Kamis 28 May 2020 14:14 WIB
Masyumi

Kisah di Balik Tokoh Masyumi dan G30S/PKI

Kisah perseruan PKI dan Msyumi

Suasana aktivitas anggota PKI.
Foto: pinterst.com
Suasana aktivitas anggota PKI.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Lukman Hakiem, Peminat Sejarah, mantan staf khusus M Natsir dan Wapres Hamzah Haz.

Dalam sebuah diskusi terbatas mengenai buku karya Victor Tanja,  Himpunan Mahasiswa Islam Sejarah dan Kedudukannya di Tengah Gerakan-gerakan Muslim Pembaharu di Indonesia (Jakarta,  Sinar Harapan, 1982) di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, seorang pembicara mengeritik tokoh-tokoh Masyumi.

Menurut si pengkritik, tokoh-tokoh Masyumi itu cuma bicara saja,  kerjanya cuma mengeritik pemerintah, tidak pernah berbuat kongkret untuk umat. Si pengkritik kemudian menunjuk contoh keikutsertaan tokoh-tokoh Masyumi menandatangani Petisi 50 yang menyebabkan mereka dimusuhi oleh pemerintah Orde Baru dan makin tersingkir dari pentas politik nasional.

Memang, pada 5 Mei 1980, tokoh-tokoh Masyumi seperti Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Kasman Singodimedjo, Boerhanoeddin Harahap, dan Anwar Harjono menandatangani ‘Pernyataan Keprihatinan’ sehubungan dengan pidato Presiden Soeharto yang mengidentikkan dirinya dengan dasar negara Pancasila.

Menurut Pernyataan Keprihatinan yang ditandatangani oleh 50 orang warganegara --termasuk di dalamnya antara lain Jenderal TNI (Purn) Dr. A. H. Nasution, Jenderal Polisi (Purn) Hoegeng Iman Santoso, Letnan Jenderal Marinir (Purn) Ali Sadikin, Marsekal Pertama (Purn) Sujitno Sukirno, dan tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) Manai Sophiaan-- oleh karena pikiran yang terkandung dalam pidato Presiden Soeharto itu tidak dapat dilepaskan dari cara penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara, maka wakil-wakil rakyat di DPR dan MPR didesak supaya menanggapi pidato Presiden Soeharto itu.

Permintaan yang amat sederhana itu,  ternyata membuat rezim Orde Baru marah luar biasa. Seluruh penandatangan Petisi 50 dibunuh hak-hak sipilnya: tidak boleh bepergian ke luar negeri, tidak boleh bekerja di lembaga-lembaga negara dan pemerintah, tidak boleh mendapat fasilitas kredit dari bank pemerintah atau swasta,  bahkan tidak boleh berada di satu ruangan dengan Presiden dan Wakil Presiden.

Si pengeritik menyesali benar keikutsertaan tokoh-tokoh Masyumi menandatangani Petisi 50 itu.

Sampai Pulau Buru

Kritik itu dijawab oleh Ketua Lembaga Studi Pembangunan (LSP), Adi Sasono, yang juga hadir dalam diskusi terbatas itu. Menurut Adi Sasono,  kita ini sering kali mengeritik hal-hal yang kita tidak sepenuhnya mengerti terhadap yang kita kritik. Adi kemudian balik bertanya apakah si pengeritik betul-betul tahu apa yang telah dikerjakan oleh Mohammad Natsir dan tokoh-tokoh Masyumi itu?

"Tahukah Saudara," tanya Adi, "setiap bulan  tokoh-tokoh itu melalui lembaga yang dipimpinnya menyantuni saudara-saudara kita yang kepala keluarga atau anggota keluarganya sedang di penjara?"

Sejak Orde Baru berkuasa memang banyak aktivis dijebloskan ke penjara,  melalui atau tanpa melalui proses peradilan. Sebutlah misalnya para aktivis peristiwa 15 Januari 1974, aktivis 1977/1978, aktivis Gerakan Pemuda Islam (GPI) 1978, korban rekayasa politik Komando Jihad,  dan lain-lain.

Ketika Adi Sasono menyebut santunan tokoh-tokoh itu kepada keluarga tahanan politik,  yang terbayang adalah para tahanan seperti disebut di atas. Tahanan yang masih "dekat-dekat" dengan pergerakan Islam.

Yang membuat nyaris seluruh peserta diskusi terbatas itu terhenyak ialah keterangan tambahan Adi Sasono: "Yang disantuni oleh Pak Natsir itu bukan hanya tahanan politik Islam,  tetapi tahanan politik Gerakan 30 September/PKI," kata Adi Sasono sembari menambahkan, "kegiatan seperti ini tidak akan Saudara temui beritanya di media massa,  karena tokoh-tokoh itu bekerja bukan untuk masuk koran."

Santunan yang diberikan berbentuk sembilan bahan pokok (sembako) dan santunan rohani berupa Al-Quran dan buku-buku Islam.

Menurut Adi Sasono, santunan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Masyumi itu ada yang dikerjakan oleh Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, ada juga yang dikerjakan oleh dan atau menggunakan nama  lembaga lain.

"Saya tahu semua itu,  karena saya terlibat di dalamnya, walaupun tidak atas nama Dewan Da'wah," tutur Adi Sasono.

Dai-dai Dewan Da'wah bahkan menjangkau tempat tahanan politik G. 30. S/PKI di Pulau Buru. Mereka ditempatkan di Pulau Buru bukan satu atau dua hari,  tapi ada yang sampai dua tahun.

Dalam tulisan di buku Antara Dakwah dan Politik (2017), mantan Sekretaris Dewan Dakwah Yogyakarta, Bambang Pranowo, menyinggung soal aktivitasnya saat ditugaskan di Pulau Buru.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement