pada titik ini, agama-agama dan umat beragama juga tetap dapat melakukan fungsi kritis dan fungsi kontrolnya atas dasar keagamaan berdasarkan basis moral.

"Dalam krisis seperti ini saya kira agama-agama, sebagian dari kita perlu melakukan fungsi kritis dan kontrol, jangan sampai dalam kondisi kritis tersebut justru terdapat masalah-masalah dan halangan-halangan maka perlu ada yang meluruskan," ujarnya.

 

Prof Din menegaskan, fungsi kritis dan fungsi kontrol tentu harus dalam konteks loyal kritis. Yakni loyal terhadap negara dan pemerintah, tapi tidak menghalangi fungsi kritis tersebut.

Ia menambahkan, yang terakhir dari kesepakatan bersama untuk kerukunan bangsa itu. Semuanya perlu waspada terhadap faktor-faktor non agama yang bisa mengganggu kerukunan. Antara lain faktor sosial, ekonomi, dan politik terutama yang berisi ketidakadilan dan kesenjangan.

"Itulah tugas kita semua untuk membangun, saya optimis kerukunan sejati atas dasar kemajemukan hakiki, itulah yang harus kita cita-citakan," jelasnya. 

Percakapan virtual para tokoh lintas agama tentang 'Tata Hidup Baru (The New Normal Life): Perspektif Agama-Agama' yang diselenggarakan IRC Indonesia dihadiri banyak tokoh agama-agama. Diantaranya Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Marsudi Syuhud, dan Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Jacky Manuputty.

Kemudian ada Ketua Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi) Prof Philip K Wijaya, Sekretaris Komisi HAK Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Romo Agustinus Heri Wibowo, Tokoh Parisada Hindu Darma Indonesia (PHDI) dan Prajaniti Hindu Indonesia KS Arsana, Ketua Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) Budi S Tanuwibowo dan Sekretaris Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI), Prof Noor Ahmad.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement