Jumat 05 Jun 2020 17:55 WIB

Hadits Tawakal Seperti Burung Menurut Imam Ahmad dan Ghazali

Rasulullah SAW mengibaratkan tawakal seperti perilaku burung.

Rasulullah SAW mengibaratkan tawakal seperti perilaku burung. Ilustrasi burung.
Foto: Antara/Dedhez Anggara
Rasulullah SAW mengibaratkan tawakal seperti perilaku burung. Ilustrasi burung.

REPUBLIKA.CO.ID, 

لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُوا خِمَاصاً وَتَرُوْحُ بِطَاناً

Baca Juga

"Sungguh seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana rezekinya burung-burung. Mereka berangkat pagi hari dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang"

(HR Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Al-Mubarak dari Umar bin Khathab).

 

Penjelasan: 

Dalam hadits yang mulia ini, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa orang-orang yang bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya akan dicukupkan rezekinya oleh Allah sebagaimana Dia mencukupi rezeki burung-burung. Betapa tidak, Allah adalah Dzat Yang Mahahidup, dan Yang tidak pernah mati.

Karena itu, barangsiapa bertawakal kepada-Nya, niscaya Allah SWT akan mencukupi segala kebutuhannya. Dalam QS. Ath-Thalaq ayat 3, Allah SWT berfirman: 

وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمْرِهِۦ ۚ قَدْ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَىْءٍ قَدْرًا  “Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”

Tawakal terambil dari kata wakala-yakilu yang berarti mewakilkan, dan dari kata ini terbentuk kata wakil. Kata wakil bisa diartikan dengan "pelindung". 

Dalam beberapa ayat ditegaskan bahwa: وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ وَكِيلٌ  “ Dan Dia (Allah) atas segala sesuatu menjadi wakil (QS Al-An'am: 102). 

وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ وَكِيلًا “Dan cukuplah Allah sebagai wakil (QS An-Nisa: 81).

Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa menjadikan Allah sebagai wakil, berarti menyerahkan kepada-Nya segala persoalan (Shihab: 2000: 124).

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya' Ulumiddin mendefinisikan tawakal sebagai "penyandaran hati hanya kepada wakil (yang ditawakali) semata. Sedangkan menurut Allamah Al-Manawi tawakal adalah "menampakkan kelemahan serata penyandaran (diri) kepada yang ditawakali".

Apakah  tawakal identik dengan sikap pasif dan apatis? Dalam Alquran perintah bertawakal terulang sebanyak sebelas kali; sembilan berbentuk tunggal dan dua berbentuk jamak. Kesemuanya selalu awali perintah melakukan sesuatu. Sebagai contoh: 

  وَإِن جَنَحُوا۟ لِلسَّلْمِ فَٱجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ   “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kamu kepadanya dan bertawakallah kepada Allah.” (QS Al-Anfal: 61).

Dari sana jelaslah bahwa tawakal tidak identik dengan sikap pasif. Karena itu, tidak disebut tawakal orang yang pasrah kepada Allah tanpa mau berusaha. Tidak disebut tawakal pula orang yang menginginkan sesuatu tapi tidak mau mengerahkan potensi yang dimilikinya untuk meraih apa yang diinginkannya tersebut. Tawakal adalah urusan hati. Ia hadir setelah badan dan pikiran dioptimalkan terlebih dahulu.

Rasulullah SAW menyerupakan orang yang bertawakal dan diberi rezeki itu dengan burung yang pergi dipagi hari untuk mencari rezeki dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang. Kita tahu bahwa burung tidak memiliki sandaran apapun, baik perdagangan, pertanian, dan lainnya. Ia keluar dari sarang dengan bekal tawakal kepada Allah SWT yang kepada-Nya ia bergantung.

Tentang hal ini, Imam Ahmad memberikan komentar: "Tidak ada isyarat yang membolehkan kita untuk meninggalkan usaha. Sebaliknya, di dalam hadits ini terdapat isyarat tentang perlunya kita bergerak mencari rezeki. Jadi maksud hadits di atas, bahwa seandainya manusia bertawakal kepada Allah dalam kepergian, kedatangan, dan usaha mereka, dan mereka mengetahui kebaikan (rezeki) itu ditangan-Nya, tentu mereka tidak akan pulang kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimana burung-burung tersebut" (Fadhl Ilahi, 2000: 37-38).

Imam Ahmad pun pernah ditanya tentang "status" seseorang yang kerjanya hanya beribadah dan duduk di rumah atau mesjid sambil berkata, "Aku tidak mau bekerja, sampai rezekiku datang sendiri". Ia mengatakan, "Orang tersebut adalah orang malas dan tak mengenal ilmu. 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement