Senin 08 Jun 2020 11:18 WIB

3 Fakta Air Bekas Bersuci Mustamal Menurut Mazhab Syafii 

Mazhab Syafii berpendapat air mustamal tak bisa dijadikan bersuci.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Nashih Nashrullah
Mazhab Syafii berpendapat air mustamal tak bisa dijadikan bersuci. Wudhu (Ilustrasi)
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Mazhab Syafii berpendapat air mustamal tak bisa dijadikan bersuci. Wudhu (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Pada dasarya air boleh digunakan untuk mengangkat hadas kecil (wudhu) dan juga hadas besar (mandi junub). Namun tidak semua air suci dapat menyucikan jika air itu telah berubah sifat mulai dari warna, bau, dan rasa seperti salah satunya air musta'mal. 

Peneliti di Rumah Fiqih Indonesia, Ustadz Ahmad Zarkasih, Lc merujuk Kifayat al-Akhyar Bab Air mengatakan ada tiga fakta air musta'mal yang wajib diketahui. Sifat air perlu diketahui karena merupakan salah satu kunci sah ibadah dalam Mazhab Syafii. "Karena bersuci dengan air itu kewajiban bagi Muslim," kata Ustaz Ahmad kepada Republika.co.id, Senin (8/6).

Baca Juga

Ustadz Ahmad mengatakan, pertama air musta'mal adalah air yang sudah dipakai bersuci, bukan sisa. Kata musta'mal berasal dari dasar "ista'mala yasta'milu" yang bermakna menggunakan atau memakai. 

Definisi secara syariat adalah air yang sudah digunakan untuk bersuci, yakni mengangkat hadats atau menghilangkan najis, yang sifatnya kewajiban.  

"Dan air yang tidak berubah serta tidak bertambah. tidak berubah itu maksudnya sifat airnya yakni rasa aroma dan warna," katanya.  

Kata Ustaz Ahmad, ada sebagian lain mendefinisikan air musta'mal dengan makna air yang sudah digunakan untuk bersuci yang wajib dan airnya kurang dari 2 qula yaitu 500 Rithl Baghdad. Menuru Dr Musthafa Dieb al-Bugha (al-Tadzhib) mengkonversi 500 Rithl menjadi 190 liter.  

Fakta kedua air musta'mal itu suci. Air musta'mal itu statusnya suci, akan tetapi dia tidak mensucikan alias tidak bisa dipakai untuk mengangkat hadas atau menghilangkan najis. 

Dulu, kata, Ustadz Ahmad, Nabi SAW dan para sahabat tidak mengumpulkan air bekas wudhu mereka untuk bisa dipakai bersuci lagi, kalau boleh mestilah mereka melakukan itu.  

Padahal mereka berada di tempat dan waktu yang sangat butuh sekali kepada air. Hal ini dilakukan untuk sebisa mungkin efisien, alasan ini yang ditangkap  Imam Al Hishni dalam Kifayah.  

Sementara itu Dr Mustafa al-Bugha juga memberikan gambaran jika air dua kulah itu itu, ketika berada di sebuah wadah dia mesti berukuran 58 cm untuk setiap sisinya, panjang, lebar dan tingginya.   

Fakta ketiga bekas basuhan tubuh kita jika sudah terpisah itulah musta'mal. Tentang fakta ketiga ini Ustaz Ahmad menjelaskan, ialah air yang berada di satu anggota tubuh lalu mengalir ke bagian lain di anggota tubuh yang sama tidak disebut musta'mal. "Seperti dari telapak tangan kelengan lalu ke telapak lagi tapi jika air pindah ke anggota tubuh lain itulah air yang disebut musta'mal," katanya.  

Ustadz Ahmad Zarkasih mengatakan, bahwa Imam Ak Hishni menguraikan bahwa air yang terpisah dari anggota tubuh junub ke anggota tubuh lain, itu juga musta'mal. 

Terpisah itu maksudnya air pindah ke anggota tubuh lain tidak dengan mengalir melainkan terpisah, seperti jatuh dari muka ke kaki, atau terciprat. "Maka air yang sudah dipakai anggota tubuh junub sebelum itu adalah air musta'mal," katanya.  

Imam Al Juwani membedakan antara sengaja atau tidak sengaja. Jika ia sengaja nadangin air basuhan kepala dengan kaki maka air yang di kaki, maka air yang di kaki itu musta'mal. Jika tidak sengaja seperti cipratan dengan sendirinya itu tidak disebut musta'mal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement