Kamis 04 Jun 2020 19:10 WIB

Ahli: Kasus Covid-19 Pada Anak Banyak Asimtomatik

Jika sekolah kembali dibuka maka frekuensi kontak antarsiswa harus diturunkan.

Rep: Inas Widyanuratikah  / Red: Ratna Puspita
[Ilustrasi] Petugas keamanan mencuci tangan di wastafel kreasi sekolah yang menggunakan tenaga surya di SMKN 26 Rawamangun, Jakarta Timur, Sabtu (30/5/2020). Sejumlah persiapan dilakukan SMKN 26 Rawamangun dalam rangka pelayanan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2020 dengan standar protokol pencegahan penyebaran COVID-19.
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
[Ilustrasi] Petugas keamanan mencuci tangan di wastafel kreasi sekolah yang menggunakan tenaga surya di SMKN 26 Rawamangun, Jakarta Timur, Sabtu (30/5/2020). Sejumlah persiapan dilakukan SMKN 26 Rawamangun dalam rangka pelayanan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2020 dengan standar protokol pencegahan penyebaran COVID-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Epidemolog Universitas Padjajaran, Panji Fortuna Hadisoemarto, menilai berdasarkan data infeksi Covid-19 terhadap anak, probabilitas anak tertular relatif rendah. Namun, anak yang tertular Covid-19 berdasarkan data dari China lebih banyak yang asimtomatik. 

"Jadi ini menunjukkan, walaupun (anak) yang dirawat sedikit, tapi yang tidak menunjukkan gejala itu cukup banyak," kata Panji, dalam diskusi daring, Kamis (4/6). 

Baca Juga

Masih berdasarkan data di China, tercatat satu klaster penularan di sebuah pertemuan keluarga. Setelah dikaji, setidaknya di dalam pertemuan keluarga tersebut tercatat dua penularan yang terjadi karena adanya kontak dengan seseorang asimtomatik. 

Terkait dengan kemungkinan dibukanya kembali sekolah, menurut Panji, akan berisiko menyebarkan penularan Covid-19. Khususnya, apabila sekolah tidak mengontrol aktivitas kontak fisik siswa-siswinya. 

Secara proporsional, ia mengatakan risiko anak tertular Covid-19 hingga sakit dan meninggal rendah. Namun, intensitas kontak di sekolah bisa menyebabkan jumlah anak yang sakit hingga meninggal akibat Covid-19 relatif tinggi. 

"Jadi risikonya rendah, tapi karena frekuensinya tinggi, jumlah absolutnya bisa tinggi juga," kata Panji menjelaskan. 

Apabila melihat kembali kasus di China, ia mengatakan, anak kemungkinan melakukan kontak dengan kelompok usia lain. Artinya, anak mungkin tertular dari kelompok usia lain atau bisa menularkan ke kelompok usia lain. 

Selama Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ini, banyak terdapat keluhan. Tidak hanya dari pihak guru atau sekolah, siswa dan siswi pun tidak sabar ingin masuk sekolah kembali. Belum lagi risiko anak semakin tertekan apabila pembelajaran di rumah dilakukan terlalu lama.

Menanggapi hal itu, menurut Panji, yang paling penting adalah bagaimana menurunkan kontak di sekolah. Hal ini tentunya apabila pemerintah akhirnya memutuskan untuk membuka kembali sekolah. 

Peraturan jumlah siswa setiap kelasnya harus diperhitungkan secara matang dengan memikirkan segala risikonya. "Yang paling penting adalah bagaimana kita menurunkan frekuensi kontak di sekolah. Apakah itu mengurangi jumlah anggota kelas atau mengurangi jumlah siswa dalam satu waktu di sekolah," kata dia menegaskan.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement