Jumat 05 Jun 2020 07:14 WIB

PSBB Diperpanjang, Pengamat: Perhitungkan Dampak Sosial

PSBB di Jakarta hingga akhir Juni ini masuk dalam fase I masa transisi. 

Rep: Ali Mansur/ Red: Agus Yulianto
Sosiolog Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati.
Foto: dokpri
Sosiolog Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memutuskan untuk kembali memperpanjang pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sebagai masa transisi. Masa akan dibagi menjadi beberapa tahap di mana PSBB di Jakarta hingga akhir Juni ini masuk dalam fase I masa transisi. Dalam masa transisi ini, secara bertahap berbagai sektor mulai dibuka meski tetap dalam koridor protokol kesehatan ketat.

"Saya mengapresiasi keputusan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tersebut. Berdasarkan fakta sejarah, pada masa pandemi flu Spanyol misalnya, negara yang ekonominya cepat pulih adalah yang betul-betul secara ketat menerapkan aturan protokol kesehatan," ujar pengamat Sosial Universitas Indonesia Devie Rahmawati saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (4/6).

Lanjut Devie, memang pada saat masa pandemi mengalami guncangan ekonomi yang luar biasa tapi ketika masa pemulihan justru menunjukkan statistis yang lebih kuat dibandingkan daerah atau kota kota yang tidak menerapkan PSBB di masa tersebut. Karena ada kerugian nyawa misalnya,  kehilangan banyak orang dengan umur produktif.

"Justru akan lebih mengganggu ekonomi yang untuk melakukan pemulihan. Jadi apa yang dilakukan oleh Pemprov DKI atas nama kesehatan tentu saja menjadi jadi pilihan yang tepat," kata Devie.

Namun, sambung Devie, Pemrov DKI Jakarta juga harus memperhatikan dampak sosial yang dirasakan oleh masyarakat. Pertama adalah dampak tekanan ekonomi, khususnya bagi mereka yang pendapatan harian sangat rentan dan paling terdampak dari perpanjangan PSBB ini. Secara umum dengan adanya perpanjangan masa pembatasan inibstress, dapat menimbulkan rasa cemas, rasa ketakutan atas ketidak lpastian yang akan dihadapi.

"Berharap pemerintah tidak hanya berfokus membantusecara ekonomi tapi juga bantuan pisikolog. Kemungkinan banyak masyarakat yang tidak tahu bagaimana caranya mengungkapkan perasaan yang kemungkinan termanisvestasi dalam sakit atau stress," ungkap Devie.

Kendati demikian, Devie mengakui, pemerintah tidak bisa bekerka sendirian mengatasi ini. Oleh karena itu aktivitas sosial yang dilakukan oleh universitas, lembaga-lembaga swadaya masyarakat tidak hanya menyasar pada bantuan fisik berupa sembako tapi juga bantuan psikologis dengan menyiapkan layanan curhat dan lain lain.

"Ini menjadi bentuk upaya nyata dan konkrit yang dilakukan oleh pemerintah dan juga masyarakat untuk juga memberikan dukungan psikologis untuk masyaraka terdampak," tutup Devie. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement