Kamis 04 Jun 2020 07:10 WIB

Perilaku Rasialisme, Bagaimana Hukumnya dalam Syariat?

Hukum dari Allah itu adil, proporsional, dan tidak mengenal vested interest.

Rep: Andrian Saputra/ Red: A.Syalaby Ichsan
 Warga Australia ikut serta dalam aksi unjuk rasa memprotes kematian warga kulit hitam Amerika Serikat George Floyd di tangan polisi Minneapolis, di Sidney, Selasa (2/5).
Foto: EPA-EFE/JAMES GOURLEY
Warga Australia ikut serta dalam aksi unjuk rasa memprotes kematian warga kulit hitam Amerika Serikat George Floyd di tangan polisi Minneapolis, di Sidney, Selasa (2/5).

REPUBLIKA.CO.ID, Isu rasisme berkembang di Amerika Serikat setelah terbunuhnya seorang pria kulit hitam Afrika-Amerika, George Floyd, oleh aparat kepolisian Minneapolis. Kematian Floyd sempat memantik protes warga Amerika khususnya warga kulit hitam yang menilai adanya diskriminasi hukum. Lalu, bagaimana Islam membahas rasisme dan diskriminasi hukum karena perbedaan ras? 

Ketua Majelis Tabligh Pengurus Pusat Muhammadiyah, Ustadz Fathurrahman Kamal, menjelaskan, di antara manifestasi dari karakter Islam rabani adalah memastikan bahwa hukum yang bersumber dari Allah itu adil, proporsional, dan tidak mengenal vested interest atau kepentingan kuat, baik kelompok, ras, maupun agama. 

"Sebab, Allah yang menurunkan hukum syariat ini bebas dari segala kepentingan apa pun, selain mewujudkan maslahat dan menjauhkan mudarat bagi umat manusia secara universal. Inilah asas bagi seluruh risalah samawiyah dan kenabian," tutur Ustadz Fathurrahman kepada Republika

Dalam surat al-Hadid ayat 25 dapat ditemukan keterangan tentang diutusnya Rasul dengan kitab yang diberikan Allah agar manusia dapat melaksanakan keadilan. Menurut Ustadz Fathurrahman, hal itu menjadi pijakan Rasulullah dalam mengelola kebinekaan masyarakat Madinah yang kosmopolitan. 

"Dalam konteks kemanusiaan, Rasulullah tidak membeda-bedakan Muslim dan non-Muslim. Semua menjunjung tinggi common platform yang telah disepakati. Lihat klausal-klausal yang tertera pada Piagam Madinah. Keadilan dijunjung tinggi. Hidup egaliter menjadi nuansa keseharian sehingga dapat dinyatakan bahwa pernak-pernik peradaban kosmopolitan dan universal ini hanya dapat dicapai oleh Islam, mengungguli peradaban-peradaban besar lainnya di dunia," kata dia. 

Selain itu, Rasulullah telah menegaskan bahwa kehancuran umat terdahulu karena mempermainkan keadilan. Padahal, menurut Ustadz Fathurrahman, keadilan meletakkan manusia sejajar tanpa memandang status dan jabatan. 

Sebagaimana sikap yang ditunjukkan Rasul ketika menghadapi kasus pencurian yang dilakukan seorang wanita bangsawan Arab dari suku Makhzumiyah. Ustadz Fathurrahman menjelaskan, kala itu masyarakat Quraisy bersepakat agar Usamah bin Zaid--yang memiliki kedekatan dengan Rasul--melobi Rasul untuk tidak menjatuhkan hukuman hudud kepada perempuan terhormat dari suku Makhzumiyah itu.

Secara sosiologis dalam pandangan masyarakat Quraisy kala itu tidak etis menghukum keluarga bangsawan. Namun demikian, Rasulullah memberi peringatan terhadap Usamah yang meminta dispensasi atas hukuman yang telah ditetapkan Allah. 

Kisah yang dapat ditemukan dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim itu juga menjelaskan bahwa Rasulullah dalam pidatonya menerangkan tentang celakanya umat terdahulu karena tidak menjatuhkan hukuman pada bangsawan yang mencuri, sementara bila masyarakat biasa yang mencuri hukuman pun dijatuhkan. Rasul juga menegaskan bahwa bila putrinya, yakni Fatimah binti Muhammad, mencuri, Rasullulah siap untuk memotong tangan putrinya sendiri. 

Sementara itu, menurut Ustadz Fathurrahman, dalam berinteraksi dan memperlakukan non-Muslim, Nabi mengajarkan untuk menjaga kehormatan non-Muslim. Rasul menegaskan, siapa yang menzalimi mu'ahad (non-Muslim yang terikat perjanjian konstitusional), merendahkan kehormatannya, membebaninya di atas kemampuannya, atau mengambil sesuatu darinya tanpa keridhaan darinya, orang tersebut akan berhadapan dengan Rasulullah pada hari kiamat. 

Ustadz Fathurrahman menjelaskan bahwa dalam pandangan Islam, manusia secara universal dari sudut pandang penciptaannya memiliki kemuliaan, apa pun ras, warna kulit, suku, bangsa, termasuk agamanya. Maka dari itu, menurut dia, hak kemuliaan sebagai manusia ciptaan Allah wajib untuk dilindungi dan dipelihara, kecuali dengan pelanggaran yang telah ditentukan dalam syariat Islam.

Menurut Ustadz Fathurrahman, dalam Islam penciptaan manusia dari satu keturunan, berbangsa, dan bersuku-suku agar saling mengenal  potensi masing-masing dan memanfaatkan keragaman tersebut untuk kemaslahatan hidup. 

"Bahwa Alquran merestui pengelompokan berdasarkan keturunan, selama tidak  menimbulkan perpecahan, bahkan mendukungnya demi mencapai kemaslahatan bersama. Yang terpenting lagi, keragaman suku bangsa dan ras manusia tidak menjadi tolok ukur kemuliaan seorang manusia," tutur dia.

Sebagaimana ditegaskan dalam hadits riwayat Ahmad yang menjelaskan bahwa tidak ada keutamaan bagi orang Arab di atas orang Ajam (non-Arab), tidak ada keutamaan bagi orang Ajam di atas orang Arab, juga tidak ada kemuliaan bagi yang berkulit merah di atas yang berkulit hitam atau bagi yang berkulit hitam di atas yang berkulit merah kecuali dengan sebab ketakwaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement