Ahad 07 Jun 2020 17:47 WIB

Myanmar Dinilai Abaikan Perintah Perbaiki Kondisi Rohingya

Setelah memberikan laporan ke ICJ, Myanmar belum membuat perubahan untuk Rohingya.

Rep: Puti Almas/ Red: Nur Aini
Pengungsi Rohingya berbelanja bahan makanan di pasar Kutupalong Rohingya di kamp Coxs Bazar, Bangladesh, 15 Mei 2020.
Foto: AP
Pengungsi Rohingya berbelanja bahan makanan di pasar Kutupalong Rohingya di kamp Coxs Bazar, Bangladesh, 15 Mei 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Pemerintah Myanmar dilaporkan telah mengesampingkan perintah pengadilan internasional untuk memperbaiki kondisi warga etnis Rohingya di negara itu. Hal itu dikatakan oleh kelompok pengamat hak asasi manusia, seperti dikutip VOA, Sabtu (6/6). 

Pada Januari lalu, Pengadilan Keadilan Internasional PBB (ICJ) meminta Pemerintah Myanmar untuk mengambil seluruh langkah yang diperlukan untuk mencegah tindakan genosida terhadap warga Rohingya. Banyak orang dari etnis minoritas tersebut yang melarikan diri ke Bangladesh sejak adanya serangan dari militer pada 2017. 

Baca Juga

ICJ juga memerintahkan Myanmar untuk menyerahkan laporan dalam waktu empat bulan tentang tindakan apa yang diambil untuk mematuhi keputusan pengadilan tersebut. Selain itu, laporan tindak lanjut setiap enam bulan setelahnya harus diberikan oleh pemerintah negara.

Laporan pertama dari Pemerintah Myanmar sesuai dengan permintaan ICJ telah diserahkan pada bulan lalu, meski isinya belum dirilis ke publik secara resmi. Tetapi, sejumlah pengamat mengatakan tak ada perubahan yang terjadi. 

"Menurut saya situasinya tetap lebih kurang sama. Belum ada kemunduran yang besar, namun juga tidak ada tindakan baru yang besar," ujar Thitinan Pongsudhirak, profesor ilmu politik di Chulalongkorn University, Thailand. 

Sementara pandemi virus corona jenis baru (Covid-19) terjadi, Myanmar mengontrol pergerakan orang-orang, secara khusus di Rakhine, negara bagian warga Rohingya berada. Pemilihan legislatif yang ditetapkan untuk November akan memberanikan pemerintah untuk memperketat sikapnya terhadap etnis minoritas tersebut. 

Bahkan, para pemilih mayoritas di Myanmar memandang Rohingya sebagai i orang yang tidak diundang diizinkan masuk selama pemerintahan kolonial Inggris atas Myanmar. Pongsudhirak mengatakan ada masalah yang sangat rumit mengenai etnis tersebut. 

"Bagi dunia luar, ada banyak simpati terhadap Rohingya yang memicu protes. Di Myanmar, justru sebaliknya," kata Pongsudhirak. 

Masyarakat internasional telah menyoroti tindakan Pemerintah Myanmar yang dinilai menargetkan Rohingya dengan cara sistematis, bahkan berujung pada genosida. Pembunuhan massal, pemerkosaan, hingga pembakaran rumah-rumah yang menjadi tempat tinggal warga etnis tersebut di Rakhine terjadi dan diyakini bertujuan melenyapkan mereka. 

Hal itu seluruhnya merujuk pada tindakan militer Myanmar secara besar-besaran yang terjadi pada 2017, tepatnya mulai Agustus. Sejak itu banyak warga Rohingua yang melarikan diri ke Bangladesh, namun kemudian mereka harus menghadapi lebih banyak kekerasan dan kejahatan lainnya seperti perdagangan manusia. 

Tun Khin, presiden kelompok advokasi Burmaese Rohingya Organization mengatakan warga etnis minoritas tersebut hanya menginginkan akses normal fasilitas-fasilitas dasar, termasuk kesehatan dan pendidikan, serta kebebasan bergerak. Namun, Pemerintah Myanmar tidak melakukan apapun untuk mewujudkannya, bahkan setelah putusan ICG keluar. 

"Jika Myanmar mematuhi putusan, pemerintah negara itu harus mengubah undang-undang dan kebijakan yang merupakan bagian dari genosida terhadap kita," kata Tun Khin.

Sebelum 2017, warga Rohingya juga telah mengalami kekerasan yang pertama kali terjadi pada 2012. Operasi militer yang dilakukan disebut bertujuan untuk menumpas kelompok Arakan yang memberontak di Rakhine, namun tidak terkait sama sekali dengan etnis tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement