Kamis 28 May 2020 12:10 WIB

Benarkah Peradaban Barat Rapuh dan Islam Kembali Jaya?

Rapuhnya peradaban Barat tampak dengan gejala ekonomi.

(ilustrasi) jembatan roma menghubungkan dekat masjid-katedral Kordoba
Foto: tangkapan layar wikipedia.org
(ilustrasi) jembatan roma menghubungkan dekat masjid-katedral Kordoba

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Saleh Partaonan Daulay* 

Sepintas, peradaban Barat memang lebih maju dari peradaban Islam, antara lain dibuktikan dengan perkembangan ekonomi, teknologi, dan stabilitas kehidupan sosial-politik yang dicapai Barat. Dengan menggunakan ukuran-ukuran yang bersifat fisik material, fenomena kebangkitan peradaban Barat merupakan keniscayaan.

Baca Juga

Namun bila dikaji lebih dalam, kemajuan sains dan teknologi yang menjadi basis fundamental bangunan peradaban Barat justru telah menelantarkan dunia di ambang pintu krisis global yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Menurut Fritjof Capra (1975), krisis global yang dihadapi umat manusia di planet ini telah menyentuh hampir seluruh dimensi kehidupan seperti bidang kesehatan, teknologi, ekonomi, politik, ekologi, dan hubungan sosial. Krisis juga melanda dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual.

Krisis-krisis global yang disebutkan di atas dapat dilacak secara langsung pada cara pandang dunia (world view) Barat. Pandangan dunia yang diterapkan selama ini adalah pandangan dunia mekanistik linier ala Cartesian dan Newtonian.

Paradigma Cartesian-Newtonian ini, di satu sisi berhasil mengembangkan sains dan teknologi yang membantu kehidupan manusia, namun di sisi lain mereduksi kompleksitas dan kekayaan kehidupan manusia itu sendiri. Paradigma Cartesian-Newtonian memperlakukan manusia dan sistem sosial seperti mesin besar yang diatur menurut hukum-hukum obyektif, mekanis, deterministik, linier, dan materialistik.

Cara pandang ini menempatkan materi sebagai dasar dari semua bentuk eksistensi, dan menganggap alam kosmos sebagai suatu kumpulan obyek-obyek terpisah yang terkait menjadi sebuah mesin raksasa. Di antara tokoh-tokoh revolusi ilmiah yang turut membentuk cara pandang seperti itu adalah Francis Bacon, Copernicus, Galileo, Descartes, dan Newton.

Revolusi ilmiah itu telah membawa para saintis pada satu kesimpulan bahwa kehidupan dunia tidak lagi begitu menarik untuk diperbincangkan. Betapa tidak, hampir seluruh realitas telah dapat diterangkan secara jelas oleh penemuan-penemuan sains.

Terlebih jika dunia dilihat dengan formula matematis gaya Albert Einstein atau Stephen Hawking, maka bisa jadi yang kita jumpai adalah sebuah dunia yang sudah selesai. Artinya, manusia telah merasa berhasil menyadap the mind of God, sehingga Tuhan memang telah tiada. Yang ada hanyalah konstruksi dan persepsi manusia sebagaimana dinyatakan Nietzsche atau Karl Marx.

photo
Istana Kordoba di Spanyol. - (Observer)

Dengan demikian, masuk akal jika peradaban Barat mencapai puncaknya pada saat mereka meninggalkan (independen dari) Tuhan. Karena mereka menyandarkan nasibnya semata pada kekuatan sendiri dan mengabaikan aspek-aspek spiritualitas, maka bisa dipahami jika mereka kehilangan orientasi (disoriented).

 

Kerapuhan fondasi peradaban Barat sebagaimana disebutkan di atas merupakan peluang besar bagi umat Islam untuk membangun peradaban alternatif yang berdimensi moral dan spiritual. Agenda utama yang harus dikedepankan antara lain membangun kesadaran eksistensial manusia yang tidak terpisahkan dari Tuhan. Keyakinan terhadap kehadiran Tuhan dalam seluruh dimensi kehidupan akan memberikan kekuatan sekaligus kedamaian dalam hati setiap manusia yang menjadi aktor pendukung setiap peradaban.

Belajar dari realitas objektif sejarah Islam pada saat Nabi Muhammad SAW melakukan reformasi peradaban secara total, starting point yang tepat adalah melalui reformasi ideologi, teologi, dan kultural. Penguasaan dan pengembangan sains dilandasi semangat iqra (scientific discovery) sesuai tuntunan Alquran. Atas dasar itulah, umat Islam di masa lalu mampu mewujudkan peradaban tinggi.

Bertolak dari realitas objektif di atas, untuk mewujudkan peradaban Islam masa depan diperlukan upaya-upaya rekonstruktif dengan mempertimbangkan elemen-elemen: (1) semangat tajdid dari semua pihak secara menyeluruh, (2) pembumian wahyu melalui kontekstualisasi ajaran Islam, (3) political will dari pihak penguasa, (4) eksplorasi, penguasaan, dan pengembangan sains dan teknologi, serta (5) membangun moralitas umat yang didasarkan pada nilai-nilai Islam otentik. Dengan kekuatan dan potensi umat yang begitu besar, tidak tertutup kemungkinan bahwa fajar kebangkitan peradaban Islam akan bersinar. dari negeri Indonesia yang sangat kita cintai ini.

* Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. Artikel ini diambil dari sebagian artikel dokumentasi Harian Republika. 

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement