Ahad 07 Jun 2020 10:40 WIB

Laki-Laki Bermata Dingin

Terkadang, manusia suka berkamuflase.

Laki-Laki Bermata Dingin
Foto: Rendra Purnama
Laki-Laki Bermata Dingin

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ratna Ning

"Kenapa? Kau takut melihatku? Apa casing itu bagimu lebih penting? Semalam, aku melihat laki-laki ganteng dan berpenampilan necis memasuki distro. Tak lama kemudian, dia digiring oleh sekuriti. Ternyata, jas besarnya itu ia pakai untuk menyembunyikan pakaian dalam perempuan yang berharga mahal yang ia curi di distro itu. Uphh, bukan berarti yang klimis dan rapi itu jahat. Dan aku mengeklaim diri sebagai si muka berangasan yang berhati pink. Tapi, terkadang, manusia suka berkamuflase. Aku memang bukan orang baik. Tapi, tak seburuk yang kau pikirkan. Tenanglah..."

Kata-katanya meyakinkanku. Aku mengenalnya di masa kecil dulu. Ia anak masjid yang pendiam, tapi pintar mengaji. Shalatnya juga paling rajin. Dulu, kami mengaji di surau kampung. Guru ngaji kami bukan ustaz keluaran pondok pesantren, tapi seorang bapak yang paham Alquran, fikih, tajwid, dan safinah. Kami mengaji bukan dengan hafalan Iqra dan cara belajar yang sudah tertera di buku Iqra, tapi manual saja dari Quran kecil ke Quran besar.

Menurutku, agak sulit cara mengaji kami di masa dulu. Buktinya, dari sekian santri ngaji, hanya lima orang yang cepat melaju hafalannya dan cepat pindah ke Quran besar. Aku paling kecil di antara kelima orang termasuk Kemal, laki-laki yang setiap hari kini selalu mencegatku di gang sempit sepulang aku berjualan donat dan goreng-gorengan.

Lama aku tak melihatnya. Selepas SD Kemal dibawa oleh pamannya. Orang tuanya sudah lama bercerai. Ibunya pergi men jadi TKI dan tak pulang serta tak ada kabar berita. Kakaknya tak sanggup menyekolahkan Kemal. Saat Kemal lulus SD, kakaknya baru saja menikah. Itulah, seusai menyaksikan pernikahan sang kakak, pamannya memboyong Kemal ke kota tempat pamannya tinggal.

Banyak kenanganku dengan Kemal. Kenangan masa kecil meski seperti remahremah nasi yang berceceran dan tak berarti. Lalu, aku menjumpainya kembali setelah kami dewasa.

Aku gadis lulusan SMA. Peringkat tahapan sekolah yang masih dianggap sangat tinggi di antara anak-anak kampung kami. Biasanya, anak yang mencapai tingkatan sekolah sampai SMA itu orang tuanya tergolong kelas menengah ke atas.

Di kampungku masih banyak anak yang hanya lulus SD, bahkan banyak juga yang putus sekolah. Semua karena terbentur biaya. Dan aku? Bukan karena aku anak orang kaya, tapi karena dari SD aku sekolah dengan beasiswa. Nilai akademisku tak pernah turun dari peringkat satu. Semua teman dan guru selalu memujiku.

"Aku hanya orang bodoh yang melihatmu dengan mata telanjang. Kamu seorang gadis muda yang pintar dan berbakat. Kau harus merangkai duniamu, bukan terkurung seperti kura-kura dalam rumahnya yang pengap, hingga tubuhnya susah untuk berkembang. Kampung ini terlalu kecil dan tak menyimpan banyak mimpi untuk perempuan pintar sepertimu. Jika kau terus di sini, kau hanya akan mengikuti siklus yang sama dengan gadis lainnya. Menikah muda, menggendong anak, dan berkutat di dapur atau menunggu suami pulang bekerja. Atau, memendam diri di petakan sawah hingga mukamu gosong. Tidak akan terlalu parah masa depanmu jika kau menikah dengan lelaki yang bertanggung jawab. Tapi, kau lihat, banyak perempuan di kampung kita yang kemudian menjadi janda muda. Mempunyai anak yang ditinggalkan tanpa tanggung jawab bapaknya. Dengan keterampilan minim, kebiasaan hidup tergantung pada suami, banyak yang susah hidupnya saat sendiri. Bagus-bagusnya, masih bisa bekerja menjadi babu di kota atau pergi ke luar negeri. Tapi kau lihat, berapa banyak janda muda yang kemudian bekerja di warung remang-remang di pinggiran pantura sana? Kampung kita yang kumuh dan miskin, jadi semakin kumuh dengan perempuannya yang terkenal menjual jasa tubuh mereka. Aku miris dengan itu semua. Hidup kita tak berputar terus di dunia, Maryam. Lalu, berakhir pada kematian yang tak akan ada kelanjutannya."

Itulah pembicaraan terpanjang yang terjadi antara aku dengannya, di sepanjang kedekatan kami. Ia menawariku bekerja menjadi admin di toko elektronik. Semula, aku ragu. Aku yang merasa sudah nyaman membantu ibu dan mendapat penghasilan harian dari berjualan donat dan gorenggorengan, rasanya tak perlu mencari kerja ke luar.

Ibu melarangku. Bapak pun takut aku kebablasan bergaul. Mereka hanya menung gu aku dilamar seorang pemuda untuk diperistrinya. Seperti kebanyakan gadis di kampung kami.

Sesungguhnya, ia lelaki yang dingin, yang tak banyak bicara. Dia tak banyak ber gaul. Aktivitasnya hanyalah pagi-pagi pergi ke pasar. Dia memiliki gerobak kecil tempat berjualan koran dan majalah bekas.

Oleh karena penampilannya yang serampangan, raut wajahnya yang keras, tatap matanya yang dingin dan tajam, lantas orang-orang menganggapnya berandalan. Mereka mengira lelaki itu menjadi preman tukang palak di pasar.

Ia selalu pulang selepas Maghrib. Berjalan saja dari pusat perbelanjaan itu, memasuki gang-gang kecil, melewati jalan tikus, kemudian tiba di ujung kampung. Sejak aku menerima tawaran kerja, kami selalu pulang berdua. Berjalan kaki untuk mengirit ongkos hari hari.

"Masuklah ke universitas atau sekolah tinggi yang biayanya sedikit lebih murah di sini. Kau bisa sekolah sambil bekerja. Ada kelas malam untuk karyawan. Tahu kan? Ada beberapa mahasiswa juga yang bekerja di situ?" Suatu hari, tiba-tiba ia menyarankan itu padaku.

Semula, aku tak mengerti kenapa ia begitu peduli padaku. Tapi, setelah lama kami akrab, aku mengerti, laki-laki itu peduli tak hanya padaku.

Aku pernah beberapa kali memergokinya menyisihkan penghasilannya, dimasukkannya ke dalam amplop. Kali lain, ia pernah mengajakku mengunjungi panti asuhan kecil di ujung gang dekat kantor asuransi.

Aku ingat diriku sendiri jika mengunjungi panti. Andai saja aku tidak punya paman yang merawatku meski semampunya, mungkin aku sudah jadi anak telantar.

"Kau tahu kakakku kan? Sejak gagal berumah tangga dengan suaminya yang pengangguran itu, dia mesti kerja sebagai buruh cuci untuk memenuhi kebutuhan hidup dan anaknya. Kakakku bodoh juga, tidak sekolah tinggi, sama seperti aku. Dengan ijazah SD mau melamar ke mana selain jadi babu? Padahal, kakakku cukup cantik. Sayang nasibnya tidak mujur...."

Ia seperti menerawang dan setengah mengeluh. Aku kini sudah di tingkat akhir. Kuliahku lancar meski terkadang lelah harus mem bagi waktu. Yang tak kumengerti, ibu dan bapak melarangku dekat dengan Kemal. Mereka membatasi pergaulanku. Bahkan, beberapa kali Kemal kena damprat dan hampir dibogem bapak.

Kutemukan jongko korannya kosong. Semenjak itu pula, Kemal tak kulihat lagi. Ia seperti raib ditelan bumi. Menurut kakaknya, Kemal membaktikan diri menjadi penjaga kolam ikan di pondok pesantren di kota pamannya. Sambil mendalami ilmu agama.

Aku lega. Entah kenapa, aku jadi selalu membayangkan, ketika aku lulus dan menjadi sarjana, Kemal akan datang melamar dengan mengenakan koko dan serban putih. Wajahnya yang semakin bersih serta air mukanya yang tenang bersemu dingin, sungguh kurindukan diam-diam. Aku ingin ia menjadi imamku. Seperti katanya, kita harus berguna di dunia dan tak sia-sia jika waktu kematian tiba.

Aku tetap meronce mimpi-mimpiku tentang Kemal saat suatu hari orang-orang kampung ribut. Seorang pelayan warung remang di pinggir jalan pantura ditebas seorang lelaki yang ternyata... adiknya sendiri. Lalu, laki laki itu, berlari ke jalan raya, menabrakkan diri ke depan mobil kontainer yang sedang laju. Seiring itu pula, mimpi-mimpiku tentang seorang santri pujaan hati yang menyuntingku musnah seketika.

 
TENTANG PENULIS: Ratna Ning, lahir di Subang. Mulai menulis pada 1994. Tulisan pertamanya dimuat di maajalah remaja Kawanku. Cerpencerpennya dimuat di Ceria Remaja, tabloid Wanita Indonesia, FantasiTeen, Annida, Puteri, Muslimah, Pikiran Rakyat, dan beberapa media instansi.

Buku kumpulan cerpen dan puisi terbit indi bersama delapan penulis perempuan di Facebook. Satu buku kumpulan carpen dan sajak berbahasa Sunda Gerentes bersama tiga penulis perempuan turut meramaikan khazanah literasi daerah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement