Sabtu 23 May 2020 03:10 WIB

Depresi Menurut Alquran (1): Jenis dan Pengertiannya

Terdapat beberapa macam depresi dan pengertiannya menurut Alquran.

Terdapat beberapa macam depresi dan pengertiannya menurut Alquran. Ilustrasi depresi.
Foto: Piqsels
Terdapat beberapa macam depresi dan pengertiannya menurut Alquran. Ilustrasi depresi.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof Dr Syihabuddin Qalyubi, Lc, MAg*

Lamanya isolasi mandiri dengan tinggal di rumah berpekan-pekan membuat banyak orang sedih, gelisah, sampai merasa tertekan. Seperti saat  sekarang ini, keluar rumah pun dibatasi karena alasan kesehatan, sehingga bisa menimbulkan depresi.

Baca Juga

Depresi adalah suatu kondisi medis berupa perasaan sedih yang berdampak negatif terhadap pikiran, tindakan, perasaan, dan kesehatan mental seseorang.

Dalam Alquran ada beberapa kosa  kata yang punya makna sama atau berdekatan makna dengan depresi, antara lain  ‘huzn” (حزنٌ), “ghamm”( غمٌّ), “hamm (همٌّ)”, dlaiq (ضيقٌ) , dan “asaf” (أسف ).

“Huzn” menurut al-Aşfahāni dalam Mufradāt al-Fāzhil Qur'ān adalah keadaan jiwa yang sedih. Ada juga yang berpendapat bahwa “huzn” adalah perasaan sedih karena tidak beruntung, kehilangan sesuatu yang disayangi, dan ketidakberdayaan. 

Tentu saja, perasaan ini biasanya bersikap pasif, ketika seseorang menjadi pendiam, kurang aktif, emosional dan tertutup. 

Huzn” terkadang berupa perasaan tidak senang dengan apa yang terjadi, dengan berbagai problem yang dihadapi atau kondisi di luar kehendak manusia yang membuatnya secara psikologis berada di bawah tekanan, sehingga yang bersangkutan  tidak merasa nyaman dengannya.  

Diksi “huzn” disebutkan dalam Alquran sebanyak 42 kali dengan berbagi derivasinya dalam 25 surat. Misalnya firman Allah SWT:

وَٱصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِٱللَّهِ ۚ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِى ضَيْقٍ مِّمَّا يَمْكُرُونَ

Washbir wa mā shabruka illā billāh wa lā tahzan ‘alaihim wa lā taku fī dlaiqin mimmā yamkurūn.

“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati (huzn) terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada (dlaiq) terhadap apa yang mereka tipu dayakan.” (QS An Nahl: 127) 

Ibnu ‘Āsyur dalam al-Tahrīr wal-Tanwīr mengulas, bahwa ayat  ini menunjukkan betapa tingginya  kesabaran yang harus dimiliki Rasulullah SAW tatkala menghadapi gangguan orang-orang kafir, sehingga kesabarannya dibutuhkan adanya keterlibatan Allah SWT.

Dari ayat ini bisa diambil pelajaran bahwa pada dasarnya manusia dituntut untuk bersabar dalam menghadap berbagai problem yang dihadapi, termasuk menghadapi Covid-19 dengan mengikuti berbagai protokol kesehatan, antara lain melakukan physical distancing (jarak fisik), tidak boleh keluar rumah kecuali ada keperluan yang mendesak. 

Jika tahap kesabaran ini tidak dilakukan maka akan masuk pada level “huzn” yaitu berupa perasaan tidak senang dengan apa yang terjadi yang membuatnya berada di bawah tekanan psikologis, sehingga yang bersangkutan  tidak merasa nyaman dengannya. 

Kalau gangguan mental seperti ini tidak segera dikendalikan maka akan semakin memuncak lalu masuk ke level “dlaiq” perasaan sempit dan sulit, sehingga dalam kondisi seperti ini yang bersangkutan sulit mengekpresikan keadaannya dengan kata-kata. 

“Ghamm”   adalah kesedihan yang meningkat berupa kecemasan tatkala suatau peristiwa atau musibah terjadi. Misalnya kesedihan dan kegelisahan yang menimpa seorang mahasiswa tatkala ia melihat nilai buruk dalam ujian. 

photo
Prof Dr Syihabuddin Qalyubi, Lc, MAg guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. - (Dok Istimewa)

Atau kesedihan dan kegelisahan yang diderita seseorang pada musim covid-19 ini, ia tidak bisa hidup bebas, harus menetap di rumah, jenuh dan tidak bisa beraktifitas sebagaimana bisanya. Diksi “gamm” disebutkan dalam Alquran sebanyak 11 kali dengan berbagai derivasinya. Misalnya firman Allah SWT:

فَٱسْتَجَبْنَا لَهُۥ وَنَجَّيْنَٰهُ مِنَ ٱلْغَمِّ ۚ وَكَذَٰلِكَ نُۨجِى ٱلْمُؤْمِنِينَ

“Fastajabnā lahụ wa najjaināhu minal-gamm, wa każālika nunjil-mu`minīn.”

“Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS Al Anbiya: 88)

Ayat ini mengabarkan tentang nabi Yunus AS ketika ia pergi, tanpa ada perintah dari Allah, dalam keadaan marah terhadap kaumnya yang terus-menerus berada dalam kemaksiatan. 

Dia menyangka bahwa Allah SWT tidak akan  menghukumnya atas kepergiannya, sehingga ia pun diuji dengan ujian yang sulit dan berat tatkala ditelan oleh ikan besar dan terpenjara didalamnya. 

Lalu dalam kegelapan perut ikan, kegelapan laut dan kegelapan malam, ia pun berdoa sembari mengakui dosanya dan bertobat kepada Allah, ia berkata, "Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain-Mu, Engkau Mahasuci lagi Agung, sungguh aku termasuk orang-orang yang zalim. Maka tatkala ia dalam kesedihan dan duka (ghamm) ini Allah SWT memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari kedukaan.

Hamm”  adalah gangguan mental berupa berpikir negatif secara terus menerus tentang kemungkinan ancaman di masa depan dan bagaimana cara mengatasinya. Gangguan itu bisa dalam bentuk pertanyaan internal (dalam bahasa Jawa pertanyaan gek-gek) seperti "Bagaimana jika ini atau itu terjadi?", “bagaimana jika Covid-19 ini tidak segera berakhir? Apa persediaan makanan bisa mencukupi?” dan sebagainya.

Dengan demikian ada perbedaan yang jelas antara “huzn”, “ghamm”, dan “hamm”. Menurut Ibnul Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya Fawaid al-Fawaid bahwa “huzn” adalah kesedihan karena peristiwa atau musibah yang sudah terjadi, “ghamm” adalah kesedihan yang yang sedang terjadi, sedangkan “hamm” adalah kesedihan atau kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi. 

Adapun “asaf” , menurut al-Rāgib al-Aşfahāni, adalah kesedihan yang dibarengi dengan amarah seperti firman Allah SWT:

فَرَجَعَ مُوسَىٰٓ إِلَىٰ قَوْمِهِۦ غَضْبَٰنَ أَسِفًا ۚ قَالَ يَٰقَوْمِ أَلَمْ يَعِدْكُمْ رَبُّكُمْ وَعْدًا حَسَنًا ۚ أَفَطَالَ عَلَيْكُمُ ٱلْعَهْدُ أَمْ أَرَدتُّمْ أَن يَحِلَّ عَلَيْكُمْ غَضَبٌ مِّن رَّبِّكُمْ فَأَخْلَفْتُم مَّوْعِدِى

“Fa raja'a mụsā ilā qaumihī gaḍbāna asifā, qāla yā qaumi a lam ya'idkum rabbukum wa'dan ḥasanā, a fa ṭāla 'alaikumul-'ahdu am arattum ay yaḥilla 'alaikum gaḍabum mir rabbikum fa akhlaftum mau'idī”

“Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati. Berkata Musa: "Hai kaumku, bukankah Tuhanmu telah menjanjikan kepadamu suatu janji yang baik? Maka apakah terasa lama masa yang berlalu itu bagimu atau kamu menghendaki agar kemurkaan dari Tuhanmu menimpamu, dan kamu melanggar perjanjianmu dengan aku?." (QS Thaha: 86)

*Wakor Kopertais Wil III DIY dan guru besar Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakart

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement