Ahad 31 May 2020 10:21 WIB
new normal

Zaman Normal, Orde Baru, New Normal: Wolak-waliking Zaman!

Apa benar ada zaman normal atau 'new normal'?

Pemandangan sebuah ruas jalan di Pantura Jawa, sebelum krisis ekonomi 1930.
Foto: gahetna.nl
Pemandangan sebuah ruas jalan di Pantura Jawa, sebelum krisis ekonomi 1930.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Hari-hari ini orang sibuk bicara tentang istilah ‘New Normal’ untuk bicara soal kondisi zaman pascapandemi Corona. Banyak pro kontra di sana, terutama ada protes bahwa istilahnya seharusnya pakai nama bahasa Indonesia baku saja, yakni ‘normal baru’.

Bahkan ada yang mengatakan pakai saja istilah normal baru karena ini lebih sesuai dengan struktur bahasa indonesia. Ini misalnya dicontohkan dengan penerjemahan  kata bahasa Inggris ’new shoes’ yang tepat dengan sepatu baru, bukan dengan baru sepatu yang jelas beda maknanya.

“Apa susahnya kita ganti istilah-istilah ini dalam bahasa Indonesia: social distancing (jarak sosial), physical distancing (jarak fisik), work from home (bekerja dari rumah/BDR), dan new normal (normal baru/kelaziman baru), stay at home (di rumah saja), dan lain-lain. Anak SMP atau bahkan SD pun tahu arti kata-kata asing tersebut. Saya bisa memahami untuk istilah swab atau PCR (polymerase chain reaction) masih sulit dicari padanannya. Itu menjadi tugas utama Pusat Bahasa untuk menemukannya,'' wartawan senior Republika, Arif Supriyono yang selama ini sangat teliti dan peduli dalam soal penggunaan bahasa Indonesia yang 'baik dan benar'.

 

‘’Ada hal lain yang membuat saya terheran-heran. Pandemi Korona ini ternyata membuat kita jadi merendahkan derajat bahasa Indonesia. Istilah asing kini bertebaran muncul dari ucapan para tokoh dan menghiasi media massa. Padahal, istilah-istilah itu sangat mudah dicari padanannya dalam bahasa Indonesia,’’ katanya lagi:“Saya bisa memahami untuk istilah swab atau PCR (polymerase chain reaction) masih sulit dicari padanannya. Itu menjadi tugas utama Pusat Bahasa untuk menemukannya."

Bukan hanya itu, lanjut Arif, Pada zaman dulu, rakyat dan pers kita bahkan lebih gagah perkasa dalam berbahasa. IMF diartikan sebagai Dana Moneter Internasional. Lalu United Nations dialihbahasakan sebagai Perserikatan Bangsa-Bangsa. Masih banyak lagi istilah asing lain yang disesuaikan dalam bahasa Indoneisa. Ini misalnya istilah non performing loan menjadi kredit bermasalah dan lain-lain.

                     

                                  ******

Khusus untuk ‘zaman normal’ dan ‘new normal’ juga ada fakta historis-sosiogis yang menarik. Dan uniknya pula terasa ada rasa ‘ramai ala permen yang beragam rasa'. Rasa lainnya adalah nuanasa bahasa dari istilah zaman normal itu yang serba bolak-balik atau zaman yang jungkir balik.

Dalam khazanah orang Jawa soal zaman yang bolak-balik yakni bergerak dari normal ke ‘new normal’ misalnya ada pada selarik syair ’Serat Kalatidha’ karya Ranggawarsita. Syair ini hanya terdiri dari 12 bait dalam bentuk ‘tembang Sinom’. Aslinya ditulis dengan akasa Jawa gaya Surakarta. Kalatidha secara harafiah artinya adalah "zaman gila" atau zaman édan.

Rangga Warsita - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Keterangan foto: Ranggawarsita

Uniknya, konon Rangga Warsita menulis syair ini ketika merespons nuansa sosial dan politik saat itu. Dia merasa ada yang tak beres namun tak bisa dikatakan secara terang-terangan. Terlebih dia seorang anggota kerajaan. Kala itu pangkatnya sebagai ‘punggawa kerajaan’ kerjaan tak kunjung naik padahal banyak rekannya mampu berkarir cemerlang walau prestasi kerjanya biasa saja.

Dalam wikipedia juga disebutkan nuansa kekecewaan Ranggawarsita itu.  Sebagai punggawa kerajaan, pangkatnya tidak kunjung dinaikkan seperti diharapkan. Lalu ia menggeneralisir keadaan ini dengan menanggap secara umum bahwa zaman di mana ia hidup merupakan zaman gila, di mana terjadi krisis.

Bagi orang Jawa Ranggawarsita punya kedudukan istimewa dalam budaya. Mendiang WS Rendra pernah menceritakan perihal ini kala dia berkeras menjadi penyair di hadapan bapaknya yang seorang guru dan sangat paham budaya Jawa.’’Sudahlah setelah Ranggawarsita tak ada lagi pujangga. Apalagi kalau sekedar penyair, pakai bahasa Indonesia lagi,’’ kata Rendra ketika menceritakan soal sosok Ranggawarsita.

Dan memang Ranggawarsita merupakan pujangga kerajaan di Keraton Kasunanan Surakarta. Ia adalah pujangga panutup atau "pujangga terakhir".  Akibatnya dalam sebutan tersebut, setelah itu tidak ada dianggap tak ada ”pujangga kerajaan" lagi.

Syair Ranggawarsita soal zaman yang edan itu begini:

Amenangi zaman édan,

éwuhaya ing pambudi,

mélu édan nora tahan,

yén tan milu anglakoni,

boya kaduman mélik,

kaliren wekasanipun,

dilalah kersa Allah,

begja-begjane kang lali,

luwih begja kang éling lawan waspada.

(Berada di zaman gila,

serba salah dalam bertindak.

Ikut-ikutan gila tidak akan tahan,

tetapi kalau tidak mengikuti arus,

tidak kebagian, (lalu) kelaparan pada akhirnya.

Tetapi Allah Maha Adil,

Sebahagia-bahagianya orang yang lalai,

akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada)

Dengan memahami makna syair itu, maka kala zaman Rangawarsita hidup ternyata juga ada anggapan yang mirip hari ini. Zaman sebelumnya disebut sebagai zaman normal dan zaman berikutnya yang dianggapnya normal baru atau ’new normal’, atau bahkan malah dianggap edan.

                 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement