Senin 25 May 2020 16:15 WIB

Kita Tak Butuh Teori-Teori Konspirasi

Virus corona butuh kebenaran, bukan bualan teori-teori konspirasi yang menyesatkan.

Rep: Arabnews/ Red: Elba Damhuri
Lawan Corona. Ilustrasi: Virus Corona Tak Butuh Teori Konspirasi
Foto: Republika
Lawan Corona. Ilustrasi: Virus Corona Tak Butuh Teori Konspirasi

REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Khalaf Ahmad Al-Habtoor*

Sangat mengejutkan mengetahui lebih dari separuh populasi dunia berada dalam "tahanan rumah". Sulit dipercaya kelelawar biasa bisa menyebabkan semua gangguan ini. 

Pesan yang membingungkan dan beragam dari otoritas kesehatan internasional pun jauh dari membantu. Malah, memicu teori konspirasi, beberapa disebarluaskan oleh individu dengan kredensial medis atau ilmiah. 

Meskipun banyak dari teori konspirasi yang baru lahir ini terdengar aneh, saya kecewa bahwa pada platform media sosial, seperti Facebook, Twitter dan YouTube, para pengguna telah berubah menjadi seolah ahli dan paham soal pandemi ini.

Salah satu dari banyak video yang viral di media sosial adalah wawancara Dr Rashid A Buttar di Next News Network. Bersertifikasi toksikologi dan kedokteran, Buttar adalah direktur medis untuk Centers for Advanced Medicine, yang mengkhususkan diri dalam disfungsi kekebalan dan masalah toksisitas, di North Carolina.

Buttar menyebabkan histeria di seluruh dunia dengan data-data yang dilebih-lebihkan hingga menimbulkan ketakutan hebat. Lebih buruk lagi, ia menuduh Amerika Serikat (AS) memodifikasi secara genetik virus pada 2015 untuk membuatnya lebih berbahaya. 

Setelah penghentian penelitian virus corona oleh pemerintah AS, kata dia, National Institute of Health (NIH) dengan persetujuan Dr Anthony Fauci, membayar dolar para pembayar pajak Amerika ke China untuk melanjutkan penelitian yang mengakibatkan penyakit virus corona (COVID-19).

Dia menegaskan tidak ada virus lain yang melompat enam kaki atau, menurut perkiraan, 13 kaki. Dia juga banyak menyalahkan ribuan dokter yang dia klaim mengetahui penipuan ini tetapi terlalu takut untuk berbicara karena takut kehilangan lisensi atau malu secara sosial. 

Saya tidak tahu apakah teori-teori Buttar, didasarkan pada keyakinannya bahwa pemerintah menggunakan virus coeona untuk mengendalikan populasi, memiliki kelebihan. Tetapi saya tahu bahwa mengagetkan orang dengan pandangan-pandangan tidak biasa ini hanya akan menyuburkan ketakutan.

Scott Atlas, mantan kepala neuroradiologi di Stanford University Medical Center, diundang di Fox News untuk membahas ulasannya yang berjudul “The data is in — stop the panic and end the total isolation.”

Dia berpendapat kebanyakan orang sebetulnya tidak dalam bahaya kematian akibat COVID-19. Ia menyalahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) karena melebih-lebihkan tingkat kematian virus corona dalam kisaran 3 hingga 5 persen.

Dia lebih lanjut menyatakan 50 persen orang yang terinfeksi tidak memiliki gejala dan memperkirakan bahwa tingkat kematian adalah sekitar 0,1 persen. Penilaian ini didukung Dr Dan Erickson dan Dr Artin Massihi, pemilik pusat perawatan di Bakersfield, California.

Mereka mengadakan konferensi pers untuk mengumumkan hasil penelitian mereka bahwa COVID-19 tidak lebih buruk dari influenza. Keduanya mendorong pembukaan sekolah dan bisnis.

Wall Street Journal memuat ulasan proyek Manhattan yang dibuat oleh "ilmuwan dan raksasa industri" yang dikatakan telah dikirim ke Gedung Putih. 

Penasihat yang memerangi virus mengkritik "tes antibodi untuk memungkinkan orang kembali bekerja" karena tidak ada bukti bahwa infeksi sebelumnya dapat mencegah pemulihan dari menularkan virus ke orang lain.

Rencana tersebut menganjurkan penggunaan "aplikasi smartphone nasional AS yang mengharuskan penduduk untuk mengonfirmasi setiap hari bahwa mereka tidak memiliki gejala yang terkait dengan coronavirus." Aplikasi pelacakan dan penelusuran seperti ini telah banyak digunakan oleh China dan Korea Selatan.

Sejumlah pemerintah dan organisasi sedang mempertimbangkan untuk mengeluarkan apa yang disebut "paspor imunitas" untuk mengidentifikasi mereka yang telah mengembangkan antibodi. 

Cile telah mulai membagikan sertifikat semacam itu dan "izin kekebalan" yang memungkinkan penggemar olahraga bebas virus untuk menonton pertandingan.

Jelas, WHO menentang sertifikat tersebut karena mereka yang belum tertular virus kemungkinan besar akan menginfeksi diri mereka sendiri karena dorongan untuk kembali bekerja dan bepergian.

Selain masalah privasi dan kebebasan berekspresi, ada pertanyaan-pertanyaan penting yang harus dijelaskan oleh WHO, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC), Layanan Kesehatan Nasional Inggris, serta pemerintah China, Prancis, dan Jerman, mengingat mereka adalah pemain besar di bidang penelitian medis. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement