Ahad 31 May 2020 17:22 WIB

Berubahnya Hagia Sophia Usai Penaklukan Konstantinopel

Usai menaklukkan Konstantinopel, Muhammad Al-Fatih mengubah fungsi Hagia Sophia.

Lukisan saat Sultan Muhammad al-Fatin merebut kota Konstantinopel
Foto: IST
Lukisan saat Sultan Muhammad al-Fatin merebut kota Konstantinopel

REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Heri Ruslan

Sultan Mehmet II melangkah masuk ke kota dengan penuh kemenangan pada Selasa sore, 29 Mei 1453 M, melewati Gerbang Adrianopolis Konstantinopel yang kini dikenal dengan Eirne Kapi. 

Bangsa Turki menyebutnya sebagai Fatih, sang Penakluk. Julukan ini yang membuat Mehmet II terkenal di kemudian hari.

Dia baru berusia 21 tahun saat menjadi sultan selama dua tahun terakhir, tapi kini menaklukkan kota yang paling terkenal di seluruh dunia yang dikenal bangsa Turki sebagai Istanbul.

Sebuah plakat di gerbang mencatat perjalanan masuk Fatih yang penuh kemenangan. Saat itu, sang sultan mengenakan serban lancip di kepalanya dan sepatu berwarna biru langit di kakinya, menunggang seekor keledai dan membawa pedang Nabi Muhammad di tangannya. 

Ia berjalan di depan 70-80 ribu ksatria, sambil berseru, “Jangan berhenti para penakluk! Kalian adalah penakluk Konstantinopel!”

Sang Penakluk kemudian berkuda menuju Gereja Aya (Hagia) Sophia. Tiba di sana, ia turun dari tunggangannya lalu berlutut mengucurkan sejumput tanah ke atas serbannya sebagai tanda kerendahan hati. 

Fatih menatap gereja itu dan memerintahkan agar dialihfungsikan menjadi masjid dengan nama (Hagia) Aya Sofia Camii Kabir, Masjid Agung Aya Sofia.

Sehari setelah penaklukan, tepatnya 30 Mei 1453, dia pun memeriksa isi kota, setelah itu mengumumkan bahwa Istanbul akan dijadikan ibu kota negara. 

Fatih mendorong orang-orang Yunani yang melarikan diri dari Konstantinopel sebelum penaklukan itu untuk pulang kampung. Dia juga menempatkan para tahanan yang menjadi bagiannya dari rampasan perang di kota. 

Fatih memberikan tanah dan rumah kepada orang-orang ini dan membebaskan mereka dari pajak untuk waktu tertentu.

Di samping itu, sebagian besar populasi baru dipicu ketetapan kekaisaran yang memanggil orang-orang untuk menetap di ibu kota. John Freely dalam Istanbul: The Imperial City mengatakan, para penduduk baru ini yang terdiri atas kaum Muslim, Kristen, dan Yahudi berasal dari seluruh pelosok kekaisaran. 

“Banyak di antara mereka yang ikut serta dalam sejumlah ekspedisi yang dilakukan Fatih dalam penaklukan Konstantinopel,” tulisnya.

Kaum Muslim segera membangun masjid atau mengubah gereja-gereja Bizantium menjadi masjid seperti yang dilakukan Fatih atas Aya Sofia. Beberapa masjid pertama yang didirikan setelah penaklukan masih bisa dilihat di daerah pasar di sepanjang Tanduk Emas antara Galata dan Jembatan Ataturk—walau semuanya dibangun kembali atau dipugar pada abad-abad berikutnya.

Pengembangan ibu kota

Penduduk yang bukan beragama Islam dikelompokkan dalam millet atau “bangsa” menurut agamanya. Masing-masing dipimpin kepala agamanya, sehingga millet Yunani dipimpin patriark Ortodoks, bangsa Armenia dipimpin patriark Gregorian, dan Yahudi dipimpin kepala rabi.

Kewenangan yang diberikan Fatih, menurut Freely, tak hanya untuk urusan keagamaan. Tapi, juga pada sebagian besar masalah hukum selain kasus kriminalitas yang harus ditangani hakim-hakim sang sultan. 

Dan, sistem millet yang dilanjutkan penerus Fatih sampai akhir Kesaisaran Utsmani menjadi sebuah alat dalam kebijakan pemerintah. “Sesuatu yang berjalan dengan baik dalam Negara Utsmani yang berkarakter multietnis,” kata Freely.

Tak lama setelah penaklukan, Fatih membangun sebuah benteng dalam Gerbang Emas bernama Yedikule, Puri Tujuh Menara. Pada akhir 1453 M, ia pun memindahkan istananya dari Edirne ke Istanbul. Saat itu, dia membangun sebuah istana di Bukit Ketiga yang digambarkan sebagai “lokasi terindah di kota."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement