Kamis 28 May 2020 12:51 WIB

Industri Pengguna Garam Dukung Pengembangan Garam di NTT

NTT dinilai cocok sebagai sentra produksi garam karena lahan yang mendukung.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Friska Yolandha
Pekerja sedang meratakan garam di area tambak garam Nunkurus di desa Nunkurus Kabupaten Kupang, NTT (20/8). Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) cocok menjadi sentra produksi garam industri karena memiliki lahan dan cuaca yang mendukung.
Foto: Antara/Kornelis Kaha
Pekerja sedang meratakan garam di area tambak garam Nunkurus di desa Nunkurus Kabupaten Kupang, NTT (20/8). Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) cocok menjadi sentra produksi garam industri karena memiliki lahan dan cuaca yang mendukung.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) mendukung pengembangan lahan garam di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) guna memasok bahan baku garam industri dari dalam negeri. Ketua Umum Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Tony Tanduk mengatakan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) cocok sebagai sentra produksi garam industri karena memiliki lahan dan cuaca yang mendukung. 

“Wilayah NTT itu cocok karena ketersediaan lahan yang landai dan musim kemarau yang panjang sekitar 7 bulan sampai 8 bulan per tahun,” ucap Tony melalui siaran persnya, Kamis (28/5).

Baca Juga

Untuk menghasilkan garam kualitas tinggi, kata Tony, harus menggunakan metode dengan penguapan dan kristalisasi bertingkat. Proses produksi seperti ini dilakukan oleh PT Garam di Madura dan PT Inti Daya Kencana (IDK) di Malaka, NTT. 

“Dibuat penguapan dan kristalisasi bertingkat. PT IDK di NTT sedang membangun lahan penggaraman dengan sistem tersebut, namun lahan masih sekitar 50 hektar dan yang sedang dikembangkan berkisar 300 hektare,” ucapnya.

Seperti diketahui, Garam yang diproduksi dengan penguapan dan kristalisasi bertingkat disebut juga dengan istilah metode atau sistem portugis. Pada proses ini, garam dibiarkan menjadi meja hablur (lantai garam) setebal 5-20 cm kristal garam. Setelah itu, air tua dialirkan dan kristal garam akan cepat terbentuk dengan kualitas garam yang sangat bersih. 

Untuk swasembada garam, menurut Tony, dibutuhkan tambahan lahan 50.000 hektare pada satu atau beberapa hamparan, dengan syarat 1 lahan minimum 1.000 hektare. “Hasil dari lahan tersebut menghasilkan garam untuk industri yang mempersyaratkan kadar NaCl 97 persen dan Kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg) rendah tdk lebih 0.6 ppm,” tambahnya.

Tony Tanduk menjelaskan bahwa lahan yang cocok untuk garam bukan hanya panjang pantai, melainkan juga aspek keekonomian. Sebagai contoh pantai Ancol bisa buat lahan garam tetapi tentu jauh lebih menarik jadi Dufan. Ia membandingkan nilai keekonomian antara nilai ekspor dari pengguna garam industri dengan impor garam industri pertahunnya. 

“Nilai ekspor dari industri pengguna garam lebih dari 35 miliar dolar AS per tahun bandingkan impor garam 110 juta dolar AS,” tutupnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement