Selasa 02 Jun 2020 06:55 WIB

Din: Pemakzulan Dapat Dilakukan Jika...

Berdasarkan pendapat teoretikus politik Islam, pemakzulan pemimpin mungkin dilakukan.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Agus Yulianto
 Din Syamsudin
Foto: Republika TV/Surya Dinata
Din Syamsudin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Webinar nasional bertema "Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19" digelar Senin (1/6). Webinar tersebut digelar oleh Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama) dan Kolegium Jurist Institute (KJI).

Dalam kesempatan itu, dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Din Syamsuddin, menyebutkan, berdasarkan pendapat beberapa teoretikus politik Islam, pemakzulan pemimpin mungkin dilakukan. Pemakzulan dapat dilakukan jika telah ada beberapa kriteria di antaranya adanya ketidakadilan dan ketiadaan ilmu pengetahuan, kerendahan, dan kelangkaan visi.

"Di dalam pendapat beberapa teoretikus politik Islam, yang mungkin ingin saya kutip umpamanya al-Mawardi yang sangat terkenal itu, pemakzulan imam, pemimpin, itu mungkin dilakukan jika syarat-syaratnya sudah tertanggalkan," ujar Din dalam diskusi daring bersama Mahutama dan KJI, Senin (1/6).

Din menjelaskan, hal pertama yang dapat membuat suatu imam atau pemimpin dimakzulkan menurut al-Mawardi ialah adanya ketidakadilan. Beberapa contohnya jika pemimpin tidak berlaku adil, tidak mampu menciptakan keadilan dalam masyarakatnya, hanya menciptakan suatu kelompok yang lebih kaya daripada yang lain, menyebabkan kesenjangan sosial.

 

"Katakanlah indikatornya gini indeks dalam sebuah negara, ini sangat asasi sekali. Karena itu adalah syarat utama dari seorang pemimpin. Maka, jika itu berkurang atau hilang, itu syarat sudah dapat dilakukan pemakzulan," kata dia.

Kemudian, hal kedua ialah jika terjadi ketiadaan ilmu pengetahuan, kerendahan, dan kelangkaan visi dari seorang pemimpin. Visi yang ia sebut dalam konteks ini ialah cita-cita hidup berbangsa dan bernegara. Dalam konteks negara modern, menurut dia, visi tersebut merupakan cita-cita nasional suatu bangsa. Indonesia ia sebut memiliki visi menjadi negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

"Kalau ada pembukaman kampus, pembungkaman kegiatan akademik, pemberangusan mimbar akademik, itu sebenarnya bertentangan secara esensial dengan mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena praktik-praktik sebaliknya adalah pembodohan kehidupan bangsa," kata dia.

Syarat ketiga adalah seorang pemimpin di sebuah negara mengalami kehilangan kewibawaan karena kehilangan dan kekurangan kemampuan untuk memimpin, terutama di dalam situasi kritis. Menurut Din, seorang pemimpin akan dilihat kepemimpinannya pada masa kritis.

Selain mengutip dari al-Mawardi, Din juga mengutip pendapat filsuf Islam, Imam al-Ghazali. Menurut dia, Imam al-Ghazali juga memungkinkan adanya pemakzulan seorang pemimpin dengan syarat yang kurang lebih sama, yakni jika terjadi ketidakadilan atau kezaliman yang dilakukan oleh seorang pemimpin.

"Ketidakadilan atau kezaliman, terutama orientasi represif, dicatorship," kata dosen Pemikiran Politik Islam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tersebut.

Din melihat kehidupan kenegaraan di Indonesia saat ini tengah membangun situasi demikian. Ia melihat adanya kediktatoran konstitusional, kediktatoran yang bersemayam di balik konstitusi.

Ia pun mengambil beberapa contoh kasus yang mendukung pandangannya tersebut. "Seperti ada produk perppu jadi undang-undang dan sejumlah kebijakan-kebijakan lain," ungkap mantan ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu.

Ia kemudian mengutip pemikir Islam lainnya, yakni Rasyid Ridho. Ia menerangkan, Rasyid Ridho bahkan menyerukan kepada rakyat untuk melawan pemimpin yang zalim, tidak adil, dan membahayakan kehidupan bersama seperti melanggar konstitusi negara.

"Sekarang kita lihat kehidupan nasional kita mengalami deviasi, distorsi, dan disorientasi dari nilai-nilai dasar itu," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement