Sabtu 06 Jun 2020 18:50 WIB

Penerimaan SMA Gunakan UN SD Dinilai Bikin Trauma Siswa

Siswa yang capaian akademiknya di SMP meningkat akan alami demotivasi.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Fernan Rahadi
Pendidikan/Ilustrasi
Pendidikan/Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pemerintah Provinsi DIY mengambil kebijakan kontroversial saat menyatakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMA/SMK tahun ini tidak hanya mempertimbangkan nilai rapor SMP, namun juga mempertimbangkan Ujian Nasional (UN) SD. 

Kebijakan ini diambil oleh Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY karena pertimbangan nilai rapor yang tidak memiliki standar yang jelas. Dalam artian, standar dari nilai rapor ini ditetapkan oleh masing-masing sekolah dan standarnya berbeda-beda.

Namun, kebijakan ini dinilai tidak adil oleh pemerhati pendidikan, Muhammad Nur Rizal. "Pertama, revisi (kebijakan) yang dilakukan ini melanggar kebijakan pemerintah sendiri tentang zonasi yang tujuannya memangkas stigma sekolah favorit dan non favorit, yang malah dilembagakan melalui regulasi baru ini," kata Rizal kepada Republika, Sabtu (6/6).

Kedua, kata Rizal, kebijakan ini berpotensi merusak perkembangan mental anak didik. Menurut Rizal, kebijakan ini menimbulkan dampak traumatis bagi yang dirugikan dan merupakan semacam jalan pintas bagi yang diuntungkan untuk masuk ke SMA yang diinginkannya. 

"Siswa yang dulu di SD capaian akademiknya biasa atau rendah, tetapi di SMP meningkat karena kesungguhannya belajar, akan mengalami demotivasi karena dihukum oleh situasi masa lalunya (saat SD)," tutur dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.

Pernyataan Rizal juga didukung orang tua murid Kelas XI SMP Negeri 3 Bantul, Deassy Marlia Destiani. Menurut Deassy tidak rasional jika nilai UN SD yang sudah dikerjakan tiga tahun lalu menjadi salah satu komponen nilai yang dimasukkan untuk daftar SMA. Karena setiap anak pasti tumbuh dan berkembang kemampuan intelektual, emosional, dan spiritualnya.  

"Lagipula juknis awal sudah disosialisasikan sejak bulan Maret (2020). Mengapa setelah keluar nilai rapor anak baru juknisnya diubah tanpa ada sosialiasasi dan hanya diputuskan sepihak?" ujarnya.

Seperti diketahui, Ujian Nasional (UN) tahun ini terpaksa dihapus oleh pemerintah karena adanya pandemi Covid-19. Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY lantas membuat petunjuk teknis (juknis) tentang formulasi perhitungan nilai gabungan yang didapatkan dari rata-rata nilai rapor sebesar 80 persen, nilai rata-rata UN sekolah empat tahun terakhir 10 persen, dan nilai akreditasi sekolah 10 persen.

Formulasi tersebut kemudian diubah menjadi rata-rata nilai rapor dan UN SD dengan bobot 80 persen, nilai rata-rata UN sekolah dalam empat tahun terakhir sebesar 10 persen, dan nilai akreditasi sekolah sebesar 10 persen.

"Kalau nilai SD dipakai untuk masuk ke SMA, lalu untuk apa ada PPDB SMP? bisa-bisa jika diikuti masuk PT (UGM) akan dilacak jejak rekam SD, SMP, dan SMA-nya. Sebaiknya Disdikpora DIY memastikan dunia pendidikan bebas dari politisasi atau intervensi kepentingan elite masyarakatnya," kata Rizal.

Baru-baru ini juga muncul petisi daring di platform Change.org yang meminta untuk dihapuskannya bobot nilai UN SD dalam PPDB SMA/SMK 2020 di DIY. Petisi ini ditujukan kepada Gubernur DIY, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Disdikpora DIY, dan DPRD DIY.

Menurut Deddy Heriyanto, penulis petisi tersebut, penambahan unsur nilai rata-rata USM SD/MI (UN SD-Red) ke dalam rumus penerimaan SMA sebagai hal yang tidak tepat. "Apakah kualitas monitoring proses KBM dan prestasi siswa SLTP oleh Disdikpora DIY sebegitu buruknya sehingga harus mengambil nilai USM SD/MI untuk menjadi bagian dalam menghitung nilai prestasi siswa SMP untuk masuk ke SMAN?" tulis Deddy.

Menurut dia, jika nilai rapor sekolah diragukan kredibilitasnya, sementara UN tidak dilakukan, maka penggunaan nilai-nilai murni ujian siswa dari soal-soal dinas yang mestinya menjadi jalan keluar. "Maka sangat aneh kalau PPDB SMA 2020 harus mengambil dari nilai SD," ujarnya.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement