Selasa 02 Jun 2020 22:09 WIB

Meneladani Sifat Rahmah Rasulullah

Rasulullah menegaskan kerasulannya sebagai rahmat.

Meneladani Sifat Rahmah Rasulullah
Foto: Prayogi/Republika
Meneladani Sifat Rahmah Rasulullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fakta kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini menggambarkan adanya problem mendasar dalam kehidupan manusia. Yaitu, manusia pelaku tindak kekerasan, yang melakukan tindakannya dengan cara mencari legitimasi dari ajaran agama, budaya, maupun tata nilai, norma, dan aturan yang cenderung merasionalisasi pembenaran tindakannya.

Tulisan ini berusaha mencari solusi untuk mengatasi tindak kekerasan dengan cara meneladani salah satu sifat dan kepribadian Rasulullah saw. Dalam sebuah riwayat ditegaskan: Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dia berkata, kepada Rasulullah dikatakan, ”Berdoalah untuk keburukan orang-orang musyrik!” Beliau menjawab, ”Saya diutus tidak untuk menjadi pelaknat. Saya diutus hanyalah untuk menjadi rahmat.” (HR. Muslim).

Baca Juga

Dalam Hadits tersebut Rasulullah saw telah menegaskan bahwa kerasulannya sebagai rahmat, bukan sebagai laknat. Rasul diutus hanya untuk menebarkan rahmah yang akan mewujudkan kenikmatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kepribadian Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul Allah yang terakhir, baik itu ucapan, perbuatan, sikap, dan seluruh totalitas beliau adalah ”rahmat”.

Kepribadian ”rahmah” yang melekat dalam diri Nabi, tampak dalam kelembutan, bukan sifat kasar dan keras, yang merupakan salah satu faktor fundamental dari keberhasilan kepemimpinan Rasulullah yang diikuti umatnya. Kepribadian rahmah dalam diri Nabi saw merupakan anugrah dari Allah SwT sebagai penopang misi kenabiannya. Hal ini diisyaratkan Allah dalam Qs. Ali Imran [3] ayat 159:

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah de – ngan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.(Q.s. Ali Imran [3]:159).

Ayat tersebut menuntunkan keagungan akhlak Nabi yang dihiasi dengan sikap lemah lembut, lapang dada, dengan kesiapan memberi maaf dan memintakan maaf, musyawarah, dan tawakkal yang semuanya bermuara dari rahmah Allah.

Sifat rahmah Nabi saw termasuk di antara misi risalah Islam yang utama, yaitu sebagai menjadi rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil-’alamin) agar manusia bisa hidup antara sesama dengan penuh kecintaan, kedamaian serta kesejahteraan. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya’ [21] ayat 107:

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Q.s. Al-Anbiya’ [21]: 107).

Dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa Islam agama rahmah. Apa hakekat ”rahmah”? Menurut Al-Isfahani dalam Mu’jam Mufahrasy al-Alfazul Qur’an, rahmah adalah riqqah taqtadli al-ihsan ila al-marhum, yaitu perasaan halus (kasih) yang mendorong memberikan kebaikan kepada yang dikasihi. Rahmah memuat dua makna yang mendasar, yaitu kehalusan, kelembutan, kasih sayang dan memberikan kebaikan secara nyata.

Implementasi

Membudayakan sifat rahmah, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan bernegara, menjadi salah satu bentuk solusi antisipatif ketika tradisi kekerasan di negeri telah menjadi fenomena yang sering terjadi. Allah telah menuntunkan bahasa rahmah dalam Al-Qur’an dalam berbagai keadaan dan kepentingan.

Ada lima bahasa rahmah, yaitu ”qaulan layyinan” – Perkataan yang lemah lembut -(Thaha [20]: 4), ”qaulan baliighan” – perkataan yang membekas dalam jiwa- (Qs. An-Nisa’ [4]: 63), ”qaulan maisuran” – perkataan yang pantas- (Qs. Al-Isra’ [17]: 28), ”qaulan kariiman” – perkataan yang mulia- (Qs. Al-Isra’ [17]: 23), dan ”qaulan sadiidan” – perkataan yang benar- (Qs. Al-Ahzab [33]: 70-71).

Implementasi ayat-ayat tersebut mengisyaratkan budaya pola komunikasi rahmah dalam berbagai situasi dan keadaan. Ketika menghadapi anggota keluarga, masyarakat atau kelompok lain yang memiliki sifat keras, kasar, bahkan menentang, maka perlu disikapi dengan ”qaulan-layyinan”, seperti ketika Nabi Musa menghadapi Fir’aun. Dalam menghadapi anggota keluarga, masyarakat atau kelompok lain yang masih ragu terhadap kebijakan kita, maka ”qaulan baliighan” – perkataan yang membekas dalam jiwa- tepat untuk diterapkan.

Kepada mereka yang memerlukan perhatian, memiliki kelemahan, kekurangan, maka kita perlu menerapkan ”qaulan maisuran” – perkataan yang pantas. Kepada orangtua dan anak-anak kita perlu menggunakan bahasa ”qaulan kariiman” – perkataan yang mulia- . Adapun untuk memberitahukan halhal yang penting digunakan ”qaulan sadiidan” – perkataan yang benar- yaitu perkataan yang lurus atau benar, logis, memenuhi sasaran, dilandasi takwa dan ketaatan pada Allah dan Rasul, sehingga akan membuahkan amalan salihah, dan mendapatkan keberuntungan serta kesuksesan.

Harus kita sadari fenomena kekerasan, seperti kekerasan dalam kehidupan keluarga (KDRT), kekerasan terhadap perempuan (KTP), kekerasan dalam masyarakat, maupun kekerasan struktural, yang terjadi karena kebijakan pemerintah dalam melayani masyarakat. Sederet peristiwa kekerasan terjadi setiap hari, menghiasi berita media cetak maupun elektronik, serta yang dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Rangkaian peristiwa kekerasan tersebut tentu akan dapat diantisipasi manakala kita bisa meneladani sifat rahmah Nabi saw yang telah terbukti sukses dalam menjalankan kepemimpinannya.

 

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement