Jumat 05 Jun 2020 03:25 WIB

Tidak Ada yang Baru dalam New Normal

Kita akan kembali pada tatanan hidup lama yang terbukti gagal menghadapi covid-19.

Petugas mengukur suhu tubuh wisatwan saat berlangsungnya simulasi normal baru di TMII, Jakarta, Kamis (4/6). Pengelola Taman Mini Indonesia Indah (TMII) telah mempersiapkan penerapan protokol kesehatan saat kehidupan normal baru atau
Foto: Prayogi/Republika
Petugas mengukur suhu tubuh wisatwan saat berlangsungnya simulasi normal baru di TMII, Jakarta, Kamis (4/6). Pengelola Taman Mini Indonesia Indah (TMII) telah mempersiapkan penerapan protokol kesehatan saat kehidupan normal baru atau

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nuraini*

Di awal Juni 2020 ini, pemerintah bersiap mengizinkan kembali aktivitas ekonomi buka setelah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pertama kali diberlakukan pada April di wilayah DKI Jakarta. Kebijakan yang kerap disebut sebagai tatanan hidup normal baru atau new normal itu menyaratkan masyarakat menerapkan protokol kesehatan dengan tujuan menghindari penularan Covid-19. Pemerintah pusat hingga pemerintah daerah menerbitkan protokol kesehatan yang penegakannya melibatkan polisi, TNI, dan aparat terkait. Namun, setidaknya masih ada dua hal penting yang perlu menjadi perhatian dalam kebijakan new normal .

Pertama, istilah new normal yang menyisakan pertanyaan atau bisa jadi kebingungan di masyarakat. Jika ada normal baru, maka dapat diasumsikan ada normal lama yang ditinggalkan atau tidak lagi dijalani. Dalam pengertian itu, normal baru diartikan sebagai sistem tatanan hidup pada saat pandemi Covid-19 yang dalam bahasa pemerintah sebagai 'berdamai dengan Covid-19'. Oleh karena itu, pola hidup sebelum Covid-19 tidak berlaku dan digantikan dengan 'tatanan yang baru' dalam new normal

Pertanyaannya kemudian, hidup baru seperti apa yang kita lakukan selama pandemi Covid-19? Masyarakat harus menghadapi tatanan hidup baru dalam pembatasan karantina atau lockdown selama pandemi Covid-19, meski itu bukan hal baru bagi dunia karena pada seabad lalu telah melakukannya akibat flu Spanyol. Di Indonesia, lockdown diterjemahkan dalam kebijakan PSBB yang pelaksanaannya lebih longgar apabila dibandingkan dengan China sebagai negara pertama melakukan pembatasan akibat penyebaran Covid-19. Dampak dari lockdown tersebut bagi dunia ternyata luar biasa yang bisa kita lihat dari berbagai aspek, di antaranya ketenagakerjaan dan lingkungan.

Di aspek pertama soal ketenagakerjaan, pandemi Covid-19 membuat jutaan pekerja harus berhenti bekerja sementara. PBB mencatat 24 juta orang terancam kehilangan pekerjaan selama pandemi Covid-19. Sementara,  catatan dari Kemenaker hingga Mei 2020 sudah ada 1,7 juta pekerja yang dirumahkan atau di-PHK akibat pandemi Covid-19. Kondisi itu terjadi di Indonesia hanya dalam dua bulan sejak PSBB diberlakukan yang memaksa sebagian besar masyarakat menghentikan aktivitas ekonominya. Dalam kondisi itu, kita dihadapkan pada sistem kerja yang selama ini dijalani (sebelum Covid-19) ternyata rapuh. Hasil kerja, katakanlah sumbangan pendapatan atau laba ke perusahaan, selama bertahun-tahun tidak dapat menjamin hidup sistem kerja hanya dalam waktu dua bulan. Bagi yang kehilangan pekerjaan karena PHK tanpa pesangon atau cuti tanpa gaji (dirumahkan) terpaksa harus hidup dari tabungan sendiri, hasil penyisihan gaji berstandar upah minimum.

Atas kondisi itu, negara dituntut berperan besar untuk menjamin keberlangsungan hidup rakyatnya. Pemerintah menggelontorkan Rp 37,4 triliun untuk program bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH) yang disalurkan ke 10 juta penerima. Jumlah itu tentu tidak mencukupi karena jumlah penduduk miskin RI pada 2019 saja mencapai 24,79 juta orang. Apalagi jumlah itu belum ditambah dengan orang miskin baru yang kehilangan pekerjaan. Masih banyaknya rakyat yang tidak terjangkau bantuan memunculkan inisiatif dari bawah lewat rakyat bantu rakyat. Kehidupan yang lebih manusiawi dengan rasa solidaritas begitu terasa ketika kita melihat banyak warga yang berinisiatif membantu sesama baik berupa makanan lewat dapur bersama atau bantuan lainnya seperti pengumpulan dana lewat kitabisa.

Berhentinya aktivitas ekonomi karena kita harus di rumah saja, berdampak pada aspek lingkungan. Selama pandemi Covid-19, kita bisa menyaksikan lagi puncak Himalaya dari jarak 200 km untuk pertama kalinya dalam 30 tahun karena selama ini tertutup polusi. Tingkat polusi di negara industri seperti China juga turun. Kabut asap yang menutupi langit China menghilang. Di Jakarta beberapa waktu lalu juga kita bisa menyaksikan langit kembali biru. Kondisi itu memperlihatkan aktivitas ekonomi sebelum Covid-19 atau era lama itu telah menyebabkan polusi lingkungan akut.

Dari dua aspek itu, kita bisa melihat bahwa tatanan kehidupan sebelum Covid-19 berdasarkan sistem ekonomi yang rapuh dan merusak lingkungan. Di masa new normal , kita mengharapkan sistem ekonomi yang kuat dan mampu beradaptasi dengan kondisi pandemi serta kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, perlu dicermati apa yang baru dalam era new normal . Dalam pengumuman pemerintah, aspek utama dalam pemberlakuan new normal adalah pelaksanaan protokol kesehatan seperti kewajiban memakai masker, menjaga jarak, dan cuci tangan demi mencegah penularan Covid-19. Padahal, protokol kesehatan tersebut seharusnya telah kita lakukan sebelum pandemi Covid-19. Di kota padat, seperti Jakarta dengan tingkat polusi udara berada di zona merah, memakai masker semestinya menjadi keseharian. Hal itu sudah banyak dilakukan masyarakat Jakarta sehari-hari. Sementara, menjaga jarak semestinya juga telah dilakukan untuk menjaga kenyamanan. Tidak adanya kewajiban menjaga jarak di dalam KRL Commuter Line Jabodetabek menjadi contoh betapa tidak nyamannya transportasi publik. Sedangkan, cuci tangan semestinya menjadi keseharian demi kesehatan. Jika bagi pemerintah new normal adalah memakai masker, jaga jarak, dan cuci tangan maka itu bukan hal baru, tetapi hanya hal-hal yang semestinya kita lakukan tetapi tidak dilakukan.

Hal kedua yang patut dicermati dalam kebaruan di new normal adalah pelaksanaannya. Demi membuat rakyat mematuhi protokol kesehatan, pemerintah akan menerjunkan TNI, Polri, dan Satpol PP setempat. Rakyat diasumsikan tidak disiplin sehingga perlu melibatkan aparat untuk pendisiplinan mematuhi protokol kesehatan. Asumsi itu jelas menegasikan kondisi sebenarnya dari new normal yang telah disinggung dalam pembahasan pertama bahawa kita hanya kembali pada sistem lama dengan tambahan protokol kesehatan yang tidak ada baru-barunya. Tidak ada perubahan sistem baru yang membuat masyarakat harus beradaptasi dengan disiplin, tetapi hanya hidup dengan kondisi bahwa saat ini ada virus Covid-19 mengintai kesehatan.

Jika masa pandemi Covid-19 ini kita menerapkan sistem baru, maka di aspek ketenagakerjaan, semestinya ada perubahan drastis yang perlu adaptasi. Misalnya, selama pandemi Covid-19, kita mengenal istilah kerja dari rumah atau work from home (WFH) maka sistem ekonomi yang berubah semestinya beradaptasi dengan kondisi itu. Perubahan itu akan menghasilkan model-model ekonomi baru yang tidak hanya kuat bertahan saat pandemi, tetapi juga mampu memberi kepastian pekerjaan yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Perubahan itu menuntut dukungan ekosistem  dari pemerintah misalnya dari hal kecil saja, internet cepat berkualitas di seluruh pelosok Indonesia. Jika hanya membuka aktivitas ekonomi tanpa perubahan model bisnis yang manusiawi dan berkeadilan, apanya yang baru dari new normal ?

Saat aktivitas ekonomi hanya kembali pada sistem lama, maka kita juga akan menghadapi kembalinya kemacetan dan polusi udara. Kondisi itu yang meskipun tidak ada Covid-19, memaksa kita memakai masker. Tidak ada upaya untuk mengubah aktivitas ekonomi yang ramah lingkungan dan membuat udara bersih seperti yang kita rasakan selama pandemi Covid-19. Kita akan kembali menghadapi kepadatan di dalam transportasi publik seperti KRL karena tidak ada sistem transportasi yang diubah. Kita juga harus menghadapi potensi penularan Covid-19 karena harus kembali bekerja dengan sistem ekonomi yang rapuh. Bagaimana kita bisa menjaga jarak saat sistem transportasi tidak diubah dan tidak ada pilihan selain kembali bekerja menghadapi kepadatan itu? Apalah arti memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan saat kembali ke kondisi sebelum pandemi yang sudah kita ketahui bersama kewalahan menghadapi dampak Covid-19. Parahnya lagi, tidak ada perubahan sistem kesehatan yang akan membuat kita tenang dengan kepastian perawatan saat harus kembali ke tatanan hidup lama. Ke depan, kita akan memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan semampunya lalu menyerahkan keselamatan kesehatan pada sistem lama yang bobrok.

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement