Senin 25 May 2020 16:37 WIB

Lebaran tanpa Ayah dan Ibu di Balai Rehabilitasi

'Saya mau hubungi ibu dulu, mau minta maaf,' ujar D berkaca-kaca.

Ilustrasi.
Foto: speakofchange.org
Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Siang itu langit tampak begitu cerah. Terlihat di atas sana awan putih bersih tersapu angin beraturan. Pepohonan di sekitar menari-nari menambah sejuk penghujung Ramadhan ini.

Saat bersamaan, tiga orang anak yakni D (16), A (9) dan AR (4) keluar dari asrama Balai Rehabilitasi Sosial Anak Membutuhkan Perlindungan Khusus Handayani Jakarta Timur. Mereka ditemani tiga orang dewasa yang menjadi pengasuh serta pekerja sosial ketiga anak tersebut.

Dengan wajah ceria dan penuh semangat, ketiga anak laki-laki itu duduk dengan rapi di teras salah satu kantor di kawasan Balai Rehabilitasi Handayani. Dua dari mereka menggunakan masker, namun tidak dengan AR. Entah tak suka, tak nyaman atau semacamnya, yang pasti setiap pengasuh mencoba memasangkan, setiap itu pula dilepaskannya.

Bukan hanya itu, AR yang masih balita sesekali berlari-lari kecil kian kemari. Ia tampak begitu riang menikmati harinya, terasa benar tak ada beban apapun dari pandangan mata bulatnya. Keceriaan itu tentunya tidak lepas dari peran sang pengasuh yang selalu mengajak bermain dengan semangat. Di sisi lain, D dan A yang memang lebih tua terlihat lebih banyak diam sambil mendengarkan Sri Musfiah, pekerja sosial di tempat itu bercerita.

Sebenarnya ada 50 anak di Balai Rehabilitasi Sosial Anak Handayani Jakarta Timur, sebanyak 46 di antaranya telah dipulangkan sementara secara bertahap oleh pihak balai sejak akhir Maret 2020. Bukan tanpa sebab, langkah tersebut diambil untuk menjaga mereka yang dikhawatirkan tertular virus corona atau Covid-19.

Berbeda dengan sebagian besar anak asuh yang berkesempatan pulang, empat anak lainnya yakni D, A, AR dan NF (15) tak dapat merasakan hal serupa. Mereka saat ini belum bisa pulang ke rumahnya masing-masing karena keluarga mereka belum siap menerima. Ditambah pula dengan adanya faktor tertentu sehingga bocah-bocah belia ini terpaksa menahan rindu lebih lama untuk bertemu ayah, ibu, kakak, adik dan sanak saudaranya.

Sejak teman-teman mereka dipulangkan ke berbagai wilayah di Tanah Air di antaranya Cirebon, Banten, Sukabumi, DKI Jakarta, Tanggerang dan lainnya, mereka berempat harus berbesar hati menghabiskan hari-hari di Balai Handayani bersama para petugas dan pengasuh di sana.

Kegiatan atau rutinitas sehari-hari tetap mereka jalankan seperti biasanya. Sepanjang Ramadhan 1441 Hijriah, berbagai aktivitas keagamaan juga dilakukan mulai dari puasa, shalat berjamaah di masjid, tadarus dan lain sebagainya dijalankan secara normal. Tentu saja segala sesuatunya mempertimbangkan protokol kesehatan baik itu menjaga jarak fisik, menggunakan masker serta rajin mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir.

Meskipun aktivitas di balai berjalan normal, namun perasaan mendalam yang dipendam anak-anak ini siapa yang tahu. Apalagi ini merupakan kali pertama bagi mereka berempat untuk merayakan Idul Fitri tanpa orang tua dan anggota keluarga lainnya.

D, remaja yang berasal dari Provinsi Bengkulu itu mengaku sudah tiga bulan terakhir berada di Balai Handayani untuk menjalani proses rehabilitasi. Ia terpaksa menjalani proses tersebut karena tersandung masalah hukum. Di usianya yang berada pada masa puber tersebut, ia mengaku banyak sekali mendapatkan pengalaman dan pembelajaran berharga selama berada di balai terutama untuk memperbaiki dirinya sendiri.

"Saya mulai rutin shalat lima waktu, mengaji dan puasa juga tidak ada yang batal," kata dia.

Meskipun banyak mendapatkan pengalaman serta pembelajaran hidup, tetap saja ia tidak bisa menyembunyikan rasa rindu kepada orang tuanya. Berkali-kali senyumnya terlihat sayu saat mengenang kedua orang tuanya di kampung. Bahkan, ramahnya pendamping sosial dan para pengasuh serta teman-teman sebaya di balai tersebut belum bisa menutupi kerinduan yang dipendamnya.

Untuk menghindari kesedihannya, melupakan sejenak lara kerinduan di hati, D sering kali mengajak teman-temannya bermain bulu tangkis di pekarangan Balai Handayani. Bukan hanya teman sebaya, ia juga merangkul bocah-bocah yang jauh lebih belia dianggap seperti adik sendiri.

Jika tahun lalu ia masih bisa berkumpul di rumah nenek saat Lebaran sambil bersilaturahmi sembari menyantap kue Lebaran, namun tahun ini berbeda. Ia tak bisa merasakan hal serupa. Tak ada rumah nenek, tak ada jabat tangan, dekapan maupun kecupan ayah dan ibu. Tapi walaupun begitu, esok setelah shalat Id, D telah berniat untuk menghubungi kedua orang tuanya melalui panggilan video atau video call.

"Saya mau hubungi ibu dulu, mau minta maaf. Mau hubungi ayah juga, mau minta maaf," kata D dengan mata yang berkaca-kaca. Terasa memang fisiknya tetap dan menetap di balai, namun tidak batin dan pikirannya.

Ia mengaku menyesal telah melakukan suatu kesalahan fatal sehingga harus menjalani rehabilitasi di Jakarta dan jauh dari orang tua. Baginya, saat ini melalui hari-hari jauh dari keluarga terasa begitu berat, namun tidak ada pilihan. Semua proses rehabilitasi harus dijalaninya dengan baik dan berharap segera pulang.

Meskipun demikian, kesalahan fatal yang dilakukannya tidak membuatnya patah arang. Ia tetap optimistis dapat melewati semuanya karena masih banyak tujuan yang hendak ia gapai. Salah satunya, ia bertekad memberangkatkan kedua orang tuanya naik haji dari hasil jerih payahnya suatu saat nanti.

"Saya bercita-cita jadi tentara. Kenapa? Saya ingin membanggakan orang tua dan mengabdi pada negara. Tidak hanya itu, jika terwujud ingin juga ayah dan ibu naik haji," katanya dengan suara terisak.

Sambil menundukkan kepala, D menceritakan kejadian yang menyebabkannya harus menjalani proses rehabilitasi di Jakarta. Ia mengaku telah menghilangkan nyawa seseorang karena terus-terusan diejek dan ditantang untuk berkelahi. Tidak salah lagi, ia salah satu korban perisakan.

Puncak dari perundungan yang ia alami tersebut terjadi saat kenaikannya ke kelas dua SMP. Bukan tak bertanggung jawab, malah setelah kejadian itu D mengaku langsung menyerahkan diri ke pihak kepolisian dengan sendirinya.

Tidak hanya D, perayaan Idul Fitri pertama jauh dari sanak keluarga juga mesti dirasakan A. Ialah putra sulung, bocah asal Kalimantan Utara yang menjalani rehabilitasi di Balai Handayani tanpa orang tua dan adik perempuannya.Ia tampak malu-malu saat diajak berbincang dengan orang baru. Sesekali memainkan alas kaki yang didudukinya di depan pintu masuk sebuah bangunan di Balai Handayani. Tidak jarang pula ia bercerita sembari berguling-guling di lantai pertanda ia masih anak-anak.

Namun, tetap saja guratan kesedihan masih tergambar dari raut wajahnya. Apalagi kala menyadari esok Lebaran dan ia tidak pernah membayangkan sama sekali harus menjalaninya tanpa orang tua dan saudaranya.

Tidak berbeda dengan D, ia juga meminta pendampingnya agar bisa video call dengan orang tuanya saat Idul Fitri sekadar melepaskan rindu dan meminta maaf atas perbuatannya. Barangkali ada yang belum sempat diutarakannya.

Usianya memang masih sangat belia, namun ekspresi kesedihan dan kerinduan pada Kalimantan tetap mampu dilupakannya.

"Kangen sama orang tua," ucapnya tertunduk. Entah apa yang dirasakannya, suaranya malu-malu namun wajahnya sendu.

Berbeda dengan D dan A, hal serupa barangkali belum terpikirkan oleh AR, balita yang saat ini diasuh di Balai Handayani. Jangankan Lebaran, untuk dapat berkomunikasi dengan orang tuanya saja mungkin tak ia sadari. Di usianya yang baru menginjak empat tahun, ia harus terpisah dengan ibu dan ayahnya yang bekerja sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Taiwan.

AR merupakan balita yang dijemput oleh pemerintah Indonesia dari Taiwan karena tidak memiliki dokumen kependudukan yang lengkap saat lahir hingga berusia sekitar tiga 3,5 tahun di negara tersebut.

Pertama kali tiba di Tanah Air pada November 2019, ia bersama 11 balita lainnya langsung diasuh di Balai Handayani. Uniknya, AR dan tiga balita lain saat itu sama sekali tidak bisa dan mengerti Bahasa Indonesia. Para pengasuh malah menggunakan Bahasa Mandarin serta bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi dan memenuhi kebutuhan ataupun keinginan mereka.

"Orang tua mereka mengajari Bahasa Mandarin, bukan Bahasa Indonesia, jadi mereka tidak mengerti Bahasa Indonesia," kata Erni pengasuh AR yang juga pernah bekerja di Taiwan selama enam tahun tersebut.

Sejak diasuh di balai tersebut hingga kini AR sama sekali belum pernah berkomunikasi dengan kedua orang tuanya. Sementara tiga balita yang menggunakan Bahasa Mandarin lainnya sudah dipulangkan ke keluarganya masing-masing.

Sementara itu, NF remaja dengan kasus pembunuhan bocah lima tahun di Sawah Besar, Jakarta Pusat juga harus merayakan Idul Fitri di Balai Handayani bersama tiga anak lain dan para pengasuh maupun pendamping mereka.

Meskipun demikian, anggota keluarga NF telah membuat janji dengan pihak balai dan berencana datang mengunjungi esok hari saat Idul Fitri yang jatuh pada Ahad (24/5).

Merayakan kemenangan

Meski tidak bisa bertemu dan berkumpul langsung dengan orang tua, keluarga dan kerabat lainnya anak-anak di Balai Handayani akan tetap merayakan hari kemenangan dengan suka cita dan kesederhanaan.

Momentum Idul Fitri tahun ini memang sedikit berbeda bagi keempat anak tersebut. Namun, para pengasuh, pekerja sosial dan petugas di Balai Handayani mencoba untuk tetap menghidupkan nuansa Idul Fitri sebagaimana mestinya para anak-anak tersebut rasakan. Balai memberikan hal-hal sederhana, namun pastinya akan tetap bermakna bagi mereka.

Sebagaimana anak-anak pada umumnya, Idul Fitri identik sebagai kesempatan untuk mendapatkan baju baru dari orang tua. Keempat anak di Balai Rehabilitasi Sosial Handayani juga diberikan hal serupa agar mereka tidak berkecil hati.

"Mereka sudah kami siapkan baju lebaran dan juga kue Lebaran," kata Sri Musfiah.

Selain itu, D, A, AR dan NF akan diajak untuk shalat Id berjamaah di masjid Balai Handayani apabila memang ada kegiatan shalat berjamaah. Namun jika tidak, ibadah akan tetap dilakukan di asrama bersama para pengasuh.

Tidak hanya itu, ketupat Lebaran juga disediakan di balai. Anak-anak tersebut akan diajak makan ketupat bersama usai Shalat Id sehingga makna Lebaran tetap dapat mereka rasakan layaknya saat mereka merayakan bersama keluarga masing-masing pada tahun-tahun sebelumnya.

Sejatinya perayaan Idul Fitri bersama anak-anak yang mendapatkan program rehabilitasi sosial di Balai Handayani bukanlah yang pertama kali diselenggarakan. Namun, pada 2019 juga ada kegiatan serupa dengan jumlah anak yang lebih ramai.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement