Ahad 31 May 2020 05:37 WIB

Kuli di Tanah Deli: Tambah Sengsara di Jaman Meleset

Rakyat kelaparan, pemerintah Hindia Belanda malah mau membeli kapal perang.

Kuli di Tanah Deli semakin sengsara ketika jaman meleset terjadi pada medio 1930-an.
Foto: Tangkapan Layar
Kuli di Tanah Deli semakin sengsara ketika jaman meleset terjadi pada medio 1930-an.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar

Usaha di Hindia Belanda terkena imbas depresi ekonomi yang menimpa Amerika Serikat pada 1929. Di Hindia Belanda, istilahnya dikenal dengan sebutan tempo meleset atau jaman meleset, pelesetan dari kata Belanda malaise yang berarti depresi/krisis. Perkebunan di Deli menjadi satu kasus yang membuat ratusan ribu kuli harus pulang kampung ke Jawa.

Pada Mei 1930 ada sekitar 336 ribu kuli di perkebunan di Deli, Sumatra. Mereka adalah kuli kontrak dari Jawa, Cina, dan India. Mereka diupah hanya 42 sen per hari untuk kuli laki-laki dan 36 sen per hari untuk kuli perempuan.

Upah 23 tenaga bule yang bekerja sebagai asisten dan administrator perkebunan melebihi jumlah upah dari 2.800 kuli. Gaji asisten dan administrator kebun itu mencapai 250 gulden hingga lebih dari 1.000 gulden per bulan. Setiap tahunnya, pun mereka masih mendapat pembagian keuntungan, hal yang tak pernah dinikmati para kuli yang tak memiliki senjata perlawanan.

Begitu teken kontrak, mereka seperti menyerahkan hidupnya untuk tiga tahun ke depan. "Dipaksa setuju dengan apa yang ditetapkan untuknya,'' tulis Daulat Ra'jat.

Polisi negara dan polisi swasta akan menggunakan tangan besinya untuk memaksa mereka bekerja, sebelum matahari terbit hingga matahari terbenam. Jika ada anggaran perkebunan yang harus dipotong, upah kulilah yang dipotong pertama kali.

Pada Mei 1932 sudah dua tahun terjadi pemulangan kuli di Deli. Ada sekitar 200 ribu kuli yang sudah pulang atau dipulangkan sejak 1930 akibat depresi ekonomi itu. Tak ada dana yang masuk ke Deli selama depresi ekonomi itu.

Kuli yang ada harus mengerjakan semua pekerjaan yang semula dikerjakan oleh 336 ribu kuli. Itu pun dengan upah yang sudah dipotong menjadi 37 sen untuk kuli laki-laki dan 31 sen untuk kuli perempuan. Jika tak setuju dengan pemotongan itu, pilihannya adalah pulang kampung.

Perkebunan di Deli, antara lain, mengelola tembakau, getah, kopi, teh. Pada kurun 1870 hingga 1905 ada sekitar 20 juta gulden dana asing yang digelontorkan untuk kebun tembakau.

Pada kurun 1905-1910 masuk pula dana untuk kebun getah. Hingga 1920, investasi yang masuk ke Deli untuk tembakau, getah, dan teh mencapai 300 juta gulden.

Pada 1921 muncul krisis dan investasi baru datang lagi pada 1924 untuk getah dan teh. Terhitung, ada 650 juta gulden nilai investasi hingga 1931. Investasi kurun 1920-1930 jumlahnya jauh di atas nilai investasi kurun 1870-1920.

Namun, depresi ekonomi meluluhlantakkan Deli. Kuli kontrak harus gigit jari pulang kampung. Di kampung pun mereka mendapati kenyataan pahit. Orang-orang kampung juga tidak bisa membantu mereka.

Para petani memerlukan 30 gulden untuk mengolah sawah seluas sebau (3/4 hektare). Hasil panen bisa mencapai 40 gulden, tapi mereka harus membayar pajak 10 gulden per bau.

Ketika pabrik-pabrik gula di Jawa juga tutup akibat depresi ekonomi, tebu petani tak jadi dibeli oleh pabrik. Para petani pun masih berkewajiban mengembalikan uang muka pembelian tebu yang diberikan oleh pabrik.

Maka, di desa-desa pun muncul kelaparan. Untuk dapat makan, mereka ada yang harus ke hutan mencari bahan pangan di hutan, ada pula yang melakukan aksi kejahatan. Para kuli dari Deli yang pulang kampung pun harus menjalani kenyataan pahit ini.

Pemerintah Hindia Belanda tak memberikan solusi. Pajak tanah tetap tidak diturunkan. Di saat bersamaan, muncul pula rencana pembelian kapal perang senilai 14 juta gulden.

Bukannya memikirkan penggunaan anggaran untuk membantu rakyat yang kelaparan, ini malah memikirkan pembelian kapal perang. "Begitu teken kontrak, mereka seperti menyerahkan hidupnya untuk tiga tahun ke depan."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement