Selasa 02 Jun 2020 08:15 WIB

PBB Minta Aparat AS Tahan Diri Tangani Demonstran

Aparat AS dinilai gunakan kekuatan berlebihan dalam menangani massa.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Friska Yolandha
Seorang pembicara berpidato di hadapan para pengunjuk rasa di tangga City Hall selama rapat umum hari Minggu, 31 Mei 2020, di Savannah, Ga., Mengenai kematian George Floyd dan yang lainnya. Floyd meninggal pada 25 Mei setelah ia dijepit di leher oleh seorang petugas kepolisian Minneapolis.
Foto: AP/Stephen B. Morton/Atlanta Journal-Constitu
Seorang pembicara berpidato di hadapan para pengunjuk rasa di tangga City Hall selama rapat umum hari Minggu, 31 Mei 2020, di Savannah, Ga., Mengenai kematian George Floyd dan yang lainnya. Floyd meninggal pada 25 Mei setelah ia dijepit di leher oleh seorang petugas kepolisian Minneapolis.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres meminta aparat keamanan Amerika Serikat (AS) menahan diri dalam merespons gelombang demonstrasi mengecam kematian pria Afrika-Amerika, George Floyd. Menurutnya, seruan dan keluhan massa pun harus didengar.

"Keluhan-keluhan harus didengar, tapi mereka harus diungkapkan dengan cara damai. Dan pihak berwenang harus menunjukkan penahanan diri dalam merespons demonstran," kata juru bicara Guterres, Stephane Dujarric, pada Senin (1/6).

Baca Juga

Dia turut mengomentari laporan yang menyebut bahwa aparat keamanan AS menggunakan kekuatan berlebihan dalam menangani massa. Menurutnya hal itu harus diselidiki. 

photo
Polisi bergerak ke arah pengunjuk rasa di Interstate 35W selama hari keenam demonstrasi atas penangkapan George Floyd, yang kemudian meninggal dalam tahanan polisi, di St Paul, Minnesota, AS, 31 Mei 2020. Sebuah video pengamat yang diposting online pada 25 Mei, menunjukkan George Floyd memohon kepada petugas yang menangkap bahwa dia tidak bisa bernapas ketika seorang petugas berlutut di lehernya - (EPA-EFE/CRAIG LASSIG)

"Kami selalu mengatakan bahwa pasukan polisi di seluruh dunia perlu memiliki pelatihan hak asasi manusia (HAM) yang memadai dan juga perlu ada investasi dalam dukungan sosial serta psikologis untuk polisi sehingga mereka dapat melakukan pekerjaan dengan baik," ucapnya.

Aksi demonstrasi mengecam kematian George Floyd telah menyebar ke sejumlah wilayah di AS. Setidaknya 40 kota dilaporkan telah memberlakukan jam malam menyusul terjadinya kerusuhan, penjarahan, serta bentrokan antara massa dan personel kepolisian.

Aksi protes yang telah berlangsung selama sepekan itu sempat membuat Presiden AS Donald Trump diungsikan ke bunker di Gedung Putih. Massa diketahui turut berdemo di depan gedung tersebut sejak Jumat pekan lalu. Mereka sesekali terlibat bentrok dengan aparat keamanan.

George Floyd tewas pada 25 Mei lalu. Floyd ditangkap setelah adanya laporan bahwa dia melakukan pembayaran dengan uang palsu. Dalam panggilan terhadap polisi, pelapor menyebut Floyd sangat mabuk dan tidak bisa mengendalikan dirinya.

photo
Monumen Perang Sipil di Denver membawa tanda-tanda perusuh ketika protes hari keempat berlangsung di luar State Capitol, Minggu, 31 Mei 2020, atas kematian George Floyd yang meninggal setelah ditahan oleh petugas kepolisian Minneapolis pada 25 Mei. - (David Zalubowski/AP)

Saat ditangkap di tepi sebuah jalan di Minneapolis, empat polisi menelungkupkan Floyd ke aspal. Petugas kulit putih bernama Derek Chauvin kemudian memiting leher Floyd menggunakan lututnya.

Dalam video yang viral di media sosial, Floyd tampak mengerang kesakitan. Floyd meminta tolong kepada Chauvin agar mengangkat lututnya karena dia tidak bisa bernapas. 

"Saya tidak bisa bernapas, saya tidak bisa bernapas, tolong," kata Floyd.

Namun Chauvin tak menggubrisnya. Setelah sekitar sembilan menit lehernya ditindih menggunakan lutut, Floyd terkulai lemas. Dia tewas saat dibawa ke rumah sakit. Kejadian itu segera memantik kemarahan masyarakat Minneapolis, terutama komunitas Afrika-Amerika. Demonstrasi dengan cepat meluas ke sejumlah wilayah AS. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement