Ahad 07 Jun 2020 01:54 WIB

Anakku, Jangan Pilih Jadi Atlet

Banyak orang yang melihat atlet hanya pada ujungnya saja saat meraih prestasi tinggi.

Endro Yuwanto
Foto: Republika/Daan Yahya
Endro Yuwanto

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Endro Yuwanto *)

Bukan Taufik Hidayat namanya kalau tak memunculkan kontroversi di balik segala prestasi. Kontroversi kembali dicuatkan mantan pebulu tangkis Indonesia itu pada pertengahan Mei 2020 lalu dalam Youtube Deddy Corbuzier.

Taufik dengan tegas tak menginginkan anaknya mengikuti jejaknya sebagai atlet bulu tangkis. Mantan atlet yang pernah menjadi juara dunia dan olimpiade itu membeberkan alasan mengapa tak mau anaknya menjadi atlet. Ia menilai atlet adalah profesi yang gambling.

Selama ini, bagi Taufik banyak orang yang melihat atlet hanya pada ujungnya saja saat meraih prestasi tinggi, tanpa melihat proses yang harus dijalani. Dari 100 orang atlet, Taufik memperkirakan sudah bagus jika ada lima orang yang sukses dan kemudian kaya.

Belum lagi di olahraga ada batas waktu untuk mencapai puncaknya, sekitar usia 20 tahunan. Beban seorang atlet akan kian besar jika ia menyandang nama besar orang tuanya yang lebih dulu sukses menjadi atlet. Itulah yang menjadikan alasan Taufik tak menginginkan anaknya menjadi atlet, khususnya di bulu tangkis.

Taufik tentu saja tak bisa disalahkan. Profesi menjadi pebulu tangkis atau umumnya menjadi atlet memang tak bisa bertahan lama. Ketika usia makin senja, seorang pebulu tangkis cepat atau lambat pasti akan memutuskan gantung raket.

Tidak sedikit pebulu tangkus Indonesia yang berhasil mendulang kemenangan di ajang olahraga internasional dan mengharumkan nama bangsa, tak berhasil melewati masa pensiunnya dengan baik. Ada juga yang kehidupannya biasa saja, bahkan terbilang sulit.

Masa pensiun memang menjadi momok bagi sebagian besar atlet. Tak sedikit yang jatuh, bahkan bangkrut, setelah masa edarnya sebagai atlet berakhir. Padahal jelas sekali, sejak kecil, para atlet sudah wajib menjalani latihan intensif yang menyita waktu, tenaga, pikiran, hingga biaya.

Sekalipun pada masa kejayaannya seorang atlet menyabet sederet medali dan trofi, setelah pensiun bisa saja justru kelimpungan mencari kerja. Demi menyambung hidup, profesi apa pun dilakoni. Contoh kasus seperti ini sudah banyak.

Ada Yuni Astuti, seorang mantan atlet bulu tangkis yang pernah meraih juara pertama pada ganda putri PON 1986 di Jakarta. Ia harus mundur dari dunia bulu tangkis setelah mengalami cedera kaki. Setelah gantung raket, Tuti harus kerja serabutan hingga jadi pengamen dengan hidup serba pas-pasan. Atau pahlawan Piala Uber 1975,  Tati Sumirah. Setelah gantung raket pada 1982, Tati hidup dari melatih bulu tangkis lalu bekerja di sebuah apotek di Jakarta Selatan. Tati wafat pada Februari 2020 lalu.

Tidak hanya Tuti dan Tati yang hidup memprihatinkan setelah berjuang mati-matian membela dan mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional. Masih ada banyak lagi mantan pubulu tangkis Indonesia lainnya yang mungkin sampai sekarang belum terekspose. Tidak sedikit dari mereka yang berharap ada bantuan dari pemerintah agar masa tuanya dapat sedikit tercukupi.

Demi menyambung hidup, saat memasuki masa pensiun, banyak pebulu tangkis yang akhirnya beralih profesi menjadi pelatih. Sambil mencari nafkah, para pelatih ini mencoba menularkan pengalaman di lapangan kepada para pebulu tangkis lainnya.

Namun entah kepedulian yang kurang dari induk olahraga atau pemerintah, atau ada alasan lainnya, sejumlah mantan pebulu tangkis hebat Indonesia justru melatih di mancanegara. Sebut saja nama-nama seperti Hendrawan yang melatih di Malaysia, Flandy Limpele di India, Rexy Mainaky di Thailand, dan Tony Wahyudi di Sri Lanka. Bahkan saat masih aktif bermain, sudah ada pebulu tangkis Indonesia yang memilih membela negara lain, seperti Halim Haryanto dan Tony Gunawan yang membela Amerika Serikat.

Lantas dengan segala keterbatasan seorang atlet saat pensiun, apakah bijak sebagai orang tua menyarankan sang buah hati untuk tidak menjadi atlet? Jawabannya tentu berpulang pada orang tua masing-masing. Jika anak memang bertalenta dan punya kemauan keras untuk mewujudkannya, sebenarnya tak masalah bagi orang tua untuk memberikan jalan.

Apalagi, saat ini para atlet Indonesia yang berhasil mengharumkan nama bangsa sudah mendapatkan bonus dan fasilitas yang sangat menggiurkan. Hal tersebut tentu layak didapatkan para atlet mengingat perjuangannya yang sama sekali tidak mudah. Pemerintah pun lewat Menteri Pemuda dan Olahraga, Zainudin Amali, pada tahun ini sudah menyatakan memerhatikan atlet yang sudah pensiun tak kalah pentingnya.

Pernyataan Zainudin ini seperti angin segar bagi siapa saja yang sedang merintis jalan menjadi seorang atlet. Namun harus diingat pula, setiap ganti rezim seringkali ganti kebijakan. Tak usah terlalu mempedulikannya. Percaya saja dengan tekad, kerja keras, dan doa, masa depan seseorang dan tentu saja seorang atlet masih tetap bisa diperjuangkan. Semoga.

*) Jurnalis Republika Online

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement