Kamis 28 May 2020 06:05 WIB

Wahai Pemerintah, Anda Yakin Siap Berdamai dengan Covid-19?

Prosedur new normal harus didukung kebijakan yang utuh.

Friska Yolandha, Redaktur Republika.co.id
Foto: Republika.co.id
Friska Yolandha, Redaktur Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Friska Yolandha*

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meninjau kesiapan prosedur new normal di sejumlah lokasi di Jakarta, Selasa (26/5). Jokowi ingin memastikan prosedur tersebut berjalan sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi.

Menurut Gubernur Anies Baswedan, kondisi new normal akan diterapkan apabila Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Provinsi DKI Jakarta yang berakhir 4 Juni 2020 berjalan dengan baik. "Yang menentukan PSBB ini diperpanjang atau tidak itu sebenarnya bukan pemerintah, melainkan perilaku seluruh masyarakat di seluruh PSBB,” ujar Anies saat konferensi pers usai mendampingi Presiden Jokowi meninjau kesiapan penerapan prosedur standar new normal di stasiun MRT Bundaran Hotel Indonesia, Selasa.

Prosedur new normal ini sudah santer terdengar beberapa waktu terakhir. Hal itu dimulai dengan isu pelonggaran PSBB di tengah masih meningkatnya jumlah orang terinfeksi Covid-19 di Indonesia. Meskipun, DKI Jakarta mengatakan jumlah infeksi menurun.

Penerapan kondisi normal baru bukan tanpa alasan. Sudah hampir tiga bulan warga DKI Jakarta 'terkurung' di rumah masing-masing. Sebagian masih berada di luar rumah karena pekerjaan yang tak memungkinkan dibawa pulang. Sebagian lagi kucing-kucingan dengan aparat agar bisa kembali ke kampung halaman. Sisanya, bekerja dari rumah dengan segala risikonya.

PSBB membuat kegiatan masyarakat lumpuh. Tak ada lagi aktivitas normal seperti bekerja ke kantor, berebut kursi di KRL, berdesak-desakan di Transjakarta, bangun subuh dan berbelanja ke pasar, cuci mata ke mal, nongkrong cantik di kedai kopi sambil meeting dengan klien, atau sekadar memanfaatkan internet gratis restoran fastfood hasil membeli minuman ringan.

Semua kegiatan tadi harus dilakukan dengan cara yang berbeda. Pekerjaan kantor dipindah ke rumah, berbelanja ke pasar yang biasa setiap hari dilakukan beberapa kali sepekan. Kursi KRL tak lagi jadi rebutan karena jumlah penumpangnya dibatasi. Kedai-kedai kopi tak lagi melayani dine in, hanya take away. Tak ada lagi masa duduk manis di resto meski sekadar menyantap kentang goreng.

Dampak PSBB sangat signifikan. Bagi pekerja yang digaji bulanan, PSBB tak begitu berarti. Bagi pekerja harian, PSBB sangat mempengaruhi menu makanan mereka hari berikutnya.

Mempertimbangkan kelumpuhan ekonomi ini, pemerintah akhirnya mencoba melonggarkan PSBB dengan 'protokol kesehatan yang ketat'. Lalu bagaimana prosedur new normal itu dilakukan?

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan, setiap perusahaan wajib Tim Penanganan Covid-19 di tempat kerja dan mengatur sejumlah kebijakan terkait pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah dan tidak. Perusahaan diharapkan meniadakan shift 3 dan kalaupun terpaksa ada, pekerja di jadwal tersebut diutamakan berusia kurang dari 50 tahun.

Pekerja diwajibkan menggunakan masker sejak perjalanan dari rumah menuju tempat kerja. Perusahaan juga wajib memastikan seluruh area kerja bersih dan menjaga kualitas udara kantor.

Di beberapa negara, pelonggaran lockdown tidak berbuah baik. Di Prancis misalnya,  kasus positif Covid-19 meningkat sehari setelah lockdown dilonggarkan. Kasus serupa terjadi di Italia.

Apakah pelonggaran tepat dilakukan di tengah kurva yang masih menanjak? Apakah pemerintah mengorbankan kesehatan masyarakat demi perekonomian?

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kesehatan dan ekonomi tak dapat dipisahkan. Prosedur new normal ini dinilai paling tepat dilakukan.

"Tidak ada trade-off (pertukaran) antara kesehatan dan ekonomi. Keduanya ibarat bayi kembar siam yang tidak dipisahkan, maka kalau tidak ada kesehatan, tidak ada ekonomi, begitu juga sebaliknya," ujarnya di akun Instagram miliknya.

Dua bulan lebih kita terbiasa menjaga jarak dan mengurangi aktivitas di luar. Seharusnya, tidak akan sulit bagi kita untuk memasuki era normal baru. Tetapi, ini tidak akan berjalan 'normal' apabila tidak didukung dengan kebijakan yang tepat, misalnya, jam kerja kantor dan operasi angkutan umum.

Kenormalan baru tak akan terjadi kalau semua kantor tetap masuk jam 09.00 secara bersamaan. Kepadatan di angkutan umum seperti KRL dan Transjakarta akan tetap terjadi karena pekerja mengejar jam masuk kantor. Mungkin di dalam angkutannya tak akan ramai, tapi bagaimana dengan di dalam terminal/halte/stasiun? Lebih-lebih lagi di luarnya.

Pemerintah diharapkan benar-benar membuat skenario yang utuh sebelum kita benar-benar masuk ke era normal baru. Jika tidak, new normal hanya akan jadi senjata bagi Covid-19 untuk menciptakan gelombang kedua penularan.

*penulis adalah wartawan republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement