Senin 01 Jun 2020 07:47 WIB

85 Tahun Syafii Maarif : Menyapa Lintas Batas Generasi

Sosok pribadi dan intelektualisme Buya sangat tecermin dalam buku-bukunya.

Neni Nur Hayati
Foto: Dokumentasi Pribadi
Neni Nur Hayati

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Neni Nur Hayati* 

Ahmad Syafii Maarif atau yang dikenal Buya Syafii kini berusia delapan puluh lima tahun. Bagi kebanyakan orang, di usia tersebut, adalah saat mana ia harus benar-benar mengkarantina diri sendiri, memaksimalkan pendekatan kepada Tuhan, dan menikmati kasih sayang dari anak cucu. Tetapi, tidak. Alih alih mengkarantina dirinya di rumah saja, Buya malah tetap aktif berbelanja kebutuhan harian dengan bersepeda ontel tuanya.

Di usia senjanya itu, Buya memang fokus mendekatkan diri kepada Tuhan dengan tetap aktif bergerak dan berpikir, menyapa banyak orang dan wara wiri menemui siapa saja untuk sekedar timbang saran dan seterusnya. Semangat Buya seperti kaum milenial. Bagi Buya menua adalah keniscayaan, tetapi menjadi tua, sehat dan selalu produktif dengan karya adalah pilihan.  

Kiprah Buya Syafii Maarif  sudah melampaui batas-batas negara sebagai sebuah institusi politik dan melampaui lintas agama, dimana semua agama dan lembaga-lemabaga agama juga mengakuinya. Buya Syafii memiliki pandangan agar islam yang berkembang di Indonesia adalah islam yang terbuka, inklusif dan memberi solusi pada masalah besar dan negara. Umat Islam harus bermental terbuka, visioner, optimis tidak putus asa dan tidak bermental minoritas.

Pemikiran-pemikiran Buya selalu relevan dalam berbagai konteks  sehingga generasi milenial digiring untuk memiliki perspektif, sikap dan pendirian yang relative sama dengan Buya dalam memotret berbagai dinamikan dan perubahan isu yang terjadi di Indonesia. Buya memberikan pesan agar generasi muda harus menjadi jangkar bagi penyemaian berbagai ide dan gagasan di masyarakat lebih luas.

Buku yang dikarang oleh Buya berjudul “Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara” adalah upaya untuk mengajak anak muda bagaimana menegakkan demokrasi yang sehat. Melalui buku tersebut, Buya menyampaikan bahwa Pancasila adalah rujukan ilmiah tentang konsensus dasar negara. Hasil penelitian yang Buya lakukan mampu menghadirkan lakon perdebatan ideologis-konstitusional yang panas mengenai formula dasar negara yang memaksa para pendiri republik ini untuk menjalani masa-masa sulit dalam sejarah modern Indonesia.

Dalam infrastruktur  intelektual, Buya menampilkan para pendiri bangsa yang memiliki kegigihan untuk membawa Indonesia merdeka dari tangan penjajah. Pertentangan antara keislaman dan keindonesiaan yang muncul dalam fragmentasi sosial,begitu mengemuka dengan munculnya riak-riak mempersoalkan falsafah negara, dengan kokohnya Buya menghadirkan kekuaran arus besar bangsa yang setia pada narasi dasar negara, yakni pancasila.  

Di Mata Kaum Muda

Sosok pribadi dan intelektualisme Buya sangat tecermin dalam buku-buku yang dikarangnya. Di mata kaum perempuan milenial seperti penulis, Buya adalah teladan dan panutan bersama. Sosok sepuh yang mengayomi, hidup dengan kesederhanaan dan kejujuran, jauh dari hedonisme, ultra-konsumerisme dan pragmatisme sosial. Namun, Buya juga seorang demokrat sejati, pluralis, liberalis tapi sangat religious.

Buya seorang budayawan, sejarawan dan negarawan yang tidak diragukan lagi. Hal yang selalu dilakukannya adalah mengutamakan kepentingan kelompok dari pada kepentingan pribadi. Buya selalu menyuarakan keadilan dan kebenaran dengan sangat tegas serta lantang ketika mendapati keresahan yang terjadi, meski kerap dikritik keras, disela, dan bahkan dihujatpun tak pernah menunjukkan amarahnya.

Tapi Buya sangat sabar dan menanggapinya dengan senyum lebar seraya menjawab, "ya sudah biarkan saja". Tatkala banyak sekali hujatan kepadanya karena pikiran dan pernyataannya yang bagi sebagian menudingnya liberal dan menuai kontroversi. Masa sekarang ini, nampaknya kita sangat sulit menemui tokoh besar yang begitu egaliter, humanis, dan demokratis seperti Buya.

Selama Buya menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2000-2005, sikap demokratis dan pengkhidmatannya untuk persyarikatan sungguh sangat luar biasa.  Bahkan hingga kini, Buya masih tetap mengabdi untuk muhammadiyah.

Dalam sebuah acara, penulis ingat betul bahwa Buya pernah menyampaikan tentang semangat toleransi sebagai strategi menjaga persatuan bangsa. Perbedaan adalah keniscayaan. Hal yang perlu dilakukan adalah merajut harmoni di tengah berbagai perbedaan tersebut. Sebab, 20 tahun dan 30 tahun yang akan datang, genarasi milenial yang akan menjadi pemimpin bangsa ini.

Buya menekankan pentingnya kesadaran sejarah bangsa dan filsafat untuk didesiminasi kaum muda. Salah satu hal yang terpenting adalah senantiasa menjaga semangat persatuan di tengah keberagamaan. Itu bisa dilakukan apabila satu sama lain yang berbeda dapat saling mengenal dan menghargai. “Ayo kita saling mengenal. Saling menyapa. Kita berbeda, tetapi jangan sampai merusak persaudaraan”.

Dari segi moral, agama tidak ada perbedaannya. Semua agama mengajarkan kemanusiaan. Kemanusiaan itu satu. Bangunan kemanusiaan itu hanya bisa dipertahankan dengan baik apabila ada keadilan. Agama harus dipahami secara utuh untuk mendorong terciptanya moral dan akhlak baik bagi seluruh anak bangsa. Hal ini dapat ,mencegah perpecahan saat ada pihak yang ingin membentukan masyarakat atas nama agama. Agama hendaknya tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik dan kelompok.  

Pemikiran Buya yang sangat progressif juga sangat peduli terhadap isu-isu perempuan dan anak. Oleh karena itu, perlu kiranya pemikiran Buya ini ditransformasikan oleh anak muda. Melihat sosok buya yang demikian hebat, semoga kedepan ada buya-buya lain dari kalangan kaum muda.

Selamat ulang tahun ke-85 Buya! Sehat selalu serta selalu menginspirasi kami semua khusunya kaum muda.

*Penulis adalah Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP), Tokoh Perempuan Jaringan Intelektual Berkemajuan

 





Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement