Kamis 04 Jun 2020 18:25 WIB

Perawatan Pasien Covid-19 di ICU Jadi Tantangan Bagi Nakes

Nakes harus melindungi diri dengan lengkap saat merawat pasien Covid-19 di ICU.

Rep: Farah Noersativa/ Red: Reiny Dwinanda
Seorang dokter mengoperasikan alat bantu pernapasan di ruang ICU Rumah Sakit Pertamina Jaya, Cempaka Putih, Jakarta, Senin (6/4/2020). Risiko tenaga kesehatan untuk tertular Covid-19 dari pasien ICU besar.
Foto: M RISYAL HIDAYAT/ANTARA FOTO
Seorang dokter mengoperasikan alat bantu pernapasan di ruang ICU Rumah Sakit Pertamina Jaya, Cempaka Putih, Jakarta, Senin (6/4/2020). Risiko tenaga kesehatan untuk tertular Covid-19 dari pasien ICU besar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perawatan pasien positif Covid-19 di unit perawatan intensif (ICU) menjadi tantangan tersendiri bagi tenaga kesehatan (nakes). Sebab, virus corona tipe baru (SARS-Cov2) yang menjadi penyebab Covid-19 merupakan virus yang masih hidup dan berpotensi hinggap pada mereka yang setiap hari merawat pasien di rumah sakit.

"Perawatan pasien di ICU itu sebenarnya tantangan bagi tenaga kesehatan.  Kenapa? Di ICU, kalau pasien itu positif Covid-19 semua, maka viral load-nya sangat tinggi,” ujar pakar bidang perawatan intensif dr Bambang Wahjuprajitno SpAn KIC saat berbicara dalam webinar “Together We Fight Covid-19” yang digagas Betadine, beberapa waktu lalu.

Baca Juga

Bambang mengatakan, pasien di ICU memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap tenaga kesehatan. Oleh karenanya, suka-tidak suka dan mau-tidak mau, tenaga kesehatan harus berinteraksi dalam jarak yang sangat dekat dengan pasien hingga memungkinkan penularan virus.

"Maka dari itu, mereka harus menggunakan alat pelindung diri (APD) sepanjang waktu," jelas Bambang.

Saat menggunakan APD, menurut Bambang, tenaga kesehatan akan memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti makan, minum, atau ke toilet. Mereka harus keluar ruangan dan melepas APD dengan benar sebelum bisa makan, minum, dan ke toilet. Ketika akan bekerja kembali, mereka harus mengenakan lagi APD dengan benar.

Menurut Bambang, kondisi seperti itu menjadi sebuah beban baik secara mental maupun fisik bagi tenaga kesehatan. Selain berhadapan dengandengan infeksi yang mungkin fatal bagi keselamatannya, masih ada tugas lain, yaitu administrasi.

"Semua yang terjadi pada pasien harus dicatat dalam medical record. Data itu diperlukan untuk BPJS. Ini memperberat pekerjaan mereka," jelas dia.

Bambang mengatakan, pemakaian APD lengkap mungkin memang terlihat keren. Namun, sebenarnya, para tenaga kerja merasa sangat tak nyaman dalam memakainya.

"Amat melelahkan mengenakannya, sebab baju APD memiliki sifat tidak tembus air hingga mengakibatkan suasana kedap dan panas di dalam," ungkap Bambang.

Mengutip studi dari Massachusetts Institute of Technoloy (MIT), Bambang mengungkapkan kecepatan lontaran tertinggi dari orang yang batuk atau bersin bisa mencapai 10 hingga 30 meter per detik. Jarak yang dicapai pun bisa mencapai tujuh meter hingga delapan meter.

“Padahal, jaga jarak yang disarankan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) itu hanya 1,5 meter, bahkan masker N95 itu tidak dites terhadap potensi emisi respirasi seperti ini,” jelas dia.

Bambang mengatakan, pemakaian APD yang lengkap, termasuk masker N95, tidak menjamin seseorang bisa terbebas dari potensi droplet. Ia pun menganggap perlu dilakukan pencegahan yang optimal, termasuk jaga jarak dan menghindari terlalu lama di ICU.

“Ibaratnya, jika kita memiliki tentara untuk perang, lengkapilah mereka dengan peralatan APD yang lengkap. Mereka harus dilindungi dengan berilah peralatan yang sesuai. Cegahlah jangan sampai mereka terinfeksi,” jelas dia.

Perlindungan itu, menurut Bambang, termasuk pemberian povidone-iodine (PVP-I) sebagai bagian dari perlengkapan APD dan tindakan higienis. Penggunaan PVP-I diperlukan untuk pencegahan agar virus yang masuk ke tenggorokan dan lubang hidung tak bisa berkembang lama di tubuh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement