Senin 01 Jun 2020 17:04 WIB

Pancasila dan Syariat Islam Perlukah Selalu Gaduh?

Pancasila dan syariat Islam

  Soekarno keluarkan dekrit presiden 5 Juli 1959
Foto: Arni
Soekarno keluarkan dekrit presiden 5 Juli 1959

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Lukman Hakiem, Peminat Sejarah, mantan staf ahli Wapres Hamzah Haz dan M Natsir, mantan anggora DPR.



Ketika disadari, baik gagasan menjadikan Pancasila, maupun Islam, sebagai dasar negara sama-sama tidak mampu mengumpulkan dukungan dua pertiga suara di Konstituante sebagai majelis pembentuk Undang-Undang Dasar, jalan kompromi menjadi satu-satunya pilihan.

Pada rapat paripurna ke-59, 11 November 1957, Konsituante membentuk Panitia Perumus Dasar Negara yang terdiri atas 18 anggota, mewakili semua kelompok politik di dalam Konstituante. Pada rapat paripurna 6 Desember 1957, Panitia melaporkan lima kesimpulan penting.

Pada butir (f) kesimpulan penting ketiga, dilaporkan usul kongkrit perumusan kompromi Dasar Negara Republik Indonesia sebagai berikut: “Negara Republik Indonesia berdasarkan atas kehendak menyusun masyarakat yang sosialistik, yang ber-Tuhan Yang Maha Esa dengan pengertian bahwa akan terjaminlah keadilan sosial yang wajar dan kemakmuran yang merata dengan dirahmati oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang menurut Islam, Kristen, Katolik, dan lain agama yang berada di tanah air kita.

Dasar-dasar negara selanjutnya ialah Persatuan Bangsa yang diwujudkan dengan sifat gotong royong, Perikemanusiaan, Kebangsaan, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.”
Titik Kulminasi

Sesudah gagasan dasar negara Pancasila dan Islam tidak memperoleh dukungan yang cukup, para anggota Konstituante bersepakat untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Pihak Islam melalui amandemen KH Masjkur (Partai Nahdlatul Ulama) menghendaki Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dijadikan Pembukaan; sedang pihak Pancasila menghendaki Pembukaan yang digunakan ialah yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Lagi-lagi ketika dilakukan pemungutan suara, tidak ada yang memperoleh dukungan dua pertiga suara.

Wakil Ketua Konstituante Prawoto Mangkusasmito mencatat, inilah titik kulminasi pekerjaan Konstituante yang terjadi dalam rapat Panitia Persiapan Konstitusi (Badan Pekerja Konstitusi), 9 Februari 1959. Menurut Prawoto, tidaklah berlebihan jika peristiwa tanggal 9 Februari di Konstituante dihubungkan dengan peristiwa 19 Februari 1959 ketika rapat Dewan Menteri –yang di dalamnya duduk hampir semua wakil partai politik—dengan suara bulat memutuskan untuk melaksanakan prinsip Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke Undang-Undang Dasar 1945.

Rumusan angka Romawi I tentang Undang-Undang Dasar 1945 butir 9, Putusan Dewan Menteri mengenai Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam Rangka Kembali ke Undang-Undang Dasar 1946, berbunyi sebagai berikut: “Untuk mendekati hasrat golongan-golongan Islam, berhubung dengan penyelesaian dan pemeliharaan keamanan, diakui adanya Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 yang ditandatangani oleh Soekarno, Moh Hatta, AA Maramis, Abikoesno Tjokrosujoso, AK Muzakkir, Agus Salim, A. Subardjo, Wahid Hasjim, dan Muh Yamin.”

Sehubungan dengan rencana Pemerintah untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, sembilan belas anggota parlemen, mengajukan pertanyaan kepada Perdana Menteri Djuanda. Di antara 19 anggota parlemen itu, Anwar Harjono (Masyumi), dan Ahmad Sjaichu (NU) secara khusus menekankan pertanyaan tertulisnya kepada pengakuan terhadap adanya Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945.


Pertanyaan Anwar Harjono

Pada butir 8, Anwar Harjono mengajukan pertanyaan sebagai berikut: Apakah yang dimaksud dalam Putusan Dewan Menteri Bab I No. 9, dengan: a. Penyelesaian dan pemeliharaan keamanan. b. Pengakuan Piagam Jakarta. 1. Pengakuan itu mempunyai kekuatan Undang-undang Dasar, atau 2. Piagam itu sebagai dokumen historis hanya dipergunakan secara insidentil atas dasar pertimbangan keamanan. c. Pengembalian seluruh potensi nasional, termasuk golongan-golongan Islam, guna dipusatkan kepada penyelesaian keamanan dan pembangunan.

Terhadap pertanyaan Anwar Harjono, Djuanda menjawab sebagai berikut: “Kita sama-sama mengetahui bahwa untuk usaha-usaha pemulihan keamanan sejak akhir 1949, kita mengerahkan banyak dari potensi nasional kita, baik yang berwujud tenaga dan pikiran, maupun perbelanjaan.

“Kita juga sama-sama menginsyafi bahwa penyelesaian dan pemeliharaan keamanan itu sangat diperlukan untuk pembangunan di segala lapangan. “Dengan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, diharapkan agar kita dapat memulihkan potensi nasional kita, setidak-tidaknya memperkuatnya jika dibandingkan dengan masa sesudah akhir 1949.

“Dengan memulihkan, mendekati hasrat golongan-golongan Islam, Pemerintah mengakui pula adanya Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 yang mendahului pembentukan Undang-Undang Dasar 1945. Pengakuan itu jelas tidaklah bersifat insidentil.

“Dalam pada itu, untuk atau setidak-tidaknya memperkuat potensi nasional kita itu, Pemerintah yakin bahwa usaha-usaha penyelesaian keamanan dan pembangunan semesta akan berjalan lebih lancar di masa yang akan datang.
“Walaupun Piagam Jakarta itu tidak merupakan bagian dari Undang-Undang Dasar 1945, di antaranya melihat tanggalnya 22 Juni 1945, tetapi naskah itu sebagai dokumen historis besar artinya bagi perjoangan bangsa Indonesia dan bagi bahan penyusunan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi bagian daripada Konstitusi Proklamasi.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement