Sabtu 30 May 2020 17:46 WIB

'Corona Belum Terkendali, Jangan 'Loncat' Bahas New Normal'

Epidemiolog sesalkan Indonesia bicara new normal saat kurva Covid-19 masih menanjak.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Reiny Dwinanda
Pegawai swalayan Carrefour menunjukkan poster sebelum ditempelkan di BG Junction, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (27/5/2020). Penempelan poster yang berbunyi
Foto: ANTARA/Didik Suhartono
Pegawai swalayan Carrefour menunjukkan poster sebelum ditempelkan di BG Junction, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (27/5/2020). Penempelan poster yang berbunyi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Epidemiolog menilai Indonesia masih terlalu dini untuk mengimplementasikan konsep kenormalan baru (new normal) di tengah pandemi Covid-19. Beberapa indikator menunjukkan Indonesia belum saatnya masuk ke kehidupan normal baru.

"Terlalu cepat, terlalu dini kita masuk ke kehidupan new normal," ungkap Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Ketua Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (Persakmi) Prof Ridwan Amiruddin PhD dalam diskusi daring bersama Gerakan Masyarakat Sadar Gizi, Komunitas Literasi Gizi, Literasi Sehat Indonesia, sadargizi.com, dan Departemen Kesehatan DPP KKSS.

Baca Juga

Ridwan mengatakan, peliburan tempat kerja selama ini membawa konsekuensi yang kurang baik bagi perekonomian di Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan new normal ditawarkan sebagai "oase" oleh pemerintah agar ekonomi bisa tetap berjalan di masa pandemi Covid-19.

"Karena ternyata mengelola negara ini bukan hanya persoalan kesehatan, ekonomi harus berjalan," kata Ridwan.

Akan tetapi, menurut Ridwan, new normal sepatutnya diimplementasikan setelah Covid-19 berhasil terkendali. Hal ini juga menjadi salah satu kriteria yang perlu dipenuhi suatu negara sebelum memasuki era kelaziman baru menurut organisasi kesehatan dunia (WHO). Di Jepang, misalnya, pelonggaran pembatasan dan implementasi new normal baru dilakukan enam pekan setelah kurva melandai.

"Sementara, kita di Indonesia ini kan kurva kita masih mau menuju titik puncaknya, baru sampai pada pelandaian kurva," papar Ridwan.

Ada tiga parameter yang bisa digunakan untuk melihat apakah Covid-19 di suatu wilayah sudah terkendali atau belum. Ridwan menjelaskan, parameter yang pertama adalah menggunakan angka akumulasi kasus Covid-19. Ia mengungkapkan, peningkatan kasus setiap pekan di Indonesia masih meningkat.

Parameter yang kedua adalah perluasan wilayah. Perluasan wilayah berarti ada penambahan wilayah baru yang terajadi setiap pekan, baik antarkabupaten, antarkelurahan, maupun antardaerah.

"Itu selalu ada perluasan wilayah," timpal Ridwan.

Parameter yang ketiga adalah terjadinya penularan regional yang terkonsentrasi. Dalam hal ini berarti terjadinya transmisi lokal.

"Sementara untuk Indonesia ini boleh dianggap belum terkendali," jelas Ridwan.

Berdasarkan literatur, Ridwan mengatakan, ada piramida hierarki intervensi untuk menentukan prioritas penyelesaian masalah dalam situasi krisis seperti pandemi Covid-19. Prioritas yang pertama adalah keamanan publik, kedua adalah ekonomi dan ketiga adalah reputasi.

Suatu negara sepatutnya menyelesaikan masalah terkait keamanan publik terlebih dahulu sebelum memasuki prioritas yang kedua dan ketiga, yaitu ekonomi dan reputasi. Jangan sampai permasalahan keamanan publik belum tuntas, negara sudah "loncat" ke penyelesaian masalah di sektor ekonomi.

"Kalau kita gunakan piramida tadi, selesaikan keamanan publik, pandemi dikendalikan (terlebih dahulu), baru masuk ke ekonomi, baru perhatikan reputasi," tutur Ridwan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement